Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah Kekaisaran Romawi, warna ungu bukanlah sekadar warna biasa. Warna yang dihasilkan dari ekstraksi zat warna dari siput laut ini menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan bagi para bangsawan dan pejabat kekaisaran.
Penggunaan warna ungu tidak hanya menunjukkan status sosial, namun juga mencerminkan keanggunan dan keistimewaan yang dimiliki oleh pemakainya.
Kombinasi elegan antara kekuatan dan keanggunan inilah yang membuat warna ungu begitu istimewa dalam budaya dan sejarah Kekaisaran Romawi.
Asal Usul Warna Ungu
Kisah warna ungu dimulai dengan penciptaannya, sebuah proses yang melelahkan, rumit, dan juga membutuhkan keahlian khusus.
Berbeda dengan saat ini di mana warna diproduksi secara sintetis, metode kuno untuk memproduksi warna ungu, khususnya ungu Tirus, melibatkan penggunaan siput laut. Lantas, sejak kapan warna ungu mendapatkan tempatnya di kalangan bangsawan Romawi?
Menurut Christina Athanasiou, seorang penulis sejarah kuno dari Yunani, metode penciptaan warna ungu Tirus ditemukan oleh bangsa Fenisia, sebuah peradaban yang terkenal dengan keahlian mereka dalam mewarnai dan berdagang.
“Ungu Tirus, yang diambil dari nama kota Tyre di Lebanon modern, dihasilkan dari lendir siput Murex brandaris,” kata Christina.
Prosesnya tentu tak mudah. Dibutuhkan ribuan siput untuk menghasilkan satu gram pewarna saja. Hal inilah yang membuat harganya selangit.
Setelah dikumpulkan, kelenjar siput diambil dan dimasukkan ke dalam wadah timbal yang berisi air asin. Wadah ini kemudian dipanaskan secara bertahap selama kurang lebih sepuluh hari hingga campuran tersebut menghasilkan warna ungu kemerahan.
Proses ini berlangsung lama dan mengeluarkan bau yang menyengat. Oleh karena itu, lokasi produksi pewarna ungu Tirus biasanya terletak jauh dari kota besar dan kecil untuk mengurangi baunya.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR