Nationalgeographic.co.id—Di balik kisah runtuhnya Kekaisaran Ottoman yang besar, terdapat cerita luar biasa dari sebuah pulau kecil bernama Ikaria. Pulau ini, meskipun kecil, berhasil mengalahkan Ottoman dan mendirikan negara merdeka terkecil dalam sejarah dunia.
Artikel ini akan mengupas kisah heroik Ikaria, bagaimana mereka melawan Ottoman dan meraih kemerdekaannya.
Ikaria terletak di Laut Aegean, di antara Yunani dan Turki. Pulau ini memiliki sejarah panjang di bawah kekuasaan berbagai kerajaan dan kekaisaran, termasuk Ottoman. Pada awal abad ke-20, Ikaria mulai merasakan gejolak nasionalisme dan ingin melepaskan diri dari cengkeraman Ottoman.
Pada tahun 1912, para pemberontak Ikaria bangkit melawan Ottoman. Dengan semangat juang tinggi dan strategi yang cerdik, mereka berhasil mengalahkan pasukan Ottoman yang jauh lebih besar. Kemenangan ini mengantarkan Ikaria pada kemerdekaan dan menjadikannya negara terkecil di dunia yang pernah ada.
Artikel ini akan membawa Anda menyelami kisah inspiratif Ikaria, bagaimana mereka melawan raksasa Ottoman dan mencapai kemerdekaan. Simak perjuangan heroik mereka, strategi yang mereka gunakan, dan dampak dari kemerdekaan Ikaria bagi dunia.
Pulau kecil yang terhubung dengan dunia
Terletak di Laut Aegea, dekat Chios, Samos, dan garis pantai Turki, Ikaria, pulau kecil dengan panjang sekitar 40 km dan lebar tidak lebih dari 10 km, menyimpan kisah sejarah yang menarik. Nama pulau ini berasal dari mitologi Icarus, yang konon tewas akibat eksperimen penerbangannya yang gagal di lautan dekat pulau ini.
Jauh sebelum dikuasai Ottoman pada tahun 1520-an, Ikaria telah terbiasa dengan penaklukan. Faktanya, Ottoman menggantikan kekuasaan Knights of St. John, yang sebelumnya didahului oleh Genoa dan Bizantium.
Namun, berbeda dengan wilayah Kekaisaran Ottoman lainnya, Ikaria terbilang jarang merasakan pengaruh asing yang mendalam. "Kurangnya penguasa yang benar-benar berakar kuat di pulau ini menjadi salah satu faktornya," ujar Dale Pappas melalui laman The Collector.
Pakar sejarah Eropa modern tersebut kemudian mengambil contoh bagaimana pada tahun 1912, pemerintahan Sultan hanya diwakili oleh segelintir polisi dan seorang pegawai sipil Yunani-Ottoman. Bandingkan dengan Chios, pulau tetangga yang memiliki garnisun Ottoman berisi 2.500 tentara.
Meskipun demikian, masyarakat Ikaria menjalin hubungan erat dengan komunitas lain di seluruh Kekaisaran Ottoman, bahkan hingga ke Amerika Serikat. Ikaria diuntungkan oleh hubungan perdagangan yang baik dengan kota pelabuhan Ottoman yang makmur, Smyrna.
Baca Juga: Mengapa Sultan Selim I Dijuluki Si Bengis di Kekaisaran Ottoman?
Selain itu, banyak penduduk Ikaria yang merantau ke pelabuhan Mediterania seperti Smyrna dan Alexandria demi peluang ekonomi yang lebih baik. Menjelang abad ke-20, Ikaria semakin bergantung pada dukungan finansial dari diaspora mereka yang bermukim di kota-kota tersebut, serta di berbagai penjuru Amerika Serikat.
Titik terang menuju kemerdekaan
Memasuki tahun 1912, Kekaisaran Ottoman dilanda kekacauan. Perang melawan Italia yang merugikan mengancam wilayah mereka dari Libya hingga Konstantinopel (Istanbul). Di tengah situasi genting ini, semangat kemerdekaan berkobar di Ikaria, pulau kecil di Laut Aegea.
Terinspirasi oleh kemerdekaan Kreta tahun 1898, para penduduk Ikaria ingin melepaskan diri dari cengkeraman Ottoman. Namun, mereka tidak ingin menjadi bawahan Imperium Italia yang sedang berkembang. Sebaliknya, mereka mendambakan enosis (penyatuan) dengan Yunani.
Mengapa warga Ikaria turun tangan untuk merebut pulau mereka dari tangan Ottoman? "Di luar keinginan bersatu dengan Yunani, para penduduk menyimpan sejumlah keluhan terhadap pemerintah Ottoman," ungkap Pappas.
Pertama, banyak warga Ikaria tidak senang dengan perubahan akibat pergolakan di Kekaisaran Ottoman, termasuk Revolusi Turki Muda tahun 1908. Masalah yang dihadapi antara lain perubahan status pajak pulau dan potensi wajib militer bagi sebagian besar pemuda.
Pemimpin lokal melobi pejabat Ottoman agar membebaskan penduduk pulau dari wajib militer. Mengingat Ikaria adalah pulau kecil dan miskin, kehilangan tenaga kerja akan sangat memberatkan. Namun, para pejabat Ottoman tetap melaksanakan sensus untuk mengidentifikasi calon wajib militer.
Selain itu, warga Ikaria juga gusar dengan larangan penanaman tembakau di pulau tersebut. Mereka khawatir akan mengalami kehancuran finansial jika tidak bisa lagi meraup keuntungan dari produksi tembakau yang menjadi sumber pendapatan mereka.
"Ketidakpercayaan terhadap administrator Yunani-Ottoman di pulau itu, Thucydides Efendi, semakin memuncak karena berbagai kebijakan ini," jelas Pappas.
Munculnya dua pemimpin revolusi
Sementara Ottoman terjebak dalam kekalahan dalam perang melawan Italia, benih-benih pemberontakan mulai tumbuh di Ikaria. Dipicu oleh kebijakan Ottoman yang dianggap merugikan dan keinginan untuk bersatu dengan Yunani, rakyat Ikaria bersiap untuk merebut kemerdekaan mereka.
Baca Juga: Saat Austria-Turki Terlibat Perang Terbodoh dalam Sejarah Dunia di Karánsebes
Dua tokoh muncul untuk memimpin gerakan kemerdekaan Ikaria dari Kekaisaran Ottoman. Yang pertama adalah Dr. John Malachias. Lahir di pulau itu pada tahun 1876, Malachias belajar ilmu kedokteran di Athena dan Paris sebelum kembali ke Ikaria pada tahun 1906.
Ia dengan cepat meraih posisi kepemimpinan dalam urusan lokal dan tak kenal lelah menentang wajib militer serta larangan produksi tembakau. Akibatnya, Malachias tak disukai Thucydides Efendi dan sempat dikenakan tahanan rumah.
Sama seperti Malachias, George Fountoulis juga menarik perhatian otoritas Ottoman karena aktivitas anti-pemerintahnya. Fountoulis bahkan nekat bergabung dengan tentara Yunani selama perang melawan Ottoman pada tahun 1897. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman mati.
Namun, Fountoulis berhasil lolos dan akhirnya diampuni berkat keahliannya di bidang arsitektur. Ironisnya, para pejabat Ottoman justru menyambut baik kepulangan seorang nasionalis Yunani dengan pengalaman militer ke Ikaria.
"Tak butuh waktu lama bagi Fountoulis untuk menggunakan keterampilan arsitektur dan militernya melawan kekaisaran," terang Pappas.
Kedua pria ini, bersama para pegiat anti-Ottoman lainnya di pulau tersebut, sama-sama mendambakan Ikaria bersatu dengan Yunani. Namun, hingga saat itu, para pejabat Yunani belum begitu tertarik dengan gagasan merebut pulau tersebut dari Ottoman.
Bagi Perdana Menteri Yunani Eleftherios Venizelos dan para nasionalis lainnya, pencaplokan wilayah Kreta dan beberapa daerah lain di bawah kekuasaan Ottoman menjadi prioritas yang lebih tinggi dibandingkan Ikaria yang mungil.
Babak baru perjuangan
Perjuangan rakyat Ikaria untuk merebut kemerdekaan dari Ottoman memasuki babak baru pada Juli 1912. Kendali atas pulau tersebut sudah terlepas dari tangan pejabat Yunani, dan Malachias, Fountoulis, bersama para sukarelawan Ikaria, mengambil alih inisiatif.
Selama sebulan sebelumnya, pengiriman senjata terus berdatangan ke pulau tersebut. Meski begitu, para pemberontak Ikaria masih tergolong "pasukan seadanya" dengan beragam senjata yang dimiliki.
Awalnya, Malachias merencanakan serangan mendadak ke ibu kota pulau, Agios Kyrikos. Malachias akan memimpin sekelompok "peburu ayam hutan" untuk melumpuhkan pasukan Ottoman yang lengah.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kekaisaran Ottoman, Oasis 'Indah' Bagi Penduduk Yahudi
Setelah merebut ibu kota, para "peburu gadungan" ini akan menghajar sisa-sisa pasukan Ottoman yang tersebar di tempat lain.
Sayangnya, rencana tersebut bocor. Mendapat laporan adanya sekelompok pria bersenjata di sekitarnya, Thucydides Efendi meningkatkan kesiagaan garnisun di ibu kota. Malachias pun mengubah rencana dan membawa pasukan pemberontaknya ke utara untuk bergabung dengan Fountoulis.
Bersama-sama, kelompok bersenjata Ikaria yang semakin besar ini berhasil menangkap pasukan Ottoman yang tak seberapa jumlahnya di Evdilos pada 16 Juli. Namun, dua tentara Ottoman berhasil kabur dan mundur ke ibu kota untuk memperingatkan Thucydides Efendi.
Tertinggal kaget, Thucydides memerintahkan sembilan prajurit dari garnisun kecilnya untuk bergerak ke utara dan menghadapi para pemberontak. Inilah pertempuran satu-satunya yang terjadi dalam perjuangan kemerdekaan Ikaria.
Pertempuran penentu
Keesokan harinya, 17 Juli, pertempuran kembali terjadi antara 50 pemberontak Ikaria dan sembilan tentara Ottoman di dekat desa di jalur menuju Evdilos. Baku tembak sengit terjadi, namun tak ada korban jiwa di kedua pihak.
Saat asap pertempuran menghilang dan tentara Ottoman menyerah, tragedi terjadi. George P. N. Spanos, seorang pemberontak Ikaria yang terlambat bergabung, tertembak oleh peluru kawan sendiri dan menjadi korban jiwa satu-satunya dalam perjuangan kemerdekaan pulau ini.
"Spanos pun diabadikan sebagai pahlawan terdepan dalam gerakan kemerdekaan Ikaria," jelas Pappas.
Fountoulis dan Malachias kemudian memimpin pasukan pemberontak untuk merebut Agios Kyrikos, ibu kota pulau. Sementara itu, Thucydides Efendi dan pasukan Ottoman yang semakin berkurang berlindung di gedung administrasi.
Ironisnya, Thucydides Efendi tak bisa mengandalkan siapa pun selain arsitek gedung itu sendiri, George Fountoulis, untuk menyerang benteng pertahanan mereka.
Kini, Fountoulis dan Malachias, bersama pasukan pemberontak yang mengepung, berada di posisi yang menguntungkan. Thucydides Efendi pun menyerah pada pagi hari tanggal 18 Juli 1912.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kala Ratu Inggris dan Sultan Ottoman Jalin Hubungan Mesra
Meskipun namanya sama dengan jenderal dan sejarawan legendaris Yunani Kuno, Thucydides Efendi dari pihak Yunani-Ottoman ini jelas tak memiliki bakat yang sama.
Papalas menjelaskan bahwa Thucydides Efendi melakukan blunder dengan memecah belah pasukannya yang sudah sedikit jumlahnya saat para pemberontak Ikaria mengumpulkan para sukarelawan untuk melumpuhkan Ottoman.
Dengan demikian, kekuasaan Ottoman di wilayah terpencil kekaisaran ini pun berakhir. Namun, apa yang menggantikan kontrol Ottoman secara sementara justru membuat Ikaria mendapat tempat istimewa dalam sejarah.
Kesemuan negara merdeka terkecil
Meskipun berhasil mengalahkan Ottoman dan meraih kemerdekaan, masa depan Ikaria masih diselimuti ketidakpastian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada situasi ini.
Pertama, Venizelos dan pemerintah Yunani tidak senang dengan peristiwa revolusioner di Ikaria. Venizelos sedang terlibat dalam negosiasi rumit untuk membentuk Liga Balkan, koalisi untuk merebut wilayah Balkan yang tersisa di bawah Kekaisaran Ottoman.
Sejarawan D. Alastos mencatat bahwa negosiator Bulgaria bersikeras memasukkan klausul dalam perjanjian yang akan membatalkan aliansi Balkan jika serangan terhadap Ottoman terjadi sebelum tanggal yang disepakati.
Dengan demikian, para pemberontak Ikaria justru membuat Venizelos cemas saat ia menyelesaikan detail akhir untuk aliansi di balik layar sebelum dimulainya Perang Balkan Pertama tahun 1912.
Namun, ketidaksenangan Venizelos bukanlah masalah utama yang dihadapi para pemberontak Ikaria saat itu. Para penduduk pulau, misalnya, khawatir akan serangan balik Ottoman yang pada akhirnya tidak pernah terjadi.
Di saat yang sama, sumber daya menipis, dan hubungan perdagangan vital dengan pelabuhan Ottoman seperti Smyrna terganggu.
Dengan penundaan terkait penyatuan dengan Yunani, para pemberontak Ikaria meminta Malachias untuk membentuk pemerintahan. Akan tetapi, "Negara Merdeka Ikaria" yang dideklarasikan pada Juli 1912 ini nyaris tidak menyerupai negara yang berfungsi dengan baik.
Baca Juga: Tak Hanya 'Taman Bermain Seksual Sultan', Ini Peran Harem Era Ottoman
Misalnya, negara ini tidak memiliki birokrasi, mata uang, dan hubungan diplomatik. Faktanya, Negara Merdeka Ikaria hanya memiliki bendera, konstitusi, lagu kebangsaan, dan perangko. Pemerintahan rintisan ini membutuhkan uang sumbangan dari diaspora Ikaria di Mesir dan Amerika Serikat untuk bisa bertahan hidup.
Bukti nyata kekuatan tekad
Meskipun "Negara Merdeka Ikaria" hanya bertahan selama lima bulan, keberadaannya menjadi bukti nyata tekad rakyat Ikaria untuk meraih kemerdekaan dan menentukan nasib mereka sendiri.
Kisah mereka menjadi bagian unik dalam sejarah runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan menunjukkan bahwa perubahan sejarah dapat terjadi dalam skala besar maupun kecil.
Mungkin tidak mengejutkan bahwa Negara Merdeka Ikaria hanya bertahan selama lima bulan. Dengan sumber daya yang menipis dan ketakutan akan kekuatan lain seperti Italia yang mungkin merebut pulau tersebut, Ikaria menyambut baik penyatuan dengan Yunani pada November 1912.
Pandangan Yunani terhadap pencaplokan pulau-pulau Aegean Ottoman berubah setelah Perang Balkan Pertama dimulai pada Oktober 1912. Memang, banyak pulau Aegean di Kekaisaran Ottoman, termasuk Ikaria, Samos, dan Chios, akan bersatu dengan Yunani pada tahun 1913.
Meskipun Negara Merdeka Ikaria berumur pendek, para penduduk pulau tetap bangga dengan masa kemerdekaan singkat mereka dari Kekaisaran Ottoman dan Yunani.
Dalam sebuah ironi sejarah, sejarawan Anthony Papalas mencatat bahwa Thucydides Efendi kemudian menjadi pejabat pemerintah Yunani setelah diusir dari Turki bersama populasi Yunani-Ottoman pada 1920-an.
"Ini menambah keajaiban kisah bagaimana sebuah pulau kecil bisa melawan dan memenangkan kemerdekaan dari sebuah kekaisaran," tutup Pappas.
KOMENTAR