Pada periode tahun 1916 hingga 1928 yang dijuluki “Era Panglima Perang”, banyak terjadi pertikaian politik. Saat itu, pemerintahan militer regional mendominasi periode tersebut, dengan basis Kuomintang hanya di Tiongkok selatan.
Sun memperkuat Kuomintang di Tiongkok selatan dan, dengan bantuan Partai Komunis Tiongkok, perlahan-lahan berkembang. “Sun juga meminta dan menerima bantuan dari Uni Soviet,” tambah Whittaker.
Pada tahun 1924, ia menerbitkan Tiga Prinsip Rakyat: Nasionalisme, Demokrasi, dan Mata Pencaharian Rakyat. Tiga Prinsip Rakyat itu akan menjadikan Tiongkok sebagai negara modern.
Sun menjadi penguasa Tiongkok setelah tahun 1923 tetapi meninggal pada tahun 1925 sebelum ia dapat menyatukan Tiongkok. Mimpi tersebut baru terjadi di bawah penerusnya, Chiang Kai-shek.
Ekspedisi Utara
Pada tahun 1926, tentara Kuomintang di bawah pimpinan Chiang menyerang utara untuk menyatukan Tiongkok. Dengan beberapa panglima perang dan bantuan Soviet, pasukan mereka mencapai ibu kota Beijing.
Mereka pun berhasil merebut kota ini. Setelahnya, pengakuan internasional bagi Kuomintang pun datang. Sehingga Chiang menjadi pemimpin yang diterima di Tiongkok.
Saat Ekspedisi Utara berlangsung, Chiang berbalik melawan komunis dan secara politis meninggalkan anggota Kuomintang. Pada 12 April 1927, pasukannya membantai kaum komunis.
Orang-orang yang selamat melarikan diri ke daerah pedesaan, tempat basis kekuatan mereka berada, terutama di masa depan. Komunis mulai berkumpul kembali, menyatukan petani melawan panglima perang dan pejabat Kuomintang yang korup.
Stabilitas dan krisis dalam Kuomintang
Pada tahun 1928, Kuomintang telah menyatukan Tiongkok dan mengakhiri Era Panglima Perang.
Baca Juga: Kisah Penguasa Kekaisaran Tiongkok yang Paling Setia dengan Permaisuri
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR