Nationalgeographic.co.id—Pemikiran Immanuel Kant memberikan pencerahan terhadap politik dan sosial, terutama di Eropa. Dia hidup pada abad ke-18 akhir, di mana negara-negara Eropa yang masih menggunakan sistem kerajaan (monarki) dan saling bertikai.
Kant memikirkan bagaimana perdamaian bisa diwujud, berdasarkan etika moral manusia. Sebagai filsuf, pemikirannya harus pragmatis dan empiris. Dengan demikian, pemikirannya tidak hanya sekadar teori, melainkan bisa diterapkan.
Politik Demokratis
Untuk memahami pemikirannya tentang sosial dan politik yang ideal, pembaca filsafat Kant akan memulai dari paling dasar, bukunya bertajuk Metaphysics of Moral (1797). Di sini, Kant memisahkan hak dan kewajiban politik yang bergantung pada moral.
Gagasan Kant mengemukakan konsep moral yang hanya menekan kepada kewajiban. Hak tidak hanya sekadar harus dipenuhi, namun memiliki batasan karena adanya hak kelompok atau orang lain. Moral sebagai bagian etika manusia, pernah dibahas lebih dalam oleh Kant dalam buku Kritik atas Akal Budi Praktis (1788).
Dari etika moral Kant ini, pemikir politik demokrasi mengembangkan bayangan pemerintahan yang ideal. Kant begitu menjelaskan bagaimana perdamaian abadi bisa dianjurkan dalam konstitusi yang membuat warga mematuhi hukum, sekaligus menjamin kebebasan warga itu sendiri.
Mengenai otoritas kekuasaan, Kant tidak hanya menerapkannya pada politik negara, tetapi juga otoritas keagamaan. Dalam karyanya, Agama di dalam Batas-Batas Rasio Murni (1793) dia mengkritik keras hierarki gereja.
Menurutnya, spiritualitas manusia yang sebenar-benarnya bisa berkembang secara individu, tanpa harus dibatasi lembaga agama. Pandangan ini didasari dari kondisi pada masa Kant hidup. Otoritas gereja sangat kuat dalam perihal keimanan.
Perdamaian Politik Internasional
Ada pun Kant membahas tentang pemikiran filsafat politik dalam Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis (1795). Pemikiran ini mendorong negara-negara dunia yang bertikai untuk menciptakan perdamaian yang nyata.
Dalam buku tersebut, Kant membuat enam pasal prasyarat untuk menciptakan perdamaian abad. Baginya yang paling mendesak adalah pasal pertama, kelima dan keenam.
Pasal pertama, dia menekankan adanya kesepakatan janji antarnegara yang kuat. Pembuatan janji ini harus tanpa intrik yang kelak bisa menghancurkan negara lain setelah perjanjian dibuat. Baginya, perjanjian negara yang biasa lebih sering menekankan gencatan senjata, namun tidak mewujudkan perdamaian.
Pada pasal kelima, Kant menyerukan bahwa "tidak ada negara yang [boleh] mencampuri urusan konstitusi atau pemerintahan negara lain dengan cara paksa". Dengan pernyataan ini, Kant mendesak agar negara menghormati negara lain sebagai negara yang merdeka.
Negara lain punya hak untuk kebebasan dan mengatur negaranya. Melanggar kemandirian sebuah negara adalah pelanggaran yang menyulut konflik.
Pasal mendesak terakhir yang dicatat oleh Kant adalah pentingnya menjaga warga. Negara yang sedang bertikai tidak boleh memanfaatkan warga untuk melakukan kejahatan negara lain, terkhusus demi kepentingan politik.
Kant menulis, alih-alih harus berkonflik dan berperang, mewujudkan perdamaian abadi bisa diwujudkan dengan manusia yang mencintai hukum sebagai dasar. Hukum adalah kontrak atau perjanjian berbagai pihak yang menjadi dasar penting bagi perdamaian. Ada kewajiban dan hak dari golongan tertentu yang harus dipenuhi.
Meski demikian, hukum juga harus memiliki kekuatan yang sangat mendasar. Dengan cara ini, hukum yang merupakan kontrak perjanjian, tidak hanya sekadar perjanjian yang menekankan gencatan senjata dari pertikaian yang ada.
Gagasan Kant ini bukan hanya teori belaka, melainkan dapat dipraktekkan. Dia optimis bahwa perdamaian abadi bisa terwujud karena, pada dasarnya, manusia tidak mungkin hidup dalam konflik permanen. Bagi Kant, manusia adalah makhluk yang rasional dan mampu berperilaku moral.
Dampak Immanuel Kant
W.B Gallie, filsuf Skotlandia dalam buku Philosophers of Peace and War (1980) mencatat bahwa Kant sangat memandang buruk perang--apa pun bentuknya. Menghormati hukum yang adil adalah jalan untuk menyelesaikan konflik.
Pemikiran ini yang pada akhirnya menginspirasi berbagai gerakan, termasuk Mahatma Gandhi lewat gerakan nirkekerasan sebagai akhir konflik.
Kant mendambakan adanya pembangunan dan relasi internasional yang terdiri dari negara-negara merdeka. Konfederasi ini bisa menciptakan hukum internasional yang masuk akal, dan dapat nyata diterapkan untuk mewujudkan perdamaian abadi.
Gallie berpendapat, gagasan Kant bukan hanya sekadar pemikiran filsafat hari ini. Negara-negara berada di bawah naungan PBB.
Namun, meski cita-cita Kant terwujud dengan adanya konfederasi rupanya konflik masih terjadi. Hari ini kita berhadapan dengan ragam perang, seperti Perang Rusia-Ukraina dan di Gaza. Pelbagai jalur perdamaian sejati sebenarnya sudah tersedia dan lebih mudah, daripada semasa Immanuel Kant hidup.
Lagi-lagi, Kant menjelaskan bahwa hanya dengan menghormati hukum perdamaian sejati bisa terjadi. Konflik yang ada hari ini menjadi pertanyaan bagi kita: sanggupkah kita menghormati hukum internasional yang diidam-idamkan sejak tiga abad yang lalu? Jawabannya hanya dari keinginan para penguasa yang berada di kursi lembaga internasional.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR