Prefektur Aomori dan Nagano ternyata merupakan tempat yang ideal untuk menanam apel. Pasalnya, musim dingin yang sangat dingin dan musim panas yang sejuk dan lembap sangat cocok untuk budi daya apel. Namun, banyaknya tantangan memaksa petani untuk berinovasi atau berisiko kehilangan hasil panen baru.
Pada tahun 1877, Kikuchi Tatee, anggota keluarga samurai lokal terkemuka di Hirosaki, bertekad untuk menanam pohon apel secara efektif. Ia pun berangkat ke stasiun uji pertanian Nanae di Hokkaido untuk belajar tentang budi daya apel dari para ahli asing.
Selanjutnya, Kikuchi mewariskan keahliannya kepada ahli hortikultura Tonosaki Kashichi. Kashichi kemudian dikenal sebagai “Dewa Apel”. Tonosaki bekerja tanpa kenal lelah untuk mendukung tanaman di Aomori. Ia menyebarkan penelitiannya tentang pengendalian hama, pestisida, dan pemangkasan.
Ketika petani Aomori khawatir akan ranting-ranting apel yang patah di tengah salju lebat, mereka membuat penyangga kayu untuk pohon tersebut. Penyangga ini mirip dengan jenis yang digunakan di taman tradisional untuk melindungi pohon pinus.
Ketika serangga dan penyakit mengancam tanaman, mereka dengan hati-hati membungkus setiap buah dengan koran dan kertas tradisional Jepang. Tak lama kemudian, para petani menggunakan “kantong apel” yang diproduksi secara khusus. Kantong apel tersebut masih dapat dilihat di kebun buah-buahan Jepang hingga saat ini.
Varian Fuji muncul dari upaya berkelanjutan di Aomori untuk menghasilkan apel yang lebih baik. Pada tahun 1939, para peneliti di kota Fujisaki mengaplikasikan serbuk sari Red Delicious ke putik bunga Ralls Janet setempat. Buah yang dihasilkan terasa manis dan renyah, dengan kulit berwarna merah berbintik-bintik. Mereka menyebutnya “Agriculture-Forestry No.7”.
Namun varian Fuji hampir memudar dari sejarah Kekaisaran Jepang. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, komunitas petani apel di Jepang mengalami kesulitan. Pada tahun 1941, embun beku awal merusak tanaman. Pada tahun 1944, terjadi topan; tahun berikutnya terjadi hujan salju yang tidak pada waktunya sehingga memusnahkan hasil panen. Tepat setelah perang berakhir, bencana akibat ulah manusia terjadi dalam bentuk pajak baru yang melumpuhkan industri apel. Bencana itu diikuti dengan jatuhnya harga pada tahun 1948.
Apel Fuji mungkin akan tetap menjadi “No.7”, hilang dalam ketidakjelasan penelitian lokal, jika kawasan apel di Jepang tidak bangkit. Hal ini terjadi pada tahun 1950-an. Pemasar yang cerdas menjadikan apel sebagai simbol Aomori dalam kampanye periklanan saat panen mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Pada tahun 1956, Aomori memproduksi hampir 30 juta gantang apel.
Sebagai pengakuan atas pentingnya buah ini secara ekonomi dan budaya, pejabat Aomori melacak pohon apel tertua di Jepang. Pohon itu terletak di Tsugaru dan ditetapkan sebagai monumen alam pada tahun 1960.
Akhirnya, pada tahun 1962, para peneliti Fujisaki mempersembahkan “No.7” kepada Dewan Pemilihan Nama Apel Nasional. Mereka yang hadir memutuskan untuk menamai apel itu “Fuji”. Nama Fuji dipilih bukan berdasarkan nama gunungnya yang terkenal, melainkan menurut nama kota Fujisaki. Apel Fuji, yang populer karena kerenyahan dan manisnya, kemudian menjadi apel paling populer di Kekaisaran Jepang.
Aomori, yang merupakan rumah bagi banyak inovasi apel Jepang, saat ini memproduksi lebih dari 400.000 ton apel setiap tahunnya. Produksi Aomori merupakan yang terbesar di Jepang dan Nagano di posisi kedua.
Saat ini, apel tetap menjadi bagian penting dari branding dan pariwisata mereka. Di Nagano, wagyu lokal terkenal karena berasal dari “Sapi yang Dibesarkan dengan Apel”. Di Aomori, pengunjung akan menemukan industri pariwisata berbasis apel yang dinamis. Kawasan ini memiliki tur apel, museum, dan kebun buah-buahan. Di kebunnya, para tamu dapat memetik buah mereka sendiri. Selain itu, Nagago dikenang karena jasa para inovator yang membuat apel Jepang sukses besar.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR