Nationalgeographic.co.id—Gunung Tambora, saksi bisu letusan dahsyat yang mengguncang dunia, kembali menjadi sorotan.
Kali ini, tim Tambora Expedition yang melakukan ekspedisi bertajuk "Menyapa Mahakaldera" berhasil mengungkap pesona alam dan budaya yang tersembunyi di balik kemegahannya.
Sukma Ampera, Utari Novita Sari, Yusri Yustisia, Nur Kkholis, dan Zidan, lima petualang tangguh, memulai perjalanan mereka dari Stasiun Pekalongan pada 1 Juni 2024 dengan misi menaklukkan puncak Tambora dan menjelajahi keindahan alam Lombok.
Dalam artikel ini, kita akan diajak untuk mengikuti jejak langkah para petualang dalam menaklukkan Gunung Tambora. Mulai dari persiapan yang matang, perjalanan yang penuh tantangan, hingga penemuan-penemuan menarik di sepanjang perjalanan.
Selain itu, kita juga akan diajak untuk mengenal lebih dekat budaya dan masyarakat Lombok yang masih kental dengan tradisi leluhurnya. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca artikel ini dan ikut merasakan sensasi petualangan yang seru!
Petualangan dimulai
Perjalanan panjang kami dimulai di Stasiun Pekalongan, stasiun bersejarah di kota kecil yang penuh pesona, pada 1 Juni 2024. Dengan tiket kereta seharga Rp110.000, kami melaju kencang menuju Surabaya, kota metropolitan yang ramai.
Nur Kholis, yang bertanggung jawab terhadap transportasi dan akomodasi tim, tak henti memantau ketersediaan penginapan di sekitar Stasiun Pasar Turi Surabaya. Tepat pukul 20.00 WIB, kami tiba di stasiun tersebut, disambut hawa panas yang membakar semangat.
Tanpa membuang waktu, kami bergegas menuju penginapan sederhana yang telah dipesan, dengan tarif Rp230.000 per kamar untuk 3 orang. Malam itu menjadi malam persiapan menjelang petualangan besar yang menanti esok hari.
Tepat pukul 08.00 WIB keesokan harinya, Utari Novita Sari, anggota ekspedisi yang penuh semangat, bergabung dengan kami. Bersama-sama, kami melangkah menuju Pelabuhan Tanjung Perak dengan angkutan online seharga Rp35.000. Tak lama kemudian, sampailah kami di pelabuhan yang ramai dan penuh dengan aktivitas.
Kapal yang akan mengantarkan kami adalah KM. Kirana VII, sebuah kapal penumpang dan barang yang melayani rute Tanjung Perak-Lembar NTB. Dengan tiket seharga Rp210.000, kami mendapatkan fasilitas sarapan dan makan malam di atas kapal.
Baca Juga: Dunia 'Sangat Tidak Siap' Menghadapi Letusan Gunung Berapi Masif
Di atas geladak, kami disuguhkan pemandangan Selat Madura yang indah, ombaknya menari-nari diiringi laju kapal yang membelah lautan. Malam pun tiba, menyelimuti kami dengan ketenangan di tengah lautan yang luas.
Menyambut fajar di Lombok dan menjelajah keindahan Sumbawa
Fajar menyingsing di ufuk timur, menyapa kami yang masih terlelap di atas kapal. Semilir angin Selat Lombok membelai wajah saat kapal kami bersandar di Pelabuhan Lembar, pelabuhan terbesar di pulau Lombok. Pukul 11.00 WITA, kami pun siap untuk memulai petualangan selanjutnya.
Segera setelah memastikan keadaan, kami menghubungi Yusri Yustisia, rekan suku Sasak yang tinggal di Mataram. Tak lama kemudian, mobil dari Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat menjemput kami. Di sana, kami disambut dengan hangat oleh Bapak Jamaluddin Maladi, selaku Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTB. Tanpa membuang waktu, kami bergegas menuju Terminal Mandalika, Mataram.
Suasana Terminal Mandalika terasa lengang saat itu. Tepat sebelum bus Surabaya Indah menuju Bima berangkat, Yusri, rekan kami, akhirnya bergabung. Perjalanan menuju Basecamp Pancasila di Gunung Tambora masih terbentang cukup jauh, yaitu 454 km. Diperkirakan waktu tempuhnya lebih dari 10 jam, dengan satu selat lagi yang harus kami seberangi, yaitu Selat Alas.
Kami menaiki bus Surabaya Indah dengan trayek Lombok-Bima. Tiket bus seharga Rp250.000 ini sudah termasuk makan malam dan tiket kapal penyeberangan dari Pelabuhan Kayangan menuju Pelabuhan Poto Tano.
Tepat pukul 17.00 WITA, panorama senja yang indah menyapa kami di Pelabuhan Kayangan. Langit jingga berpadu dengan hamparan bukit sabana, menghadirkan pemandangan yang begitu memukau. Dari pelabuhan inilah kami akan menyeberangi Selat Alas menuju Pelabuhan Poto Tano di pulau Sumbawa. Bus kami pun masuk ke dalam lambung kapal.
Perjalanan berlanjut menuju pulau Sumbawa. Melewati Jalur Trans Sumbawa, kami disuguhkan pemandangan alam yang memesona. Angin malam membawa kami hanyut dalam lamunan, diiringi alunan musik Melayu yang mengalun merdu dari perangkat suara bus. Kelelahan perjalanan pun terasa terbayar dengan keindahan alam yang tersaji di hadapan mata.
Menggapai kaki Gunung Tambora
Tepat pukul 03.00 WITA, bus kami tiba di Pertigaan Manggalewa, sebuah simpul jalan yang menghubungkan Dompu dan Bima. Di sana, kami disambut hangat oleh mobil dari Balai Taman Nasional Tambora.
Dedi Bimpo, sang petugas taman nasional, menjelaskan bahwa Basecamp Pancasila masih berjarak 3 jam perjalanan dari pertigaan tersebut. Bagi para pendaki yang ingin menghemat tenaga, ojek dari Pertigaan Manggalewa menuju Basecamp Pancasila tersedia dengan tarif Rp50.000-Rp100.000.
Baca Juga: Erupsi Gunung Tambora Dikonfirmasi Menjadi Penyebab 'Tahun Tanpa Musim Panas'
Surya baru saja memancarkan sinarnya ketika kami tiba di Resort Basecamp Pancasila pada pukul 06.00 WITA. Resort ini menjadi titik awal pendakian Gunung Tambora. Di sana, kami bercengkrama dengan Saiful Bahri, seorang pemandu lokal yang ramah, sambil menikmati sarapan di warung makan miliknya yang terletak tepat di depan resort. Keakraban dan semangat untuk mendaki pun semakin terjalin kuat.
Setengah jam perjalanan dari resort, terdapat Pasar Tradisional Senen. Kami pun menyempatkan diri untuk berbelanja perbekalan yang belum sempat dibeli sebelumnya.
Sekitar pukul 12, kami memulai pendakian Gunung Tambora. Tujuan pertama kami adalah Pintu Rimba, batas antara hutan dengan kebun masyarakat. Jalur menuju Pintu Rimba dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan ojek motor dengan tarif Rp100.000. Untuk memaksimalkan aklimatisasi, kami memilih untuk berjalan kaki.
Perjalanan kami melewati desa, kebun, dan jalanan yang rusak. Sebelum mencapai Pintu Rimba, kami menjumpai sebuah kampung di tengah hutan, tepat di lereng Tambora. Sekitar 30 rumah tampak menyembul di antara pepohonan. Kampung tersebut bernama Kampung Bali, dan dihuni oleh mayoritas masyarakat transmigran dari Bali. Sebuah pura megah berdiri kokoh di antara barisan rumah-rumah.
Matahari masih bersinar terang di ufuk barat saat kami tiba di Pintu Rimba pada pukul 15.30 WITA. Di sini, kami mengisi kembali persediaan air sebelum melanjutkan perjalanan ke Pos 1.
Nuansa hutan rimba mulai terasa saat kami melangkah menuju Pos 1. Di sepanjang jalur, kami disuguhkan pemandangan pepohonan kopi milik warga. Keunikan yang menarik perhatian kami adalah banyaknya pohon yang diikat dengan kain bermotif kotak-kotak. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan dan kepercayaan bagi penganut Hindu di Kampung Bali.
Awal jalur menuju Pos 1 dilengkapi dengan pagar besi pembatas dan jalanan berlapis semen. Namun, kerusakan pada jalur tersebut terlihat jelas.
Pada pukul 19.30 WITA, diiringi alunan orkestra serangga hutan yang merdu, kami akhirnya mencapai Pos 1. Segera kami mendirikan tenda dan bersiap untuk menghabiskan malam. Di Pos 1 ini terdapat mata air yang aman untuk digunakan untuk memasak dan minum.
Dengan ditemani alunan alam yang menenangkan, kami menyantap makan malam dan bersiap untuk beristirahat. Yusri, dengan sigap, menambahkan kayu bakar ke dalam perapian, memastikan cahaya api yang terang sebagai simbol kehidupan di tengah hutan belantara.
Mendaki Menuju Puncak Tambora
Fajar menyingsing, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah. Burung-burung dan ayam hutan masih tertidur lelap saat kami terbangun pada pukul 03.00 WITA. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari untuk memulai summit attack Gunung Tambora. Namun, berbeda dengan summit attack pada umumnya, pendakian kali ini lebih singkat dan fokus pada persiapan matang untuk mencapai puncak.
Baca Juga: Akibat Adu Mulut Soal Anjing, Gunung Tambora Pecah Menebar Bencana
Utari, dengan sigapnya, menyiapkan sarapan pagi untuk tim. Hangatnya api unggun dan aroma makanan yang lezat membangkitkan semangat kami untuk memulai perjalanan. Kami meninggalkan tenda, ransel, dan logistik utama di Pos 1, menggantungnya dengan aman untuk mengantisipasi serangan babi hutan.
Pukul 04.00 WITA, kami memulai pendakian menuju Pos 2. Hutan masih diselimuti kabut tipis, sunyi sepi, hanya suara langkah kaki dan kicauan burung yang menemani. Medan yang dilalui didominasi tanjakan curam, dan kami harus mewaspadai serangan pacet yang mulai terasa.
Sekitar pukul 04.56 WITA, kami tiba di Pos Bayangan Pos 2, sebuah peristirahatan singkat dengan gazebo yang sederhana. Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2 yang sesungguhnya.
Medan masih terus menanjak hingga kami tiba di Pos 2 pada pukul 05.56 WITA. Matahari mulai bersinar terang, menghangatkan tubuh kami yang terasa dingin. Di Pos 2, tidak terdapat shelter, hanya area camping ground yang cukup untuk 2-4 tenda. Beruntung, terdapat sungai jernih yang mengalir di dekatnya, sehingga kami dapat mengisi air dan bahkan mandi untuk menyegarkan diri.
Perjalanan selanjutnya menuju Pos 3 semakin menantang. Medan didominasi oleh hutan pakis yang lebat, dan serangan pacet semakin menjadi. Kami juga harus berhati-hati dengan daun jelatang yang dapat menyebabkan rasa perih dan panas pada kulit.
Setelah melewati medan yang berat, kami akhirnya sampai di Pos 3 pada pukul 08.30 WITA. Di sini, terdapat gazebo dan area camping ground yang cukup untuk 5-7 tenda. Sekitar 200 meter ke bawah Pos 3, terdapat mata air dan toilet yang sudah rusak. Semangat kami untuk mencapai puncak Tambora semakin berkobar di Pos 3 ini.
Segera setelah mengisi air dan beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 4. Ingat, di Pos 3 inilah tempat ideal untuk mengisi penuh persediaan air, karena di Pos 4 dan seterusnya, air tidak tersedia.
Medan menuju Pos 4 bervariasi, dengan tanjakan, turunan, dan jalan datar. Hutan pakis masih mendominasi, namun serangan pacet mulai berkurang. Di sepanjang jalur, kami melihat banyak pohon mati yang terbakar, kemungkinan akibat kebakaran hutan. Kabut tipis juga mulai turun sesekali, menambah kesan dramatis pada perjalanan kami.
Sekitar pukul 10.23 WITA, kami tiba di Pos 4. Di sini, tidak terdapat mata air, camping ground, ataupun shelter. Hanya ada sepetak tanah datar untuk beristirahat. Kami menyalakan kompor dan memasak makan siang, ditemani oleh kokok ayam hutan yang sesekali terdengar.
Pada pukul 11.00 WITA, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 5, pos terakhir sebelum puncak. Jalur semakin menanjak, dan kabut semakin tebal. Daun jelatang masih terlihat sesekali, dan pohon cemara yang rimbun menghiasi pemandangan di sekitar kami.
Sekitar pukul 12.30 WITA, kami sampai di Pos 5. Di sini, tidak terdapat shelter, tetapi ada area camping ground di sabana. Mata air di Pos 5 berupa kubangan tadah hujan dan tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, penting untuk mengisi air di Pos 3 sebelum melanjutkan perjalanan.
Puncak Tambora sudah di depan mata, hanya sekitar 200 meter lagi. Namun, perjalanan dari Pos 5 ke puncak terbilang panjang dan melelahkan. Medan yang bervariasi, dengan dominasi tanjakan, terpaan angin kencang, dan kabut tebal, menguras tenaga dan stamina kami.
Pukul 14.00 WITA, kami tiba di pertigaan tugu peringatan. Di sini, kami mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Yusri meminum obat maagnya, dan Utari merasakan sakit perut dan berbaring lemah. Kabut semakin tebal dan waktu menunjukkan pukul 15.50 WITA.
Dengan mempertimbangkan kondisi fisik tim yang mulai menurun, persediaan logistik yang terbatas, dan waktu yang semakin singkat, kami memutuskan untuk kembali ke Pos 5. Sebuah keputusan yang berat, namun keselamatan dan kesehatan tim menjadi prioritas utama.
Perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos 1 terasa lebih melelahkan. Kelelahan fisik dan mental, ditambah dengan kabut tebal dan medan yang terjal, membuat langkah kaki kami terasa berat. Gonggongan anjing hutan di kejauhan menambah suasana yang menegangkan.
Akhirnya, setelah melewati malam yang panjang dan penuh perjuangan, kami tiba di Pos 1 pada pukul 02.00 WITA. Rasa lelah dan kecewa bercampur aduk, namun rasa syukur atas keselamatan tim menjadi yang utama.
Kembali ke Kaki Gunung Tambora
Setelah malam yang panjang dan penuh istirahat, kami terbangun sekitar pukul 09.00 WITA. Kelelahan fisik masih terasa, namun semangat untuk kembali ke peradaban membakar semangat kami.
Utari, dengan sigapnya, menyiapkan sarapan pagi untuk tim. Di saat yang sama, Kholis dan anggota tim lainnya mulai membongkar tenda dan mempersiapkan barang bawaan.
Hari keenam pendakian Gunung Tambora ini akan diisi dengan perjalanan pulang menuju Resort Basecamp Pancasila. Sebelum memulai perjalanan, kami mengisi kembali persediaan air di mata air Pos 1.
Perjalanan turun terasa lebih mudah dan cepat dibandingkan saat pendakian. Sekitar pukul 14.00 WITA, kami tiba di Pintu Rimba. Di sana, kami bertemu dengan sekelompok komunitas motocross dari Bima. Kami pun menyempatkan diri untuk berkenalan dan bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing.
Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan turun pada pukul 15.00 WITA. Melewati Kampung Bali, kami disambut dengan keramahan penduduk setempat. Mereka menawarkan pisang dan jeruk kepada kami, sebuah gestur yang penuh ketulusan dan keramahan.
Perjalanan dilanjutkan hingga kami tiba di pertigaan gazebo. Di sana, kami memutuskan untuk menggunakan jasa ojek motor untuk mengantarkan kami kembali ke basecamp. Harga ojek telah dinego sebelumnya, dan kami pun siap untuk melanjutkan perjalanan.
Kondisi jalan menuju basecamp terbilang rusak parah. Namun, sang pengendara ojek motor melaju dengan penuh semangat dan keahlian. Sekitar pukul 16.45 WITA, kami akhirnya tiba di Basecamp Pancasila.
Sandi, petugas basecamp, menyambut kami dengan ramah. Ia membantu kami mengecek barang bawaan untuk memastikan tidak ada sampah yang tertinggal di kawasan Taman Nasional Tambora.
Senja mulai menyapa, menghadirkan suasana yang indah namun diwarnai dengan sedikit rasa haru karena petualangan pendakian Gunung Tambora harus berakhir.
Kembali ke Peradaban
Tepat pukul 10.00 WITA, bus Sinar Rejeki dengan trayek Calabai-Mataram tiba di depan basecamp Pancasila untuk menjemput kami. Bus ini menawarkan layanan unik, yaitu mengantarkan penumpang hingga ke rumah atau desa mereka. Tanpa membuang waktu, kami segera menaikkan ransel ke atap bus dan bersiap untuk memulai perjalanan pulang.
Sebelum berangkat, kami menyempatkan diri untuk membagikan majalah National Geographic Indonesia kepada tim Basecamp Pancasila sebagai bentuk rasa terima kasih atas keramahan dan pelayanan mereka selama kami berada di sana.
Perjalanan pulang memakan waktu satu hari penuh. Bus melaju perlahan melewati jalan-jalan desa, menjemput penumpang di sepanjang rute. Kondisi jalan desa umumnya sudah cukup bagus, mungkin karena efek dari perkembangan pariwisata di kawasan ini. Namun, sarana umum di beberapa desa masih terkesan seadanya.
Bus terus melaju, melewati jalan lintas Sumbawa yang halus namun cukup sempit. Di sisi kanan kami, terhampar luas pemandangan indah Teluk Saleh yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Sekitar pukul 22.30 WITA, kami tiba di Pelabuhan Pototano. Bus kemudian memasuki kapal untuk menyeberang ke Pelabuhan Kayangan di pulau Lombok.
Perjalanan laut memakan waktu sekitar 3 jam. Pukul 01.30 WITA, kami mendarat di bumi Lombok dan melanjutkan perjalanan menuju Terminal Mandalika di kota Mataram.
Kelelahan fisik dan mental setelah pendakian selama enam hari membuat kami tidak bersemangat untuk mendokumentasikan sisa perjalanan. 12 jam lebih perjalanan bus cukup untuk memaksa kami tertidur di bangku bus.
Menjelajahi Mataram dan Sekitarnya
Kicauan pedagang asongan dan hiruk pikuk terminal mengantarkan kami kembali ke peradaban. Pagi itu, tepat pukul 06.00 WITA, bus Sinar Rejeki memasuki Terminal Mandalika dengan santai.
Kami pun turun dari bus dan mencari warung kopi untuk menyegarkan diri setelah perjalanan panjang. Terminal Mandalika merupakan terminal terbesar di ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat ini.
Setelah beristirahat sejenak, kami memesan ojek mobil online dengan tarif Rp50.000 untuk menuju basecamp rekan kami, Taman Baca Teman Baca di Kota Mataram. Tak sampai setengah jam, kami sudah disambut dengan hangat oleh Dedi, ketua Taman Baca. Kami pun menyerahkan majalah National Geographic Indonesia sebagai tanda terima kasih atas keramahan mereka.
Selanjutnya, kami dijemput dengan mobil Dinas Pariwisata Provinsi NTB untuk menjelajahi Mataram dan sekitarnya. Tujuan pertama kami adalah Museum Negeri Nusa Tenggara Barat. Sekitar pukul 10.00 WITA, kami memasuki museum dan mulai menyelami kekayaan sejarah dan budaya Nusa Tenggara Barat.
Setelah puas menjelajahi museum, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Wisata Etnik Desa Sade. Desa ini telah membangun peradabannya selama lebih dari 1.000 tahun dan masih menjaga tradisi dan budaya leluhur mereka dengan baik. Ditemani pemandu lokal, kami menyusuri "lorong waktu" Desa Sade dan merasakan atmosfer kehidupan masyarakat setempat. Kami pun berkesempatan untuk menumpang ibadah Sholat Jum'at di Masjid Desa Sade.
Cuaca semakin panas, dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Merese, sebuah wisata alam yang memukau di pinggir Samudera Hindia. Melewati jalan di depan Sirkuit Mandalika, kami tiba di Pantai Merese sekitar pukul 14.00 siang. Pemandangan pantai yang indah dengan bukit-bukit yang menjulang tinggi menjadi bingkai alam yang begitu memukau.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR