Nationalgeographic.co.id—Kejam dan tidak dapat diprediksi, hanya sedikit pasukan yang sama menakutkannya dengan pasukan Hun dalam sejarah dunia.
Turun ke kota seperti angin puyuh dari neraka, para penunggang kuda yang buas membunuh tanpa pandang bulu. Mereka menumpas siapa saja, entah itu pejuang maupun warga sipil, pria dan wanita, orang dewasa dan anak-anak.
Dengan kecerdasan militer ini, Suku Hun menciptakan sebuah kerajaan yang membentang dari timur ke barat, Laut Kaspia hingga Sungai Rhine. Dan utara ke selatan, dari Laut Baltik hingga Laut Hitam. Keluasan sepenuhnya kerajaan ini dicapai di bawah pemimpin kuat suku Hun, Attila, Scourge of God.
Suku Hun sangat ditakuti, bahkan mereka dianggap sebagai mimpi buruk bangsa Romawi. Apa yang membuat mereka begitu menakutkan?
Baru-baru ini, para sejarawan mulai mengkaji ulang citra Suku Hun. Secara keseluruhan, Suku Hun adalah suku yang buta huruf. Mereka tidak meninggalkan bukti tertulis tentang sejarah mereka. Apa yang kita ketahui tentang Suku Hun terutama berasal dari komentar-komentar yang ditulis oleh orang Romawi.
“Mereka sering menjadi korban serangan Suku Hun,” tulis Kerry Sullivan di laman Ancient Origins.
Tidak diragukan lagi, bangsa Hun adalah pejuang yang ganas. Tapi apakah mereka benar-benar brutal dan biadab seperti yang dicatat oleh sejarah dunia?
Suku Hun dan propaganda Romawi
“Kita mengetahui dari tradisi lama perihal asal-usul Suku Hun. Filimer, Raja Goth, putra Gadaric Agung, menemukan penyihir di tengah bangsanya. Karena mencurigai wanita-wanita ini, dia mengusir mereka dari tengah-tengah sukunya. Filimer memaksa mereka untuk mengembara di pengasingan jauh dari pasukannya.
Di sana roh-roh najis, yang melihat mereka saat mereka mengembara di padang gurun, memberikan pelukan kepada mereka. Roh tersebut memperanakkan ras yang buas ini.
Ras ini mula-mula tinggal di rawa-rawa. Mereka adalah suku yang kerdil, kotor dan lemah, hampir tidak seperti manusia dan tidak mempunyai bahasa.”
Jadi, asal-usul suku Hun dikaitkan dengan perkawinan penyihir dan setan. Deskripsi ini ditulis pada abad ke-6 M oleh birokrat Romawi Jordanes, sekitar satu abad setelah bangsa Hun memicu Migrasi Besar-besaran. Migrasi itu dipercaya menjadi faktor utama jatuhnya Romawi.
Orang Hun digambarkan sebagai orang biadab yang makan daging mentah dan tidak mempunyai kepentingan selain menjarah. Bangsa Romawi memandang Suku Hun sebagai makhluk setengah binatang jahat. Bagi bangsa Romawi, tujuan utama Suku Hun adalah mendatangkan malapetaka pada peradaban.
Karakterisasi Suku Hun ini semakin diabadikan oleh kekeliruan menghubungkan suku Hun dengan Suku Xiongnu di Kekaisaran Tiongkok. Xiongnu adalah suku barbar terkenal yang memaksa Dinasti Han membangun Tembok Besar.
Seperti suku Hun, Suku Xiongnu adalah penunggang kuda nomaden yang menyukai busur dan anak panah. Namun, hanya ada sedikit bukti yang menghubungkan kedua bangsa tersebut.
Dokumentasi tentang reputasi mengerikan Suku Hun dalam sejarah dunia
Sebagian besar sejarawan percaya bahwa Suku Hun adalah penggembala yang datang dari Kazakhstan dan stepa timur. Mereka terpaksa pindah ke barat karena padang rumput semakin gersang. Suku tersebut biasanya melakukan perjalanan dalam satuan keluarga atau klan.
Ada sedikit persatuan di antara masyarakat Hun dan setiap klan mempunyai agendanya sendiri. Misalnya, ada yang berperang dengan Romawi, ada pula yang berperang melawan mereka.
Oleh karena itu, sering kali sulit untuk menentukan apa tujuan keseluruhan Suku Hun pada saat itu. Namun Jordanes mencatat bahwa tujuan Suku Hun adalah perampokan dan pemerkosaan.
Dokumentasi Jordanes hanya meningkatkan reputasi buruk Suku Hun dalam sejarah dunia. Tidak ada cara untuk menghadapi Suku Hun, tidak ada cara untuk mengalahkan mereka.
Klan Hun akan turun ke desa tanpa peringatan dan menghancurkan segala sesuatu yang menghalangi jalan mereka. Mereka menggunakan kejutan untuk keuntungan mereka dan menyerang tanpa hambatan.
Suku lain, seperti Goth dan Vandal, datang berbondong-bondong ke Roma untuk mendapatkan keamanan. Di saat yang sama, tentara Romawi tidak lebih baik dalam menangkis serangan mematikan Hun. Akhirnya, Romawi terpaksa membayar upeti untuk menghentikan serangan gencar.
Menurut teks-teks kuno, Suku Hun sangat menakutkan untuk dilihat karena setiap wajah anak laki-laki disayat saat masih bayi. Hal itu dilakukan untuk menjadikannya pejuang yang menakutkan, sekaligus untuk mengajarinya menahan rasa sakit.
Jordanes menulis, “Karena sifat mereka yang menakutkan, mereka menimbulkan ketakutan yang besar pada orang-orang yang mungkin tidak mereka kalahkan dalam perang. Mereka membuat musuh-musuhnya lari ketakutan karena wajah mereka yang berkulit gelap sangat menakutkan.
“Sifat keras kepala mereka terlihat jelas dalam penampilan mereka yang liar. Suku Hun adalah makhluk yang kejam terhadap anak-anak mereka tepat pada hari mereka dilahirkan. Karena mereka menyayat pipi pejantan dengan pedang. Sebelum bayi itu menerima makanan berupa susu, mereka harus belajar menahan luka.”
Suku Hun: ahli berkuda dan pemanah andal dalam sejarah dunia
Yang lebih penting dari kehebatan militer mereka, Suku Hun adalah penunggang kuda yang sangat terampil. Legenda mengatakan bahwa mereka belajar berkuda segera setelah mereka bisa berjalan.
Salah satu strategi militer favorit mereka adalah membawa kuda tambahan saat menyerang. Taktik ini menyediakan kuda pengganti jika ada yang lelah atau terbunuh. Selain itu, juga membuat gerombolan Hun tampak lebih besar dari yang sebenarnya.
Taktik pertempuran Suku Hun sangat mengejutkan karena mereka sama sekali berbeda dengan taktik tentara Romawi yang tertib dan bermartabat.
Pada tahun 390-an, sejarawan Romawi Ammianus menulis, “Mereka bertempur dalam urutan pertempuran yang tidak teratur. Namun dengan gerakan yang sangat cepat dan tiba-tiba, mereka berpencar. Lalu kemudian dengan cepat bersatu kembali dalam barisan yang longgar. Tindakan itu menyebarkan kekacauan di dataran yang luas. Terbang di atas benteng, mereka menjarah kamp musuh hampir sebelum para penjaga sadar.”
Para sejarawan kuno menyatakan bahwa Suku Hun tidak menggunakan besi, hanya batu dan tulang binatang. Tapi hal ini mungkin tidak benar. Memang benar bahwa Suku Hun menyempurnakan busur refleks dan menggunakannya untuk menimbulkan efek mematikan.
Dengan busur, tarikan pun bisa menghasilkan tenaga yang sangat besar. Hal ini memungkinkan Suku Hun untuk menembak sambil menunggang kuda.
Sedangkan dengan busur tradisional, seorang pemanah harus berdiri kokoh dan menarik mundur sekuat tenaga. Seorang pemanah ahli bisa menembakkan anak panah lebih dari 150 meter.
Bahkan ketika mundur, banyak pejuang yang sangat mahir sehingga mereka mampu berbalik saat berkuda untuk menembak. Mereka menggunakan kaki untuk tetap stabil di atas kuda yang berlari kencang.
Dari taktik inilah kita mendapat istilah parting shot. Taktik ini membuat mereka menyerang dengan cepat bak angin puyuh.
Berbagai keterampilan dan taktik Suku Hun kemudian menyatu dalam diri Attila sang Hun. Memiliki pemikiran militer yang terampil, Attila menyatukan rakyatnya dan membawa mereka ke gerbang Roma.
Strateginya yang berani dan kejam akan memastikan Suku Hun membangkitkan teror bahkan 2000 tahun setelah kerajaan mereka lenyap.
Meski Suku Hun sudah tidak ada, teror mereka tetap hidup dalam sejarah dunia.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR