Nationalgeographic.co.id—Hari Kanker Paru Sedunia menjadi pengingat akan ancaman serius yang mengintai kesehatan masyarakat Indonesia.
Data terbaru menunjukkan fakta mengejutkan: orang Indonesia didiagnosis mengidap kanker paru rata-rata 10 tahun lebih muda dibandingkan negara lain. Angka ini sungguh mengkhawatirkan dan menjadi sorotan utama dalam dunia kesehatan.
Melalui artikel ini, kita akan mengungkap berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka penderita kanker paru di Indonesia, serta upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan.
Jauh lebih muda 10 tahun
Kanker paru, penyakit mematikan yang kerap dikaitkan dengan kebiasaan merokok, ternyata mengintai masyarakat Indonesia lebih dini dibandingkan negara lain.
Rata-rata, orang Indonesia didiagnosis mengidap kanker paru pada usia 58 tahun, jauh lebih muda 10 tahun dibandingkan rata-rata global yang berada di usia 68 tahun. Fakta mengejutkan ini menjadi sorotan serius dan mendesak adanya tindakan tegas untuk membatasi konsumsi rokok.
Tingginya prevalensi perokok di Indonesia, terutama di kalangan laki-laki, menjadi akar permasalahan utama.
Sita Laksmi Andarini, Ketua Kelompok Kerja Onkologi dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menjelaskan bahwa kebiasaan merokok yang merajalela ini tidak hanya berdampak pada perokok aktif, tetapi juga pada perokok pasif seperti perempuan dan anak-anak.
Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 memperkuat temuan ini. Sebanyak 64% pelajar yang disurvei memiliki orangtua yang merokok. Hal ini menunjukkan betapa luasnya paparan asap rokok di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan data Globocan 2020, kanker paru menempati posisi ketiga sebagai jenis kanker paling banyak ditemukan di Indonesia (8,8 persen), setelah kanker payudara (16,6 persen) dan kanker serviks (9,2 persen). Lebih mengkhawatirkan lagi, kanker paru merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita oleh laki-laki.
Merokok terbukti sebagai faktor risiko utama penyebab kanker paru, dengan peningkatan risiko hingga 20 kali lipat. Selain rokok, paparan asbes, polusi udara, riwayat tuberkulosis, dan faktor genetik juga turut meningkatkan risiko seseorang terkena kanker paru.
Baca Juga: Nanopartikel Berbahan Lokal Indonesia untuk Terapi Kanker Paru
”Risiko terbesarnya rokok, pajanan asbes, polusi, riwayat tuberkulosis, riwayat keluarga. Kanker paru dapat dicegah dan disembuhkan bisa dalam kondisi dini, tetapi 90 persen ini datanya sudah pada stadium lanjut," ungkap Sita dalam diskusi kesehatan virtual, Senin (4/12/2023).
Faktor risiko dan pencegahan
Kanker paru yang terdeteksi pada stadium lanjut membawa konsekuensi yang sangat serius. Pertumbuhan sel kanker yang semakin agresif pada tahap ini membuat peluang kesembuhan semakin tipis. Selain itu, biaya pengobatan yang harus ditanggung pasien pun menjadi jauh lebih besar.
Gejala kanker paru seringkali tidak spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain. Batuk kronis, sesak napas, batuk darah, nyeri dada, dan pembengkakan akibat tumor yang menekan pembuluh darah adalah beberapa tanda yang perlu diwaspadai.
Menariknya, dalam beberapa kasus, gejala kanker paru bahkan dapat mirip dengan stroke, seperti kejang-kejang.
”Banyak juga beberapa pasien terdiagnosis kanker paru bukan karena batuk atau sesak napas, tapi tiba-tiba kok lumpuh sebelahnya (stroke). Kemudian, setelah dilakukan CT Scan otak atau MRI otak, ternyata ketahuan di situ ada tumor. Saat dibiopsi, asalnya dari kanker paru,” ungkap Sita.
Kebiasaan merokok menjadi faktor risiko utama kanker paru. Paparan asap rokok secara terus-menerus, baik sebagai perokok aktif maupun pasif, sangat meningkatkan risiko terkena penyakit ini.
Selain itu, pekerja di industri tertentu seperti pertambangan dan pabrik kaca yang terpapar polusi tinggi juga rentan terkena kanker paru. Riwayat keluarga dengan kanker paru juga menjadi salah satu faktor yang perlu diwaspadai.
Untuk itu, Sita menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan rutin, terutama bagi perokok dan mereka yang terpapar polusi udara.
Di sisi lain, masyarakat seringkali percaya bahwa mengonsumsi makanan tertentu dalam jumlah banyak dapat membersihkan paru-paru atau bahkan menyembuhkan kanker paru. Namun, Sita menegaskan bahwa anggapan tersebut tidaklah benar.
"Tidak ada makanan tertentu yang dikonsumsi lebih banyak sebagai antikanker paru. Yang paling penting adalah tidak merokok, rokok elektrik juga memiliki risiko yang sama," tegas dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi di Universitas Indonesia.
Baca Juga: Temuan Baru: Jus Sarunashi Menghambat Kanker Paru-paru pada Tikus
Desakan perketat aturan rokok
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Muhammad Adib Khumaidi, kembali menyuarakan pentingnya memperketat aturan terkait rokok dan produk tembakau di Indonesia.
Data survei global penggunaan tembakau pada dewasa (GATS) 2021 menunjukkan fakta mengejutkan: ada sekitar 120 juta orang di Indonesia yang menjadi perokok pasif. Angka ini sangat besar dan menunjukkan betapa banyak orang yang terpapar asap rokok tanpa pilihan.
”Perlu dukungan regulasi dan pembiayaan melalui BPJS Kesehatan, dan yang paling penting juga aksesibilitas pasien agar mereka tahu ke mana harus berobat,” ungkap Adib.
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 sebenarnya telah mengatur kawasan tanpa rokok, seperti fasilitas kesehatan, sekolah, tempat bermain anak, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja, dan berbagai tempat umum lainnya. Namun, dalam praktiknya, masih banyak orang yang mengabaikan aturan ini tanpa konsekuensi yang berarti.
Hari Kanker Paru Sedunia menjadi pengingat bagi kita semua untuk peduli terhadap kesehatan paru-paru. Mari jadikan momentum ini sebagai langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat, sehingga ancaman kanker paru dapat diminimalisir.
Dari Fiksi Jadi Memori: Kisah Siti Nurbaya Jadi Identitas yang Kuat di Kota Padang
KOMENTAR