Nationalgeographic.co.id—"Kita akan lelang hari ini empat puluh budak," ujar seorang lelaki berlogat Aceh dengan lantang. Ia menyeruak berdiri di tengah kerumuman orang-orang di pasar. Bajunya yang berwarna merah tampak begitu mencolok sehingga ia menjadi pusat perhatian.
"Budak yang bisa Anda pakai siang malam. Budak terbaik yang kami ambil dari negeri-negeri semenanjung." Kemudian, sembari membawa jam pasir dan pedangnya, ia mewanti-wanti, "Hati-hati, jaga uang Anda."
Lelaki berbaju merah itu berkata dengan lantang bahwa merica Aceh Darussalam tumbuh di sepanjang pantai barat. Rempah itu ditanam dengan tangan-tangan halus yang tidak pernah terkena sinar matahari, dan dipanen oleh tangan-tangan kuat yang setiap hari memukul baja. "Ya, kami menjadi produsen ketiga di dunia," ujarnya. "Kerajaan Aceh Darussalam, setelah Turki Usmani, dan Goa di India."
Sembari mengempit rokok dengan bibirnya, ia berujar, "Hari ini kita kedatangan banyak pedagang asing untuk melihat apakah benar merica terbaik ada di Aceh Darussalam," ujarnya. "Kita mulai. Harga kami buka dengan empat dirham atau seribu dua ratus dolar Spanyol untuk satu pikul. Silakan!"
Para pedagang dari berbagai bangsa memulai penawaran mereka. Seorang pedagang memberikan penawaran pertama sebesar 50 dirham. Kemudian para pedagang lain memberikan penawaran berikutnya berturut-turut 100 dirham, 125 dirham, 500 dirham. Seorang perempuaan bangsawan Aceh berani memberikan penawaran sebesar lebih tinggi, sementara itu istri bangsawan Sabang tak mau kalah.
Ketika lelang berlangsung, pengemis-pengemis berkeliaran di sudut-sudut pasar. Kadang kehadiran mereka begitu mengganggu, sehingga kerap dihardik dan diusir oleh pedagang. Pada zaman itu pun masyarakat Aceh menganggap pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang hina.
Ada aturan pada zaman itu tentang tata cara singgah di bandar. Di pasar rempah itu setiap pedagang yang hendak memasuki pelabuhan Aceh Darussalam harus mendapat izin dari Sultan. Hanya para pedagang yang telah mendapat surat berstempel kesultanan yang diizinkan melanjutkan aktivitas dagangnya di negeri itu. Mereka bisa berdagang, mengikuti lelang, tinggal, bahkan membangun pos dagang.
Di sebuah menara, tampak seorang sangkilat—mata-mata yang bekerja untuk Sultan—sedang memantau lalu lintas perdagangan rempah. Di menara itu tertempel buronan Portugis yang dicari-cari Sultan.
Pentas ini digelar untuk menyambut kedatangan KRI Dewaruci yang membawa peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 di Pelabuhan Sabang pada Sabtu, 22 Juni silam.
Saya melihatnya sebagai sebuah terobosan pentas yang unik karena melibatkan pemirsa secara langsung. Para pemirsa bisa berinteraksi langsung dengan para pelakon—petugas syahbandar, pedagang rempah, penukar uang, pengemis, keluarga bangsawan, bahkan pedagang-pedagang asal nun jauh dari negeri di atas angin. Kita seolah sungguh-sungguh memasuki kapsul mesin waktu yang membawa kita kembali ke zaman keemasan Aceh Darussalam masa Sultanah Safiatudin, yang bertakhta pada 1641-1675.
Baca Juga: Layang-layang Kuau, Dukungan Pelestarian Budaya dan Ekologi Sumatra
Sang Ratu merupakan putri dari mendiang Sultan Iskandar Muda, sekaligus janda dari Sultan Iskandar Tsani. Gelarnya, Paduka Sri Sultanah Tajul-’Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum.
Pentas ini menampilkan Aceh yang begitu kosmopolitan, suatu masa dalam kurun waktu seratus tahun, dari zaman Iskandar Muda sampai masa kejatuhan Aceh.
Baragam bangsa dengan busana tradisi masing-masing berseliweran di antara pemirsa teater itu: Turki, India dari Pantai Surat dan Koromandel, Siam, Tiongkok, juga pedagang Nusantara dari Jawa dan Bugis. Mereka singgah karena menanti datangnya angin monsun. Sembari menunggu, mereka berbaur dengan warga. Budaya, etika, ilmu pengetahuan dan teknologi pun bertukar. Perjumpaan-perjumpaan inilah yang akhirnya membentuk kita sebagai bangsa yang bineka.
Pentas teatrikal pasar rempah itu menampilkan beragam gerai-gerai yang menjual rupa-rupa barang dagangan. Mereka menjajakan merica, pala, cengkih, kapulaga dan jintan. Selain pusparagam rempah, para pedagang juga memasarkan beragam barang seperti gading gajah dan pewarna kain. Ada pula kemah-kemah pedagang asing.
Saya menghampiri seorang lelaki bercambang yang mengenakan ikat kepala dan penutup mata—mirip sosok dalam cerita-cerita bajak laut. Lelaki itu menggelar gerai dagangannya berupa bahan-bahan untuk pewarna kain seperti biji saga, kulit pinang, kunyit, dan biji kesumba.
Ia adalah Azhari Aiyub, sang penulis skenario pementasan ini. Sosoknya beken sebagai penulis novel Kura-kura Berjanggut, yang terbit pada 2021. Kami berbincang tentang proses di balik menghimpun narasi untuk pementasan ini.
Menurutnya, banyak penulis buku yang karya-karya mereka bisa kita jadikan acuan untuk gambaran pasar rempah pada abad ke-17—seperti buku klasik History of Sumatra karya William Marsden; Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya sejarawan Prancis, Denys Lombard; atau buku karya Leonard Y. Andaya bertajuk Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal.
"Saya sudah lama membaca literatur itu untuk novel saya," ujar Azhari. "Jadi ini percikan-percikan atau bagian-bagiannya."
Ia menambahkan bahwa sifat pasar ini sejatinya terus berubah tergantung dengan penguasanya. Adakalanya, komoditas-komoditas itu masuk dalam pasar monopoli. Namun, adakalanya komoditas-komoditas itu masuk dalam pasar bebas.
"Jadi lelang ini sebenarnya bagian dari liberalisme," ujarnya. "Tapi, dalam waktu-waktu tertentu monopoli total—orang lain tidak boleh jual, cuma dia yang menjual. Ini menjadi permusuhan klasik dengan VOC karena VOC juga ingin memonopoli sepanjang pantai barat setelah mereka menemukan pulau rempah-rempah."
Baca Juga: Tangsi KNIL di Tepian Siak, Tengara Kuku Kolonialisme di Pedalaman Riau
Perkara monopoli bukan hanya VOC. Ketika Portugis menguasai Malaka, mereka melakukan hal yang sama karena Portugis memiliki jaringan perdagangan dari India, Malaka, Makau, bahkan sampai Jepang. "Dari beberapa penguasa lautan inilah mereka memonopoli rantai pasokan itu," ujarnya. "Dan, Kerajaan Aceh Darussalam mengambil salah satu bagiannya."
"Semua raja-raja di sini adalah pedagang," imbuh Azhari. Keadaan ini berbeda dengan Mataram karena berada di pedalaman Jawa. Namun, Kerajaan Banten yang bertakhta di Jawa bagian barat memiliki perairan laut sehingga menyebut dirinya sebagai pedagang. "Sama juga dengan kerajaan Aceh, Johor, sebelumnya Malaka, mereka menyebut diri mereka adalah pedagang," ujarnya. "Ada sedikit liberalisme di sana."
Azhari juga mengungkapkan tentang pentas teater yang melibatkan masyarakat yang hadir. "Ini berbeda sekali dengan teater di dalam gedung, berjarak," ujarnya. "Di sini ada partisipasi pengunjung, semakin partisipatif, semakin berhasil pentas ini."
Selain menampilkan pedagang dan pelelang rempah, pentas ini juga menampilkan kehidupan sehari-hari warga Aceh pada abad ke-17. Salah satunya, catoe rimung—atau catur harimau—yang sejatinya permainan tradisi Nusantara.
"Ini sangat terkenal di Belanda pada waktu pengkhianatan Teuku Umar," terang Azhari. Setelah tokoh Aceh itu berbelok kepada Aceh lagi "industri-industri mainan di Belanda membuatnya dengan nama 'Catur Teuku Umar'. Itu sangat heboh di Belanda."
Sejatinya persiapan pementasan ini terbilang pendek—hanya tiga minggu. Azhari menyarikan naskah dari riset-riset. Berkat kolaborasi pegiat seni teater di Banda Aceh dan Sabang, pentas sepanjang hampir satu jam ini terbilang sukses. "Improvisasi mereka yang telah memperkaya naskah saya," imbuhnya.
Siapakah pemeran lelaki pelelang rempah yang berbaju merah? Fozan Santa, sang sutradara dalam pertunjukan ini. Ia telah dikenal sebagai penulis dan pegiat film dan teater di Banda Aceh.
Fozan mengungkapkan bahwa pentas ini didukung sekitar 50 pegiat teater dari Banda Aceh dan 20 pegiat teater dari Sabang. Mereka berasal dari komunitas Sanggar Saleum, Studiklub Pekerja Teater Aceh (Sparta), Teater Sapulidi, Teater Mata, Meusajan-art, Teater Home, Teater Rongsokan, Kelompok seni Sabang, dan Komunitas seni KEBAS.
"Sejarah adalah masa depan terbaik buat kita," ungkapnya. "Kebaikan hidup dan kemajuan kebudayaan bangsa Aceh dalam sebuah koneksi niaga rempah global yang kosmopolitan memberikan nilai moral, ekonomi dan kesenian yang abadi."
Ia berharap semoga pementasan ini menjadi metode baru untuk menjelajah masa silam penuh warna. "Kami ingin menggugah makna tersebut buat generasi terkini lewat pentas itu. Juga sebagai aksi pemajuan kebudayaan yang sudah menjadi regulasi pemerintah. Saya kira itu."
—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Selat Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kemendikbudristek.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR