Periode sejarah di barat ini juga ditandai dengan pergolakan sosial yang signifikan, termasuk kemajuan hak-hak dan kebebasan wanita, seperti hak untuk memilih.
“Tentu saja tidak semua orang di masyarakat senang dengan perubahan ini, karena beberapa orang khawatir dengan apa yang mereka anggap sebagai erosi nilai-etika dan gaya hidup tradisional,” kata Catherine Dent, dalam tulisannya di laman The Collector.
Sementara para istri diharapkan untuk patuh dan tunduk pada suami mereka, banyak seniman dan penulis pada akhir abad ke-19 (fin-de-siècle) menggambarkan wanita sebagai sosok yang kuat dan berbahaya.
Menurut Alison W. Chang, seorang kurator dan cendekiawan independen, hal ini mencerminkan ketakutan masyarakat akan wanita yang semakin otonom.
Meskipun banyak dari karya-karya ini dapat ditafsirkan sebagai misoginis, karya-karya ini adalah produk dari zamannya, yang merupakan respons terhadap tantangan terhadap definisi maskulinitas dan femininitas yang sudah mapan selama abad ke-19.
Sang Femme Fatale sebagai Monster
Lukisan Vampire (1893), karya seniman Norwegia Edvard Munch, pada awalnya dipamerkan sebagai “Love and Pain”.
Namun, seorang penulis dan pengagum karya Munch menamai karya tersebut “Vampire” pada Juni 1894, menciptakan narasi baru di sekitar gambar yang melekat. Judul tersebut mengubah gambar dari sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra menjadi penindas wanita yang membalas dendam secara brutal.
Vampir bukanlah satu-satunya makhluk mitos yang digambarkan sebagai femmes fatales pada periode ini.
Sphinx, dengan kepala seorang wanita, tubuh singa, dan sayap burung, muncul sebagai femme fatale dalam karya Gustave Moreau, Oedipus dan Sphinx (1864).
Baca Juga: Sejarah Dunia: Viking Berserker Konsumsi Zat Psikoaktif Sebelum Perang?
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR