Nationalgeographic.co.id—Masih dalam gegap gempita euforia Tim Nasional Indonesia yang berburu tiket menuju Piala Dunia 2026, di mana untuk kesempatan kali ini, timnas melaju lebih jauh untuk dapat berlaga di kancah sepak bola terakbar sejagat.
Namun sejatinya, sepanjang sejarah, negeri ini pernah punya catatan gemilang di ajang sepak bola dunia paling bergengsi itu. Pada tahun 1938, timnas yang pada saat itu masih bernama Hindia Belanda, juga pernah berlaga di Piala Dunia.
Meski tidak berhasil melenggang lebih jauh ke babak berikutnya karena kalah telah dari timnas Hongaria, keikutsertaan Hindia Belanda pernah menjadi bagian yang tak terlupakan sepanjang sejarah.
Salah satunya karena dalam skuad campuran keturunan Belanda, Tiongkok itu, terdapat juga sejumlah pemain yang diambil dari tanah air sendiri. Sebut saja salah satunya adalah Achmad Nawir.
Tidak hanya wajah khasnya yang terlihat sebagai pribumi di antara barisan pemain jangkung Belanda dan pemain bermata sipit keturunan Tiongkok, tapi karena pengenaan kacamata selama bertanding.
Ya, jauh sebelum dunia sepak bola mengenal sosok Edgar Davids yang khas dengan kaca mata sepanjang era 90-an hingga era milenium, Nawir sudah memulainya di tahun 1938. Dan inilah sosoknya.
Sosok Achmad Nawir
Achmad Nawir lahir pada 30 Juni 1912, di tanah kelahirannya, Maninjau, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat. Dibesarkan dari keluarga yang serba sederhana, kecintaannya akan sepak bola membawanya ke babak yang lebih jauh lagi.
Karir sepak bolanya dimulai sejak tahun 1926. Kala itu, ia bergabung dengan klub sepak bola SVV Batavia pada usia 15 tahun. Di sana, ia bertemu dengan berbagai pemain dan pelatih yang mengasah kemampuan sepak bolanya.
Meskipun karir sepak bolanya terus berjalan, Nawir tidak melupakan karirnya di dunia pendidikan. Ia memutuskan untuk mengambil sekolah kedokteran di Soerabaja (EYD: Surabaya), di kampus Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS).
Setelah berkuliah di NIAS pada tahun 1930, karir sepak bolanya juga beralih dari Batavia ke Soerabaja. Di sana, dia bergabung dengan klub sepak bola Houdt Braef Standt (HBS) Soerabaja.
Baca Juga: Ketika Sepak Bola di Sejarah Abad Pertengahan Picu Pertumpahan Darah
Sosoknya yang wibawa dan jiwa kepemimpinannya, membuatnya dipercaya untuk menjadi kapten klub setelah setahun membela HBS. Di klub itu, ia memimpin timnya untuk turut dalam beberapa turnamen bergengsi.
Setelah kegemilangannya bersama dengan klub sepak bola NIAS, Nawir melanjutkan karir sepak bolanya ke klub yang lebih bergengsi, Soerabaijase Voesbal Bond (SVB)—yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal klub Persebaya Surabaya—pada tahun 1932.
Dalam surat kabar De Indishce edisi 20 Maret 1936, Nawir memainkan peran penting bagi SVB. Penampilan apiknya melawan Zeemacht, membuat sang pelatih terus mengandalkan kemampuannya dalam tim.
Bersama dengan tandemnya dalam tim, Siong Liong (berposisi sebagai bek kiri) kerap kali bertukar posisi. Sedangkan Nawir yang tak tergantikan, membuat Siong Liong dan Breemer harus berebut tempat dalam tim utama.
Menariknya, dalam strategi yang diterapkan pelatih SVB melawan Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Nawir tampil di posisi bek kanan dalam formasi 2-3-3-2 yang secara dinamis dapat berubah menjadi 2-5-3.
Jika dalam strategi sepak bola modern, peran Nawir dapat dikatakan sebagai inverted full-back—sepak bola modern lebih mengenal peran Trent Alexander-Arnold, Cancelo, Walker, dll—yang sering kali bermain lebih ke depan membantu serangan.
Menuju Piala Dunia 1938 di Prancis
Setelah bergulirnya kompetisi sepak bola resmi Hindia Belanda dan berdirinya komite sepak bola nasional Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), menjadi peluang Achmad Nawir untuk dapat bersaing sebagai pemain timnas semakin terbuka lebar.
Meski demikian, perjalanan Nawir menembus timnas tidak semudah yang dibayangkan. Dalam menentukan skuad terbaik yang akan dibawa menuju kualifikasi Piala Dunia 1938, NIVU menghelat beberapa laga penyeleksian pemain.
Pada tahap awal, seleksi dilakukan dengan mempertemukan tim gabungan dari klub-klub yang ada di Jawa Tengah dan Barat, dengan menghadapi tim Jawa Timur. Laga dihelat di Lapangan Tambaksari, Soerabaja
Baca Juga: Di Balik Pemain Naturalisasi: Mengapa Banyak Orang Maluku di Belanda?
Nawir yang dipercaya sebagai pemain andalan sekaligus kapten dari tim Jawa Timur, selalu menjadi sorotan Johannes Christoffel Jan Mastenbroek, pelatih timnas Hindia Belanda yang pada usia 36 tahun menjadi nahkoda timnas menuju kualifikasi Piala Dunia 1938.
Sebelum berangkat menuju babak kualifikasi Piala Dunia, timnas diajak untuk melakukan laga uji coba melawan klub-klub di Hindia. Sampai pada laga terakhir, klub Nawir sendiri, HBS, ia sudah mengenakan ban kapten untuk timnas Hindia Belanda.
Perjalanan timnas Hindia Belanda menuju Piala Dunia juga tidaklah singkat. Hindia Belanda mendapat jatah satu tiket dari Grup 12 (zona Asia). Kala itu, timnas harus berhadapan dengan lawan tangguh, Jepang di babak kedua kualifikasi.
Secara mengejutkan, Hindia Belanda lolos ke Piala Dunia menyusul pengunduran diri Jepang pada laga kualifikasi tersebut. Hal inilah yang membawa Hindia Belanda untuk berlayar dari Batavia menuju Reims, Prancis untuk berlaga di Piala Dunia.
Nawir yang pada saat itu berusia 27 tahun, mencatatkan sejarah yang tak bisa ia lupa, bahkan oleh bangsanya hingga kini. Bersandingan dengan kapten Hongaria, György Sárosi, sang calon dokter berkacamata itu memasuki lapangan dengan percaya diri.
Tampil selama 90 menit, Nawir menjadi saksi pertempuran Hindia Belanda menghadapi Hongaria yang sangat tangguh. Timnas kalah dihantam enam gol tanpa balas. Hindia Belanda pun segera tersingkir dari Piala Dunia 1938.
Setelah kembali ke Hindia Belanda dari Piala Dunia Prancis 1938, Achmad Nawir terus melanjutkan tren sepak bolanya yang gemilang. Sebelum pagelaran kompetisi NIVU yang bergengsi seantero negeri, Nawir berjaya.
Ia mempersembahkan gelar juara bagi SVB Soerabaja di tahun 1941. Setelahnya, perguliran kompetisi NIVU dihentikan akibat kecamuk Perang Dunia II. Kompetisi itu tidak lagi berlanjut setelah Jepang menginvasi Hindia pada 1942.
Di masa Jepang, sepak bola di Hindia benar-benar terhenti. Tidak ada lagi kompetisi sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Setelah kedatangan kembali Belanda, NIVU digulirkan kembali.
Nawir sempat mencicipi lagi kejuaran NIVU selama dua musim, sebelum akhirnya memutuskan gantung sepatu pada tahun 1949 di usia 38 tahun. Setelah pensiun, ia meneruskan studi kedokterannya dengan mengambil spesialis kehamilan dan kandungan.
Ia memilih untuk pindah dari kota yang bersejarah bagi hidupnya, Surabaya, menuju ke kotanya semula Jakarta. Ia meneruskan studi kedokterannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Meski bergelut dalam dunia kedokteran, dr. Nawir tetap dengan kecintaannya pada sepak bola. Beberapa kali ia masih terlibat dalam timnas Indonesia. Termasuk menjadi pelatih interim timnas pada tahun 1953 menggantikan Choo Seng Quee.
Karirnya dalam dunia sepak bola terus berlanjut. Sampai pada waktunya, Achmad Nawir menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1995.
Figurnya akan selalu dikenang bagi sejarah bangsa ini. Sosok dokter sekaligus kapten berkacamata ini telah menoreh rekor sebagai pemain Asia Tenggara pertama yang mampu tampil di Piala Dunia sampai hari ini.
Source | : | De Indische Courant |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR