Nationalgeographic.co.id—Sejarah Indonesia memiliki kisah tentang hubungan mesra dengan Kekaisaran Ottoman di Turki.
Namun tak hanya itu, hubungan Kekaisaran Ottoman dengan Kerajaan di Jawa nampaknya diperkuat lagi oleh para penyair kerajaan Jawa dengan alasan tertentu.
Sebenarnya, sebelum harum hubungan antara Kerajaan Jawa dengan Kekaisaran Ottoman, para cendekiawan Belanda dan banyak sejarawan telah mengemukakan konsep Indianisasi.
Konsep ini dianggap sebagai proses yang berhasil memajukan Nusantara menuju kekejayaannya.
Dalam Majalah Ilmiah Tabuah, Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dari UIN Imam Bonjol Padang, menerbitkan artikel yang berjudul The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island).
Dalam artikel tersebut, mereka mengungkap kesatuan Nusantara pada zaman kuno dikatakan terjadi di bawah panji Srivijaya dan Majapahit.
Kedua kerajaan ini diakui sebagai yang terpengaruh oleh proses Indianisasi.
Gambaran India yang menembus secara sadar atau tidak sadar ke dalam pikiran bangsa Indonesia oleh DR. Andrik Purwasito disebut sebagai "imaji India."
Keberadaan Imaji India itu sendiri telah menghapus konsep versi berbeda dari "Nusantara yang Agung" yang dibangun oleh beberapa penyair di era pasca-dinasti Mataram.
Para penyair ini menghasilkan karya sastra yang mewakili pandangan Istana Jawa dan membangun persepsi bahwa "kepulauan besar" terbentuk dari hubungan intim antara Turki Utsmaniyah dan Jawa.
Budaya India memang mempengaruhi Nusantara sebelumnya, tetapi para penyair kerajaan Jawa sebagai penerus dinasti Mataram, di antaranya Kesunanan Surakarta, punya kebijakan untuk menghilangkan "kebesaran" India dari pemikiran Jawa.
Baca Juga: Meriam Lada Secupak: Tanda Cinta Kekaisaran Ottoman untuk Aceh
"Para penyair ini merasa bahwa wacana tandingan terhadap Imaji India perlu dihadirkan," ungkap Meirison dkk.
"Menurut mereka, era Hindu telah berakhir dan digantikan oleh Islam yang membawa peradaban yang lebih baik."
Arab dan Turki dianggap dalam karya sastra kontemporer sebagai kontributor pada Keagungan Nusantara.
"Contoh yang dapat diambil adalah Serat Paramayoga oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, penyair paling otoritatif dari Istana Surakarta," paparnya.
Dalam karyanya, diceritakan bahwa tokoh Ajisaka, seorang pria India yang telah menjadi murid Nabi Muhammad, diperintahkan oleh Sultan Algabah dari Ngerum, nama untuk Turki Utsmaniyah saat itu, untuk mengembangkan pulau Jawa.
Dikatakan bahwa Pulau Jawa saat itu masih kosong dan belum dihuni oleh manusia.
Ajisaka pergi ke Jawa, ditemani oleh 200 orang. Namun, kelompok itu kemudian meninggal karena wabah penyakit, dan hanya beberapa ratus orang yang kembali ke negara asal mereka.
Pada waktu lain, Aji Saka kembali memimpin ekspedisi kedua ditemani oleh Patih Amiru Syamsu.
Misi kedua ini berhasil. Selanjutnya, Sultan Algabah melanjutkan ekspedisi ketiga untuk memajukan Jawa di bawah kepemimpinan Said Jamhur Muharram, yang langsung menuju Kediri, Jawa Timur.
"Cerita yang terkandung dalam Serat Paramayoga jelas hanyalah versi pseudo-historis," jelas Meirison dkk.
Maknanya bukan benar-benar sejarah. Keberadaan Sultan Algabah bahkan sosok Aji Saka sendiri dan cerita yang mengelilinginya masih dapat diperdebatkan.
Baca Juga: Mengenang Mesranya Hubungan Kekaisaran Ottoman dengan Kerajaan Jawa
Namun, wacana imajiner yang telah dibangun dalam karya sastra ini jelas mengangkat Turki Utsmaniyah sebagai ikon utama yang berkontribusi pada perkembangan awal peradaban Jawa, bukan Hindu atau Buddha.
"Tidak hanya Serat Paramayoga, Kitab Serat Term Jayabaya "Musarar" juga memandang positif citra Turki sebagai bangsa yang memajukan Jawa," lanjutnya.
Dalam naskah yang penulisnya tidak diketahui, diceritakan bahwa Prabu Jayabaya, seorang raja Hindu yang merupakan inkarnasi Dewa Wisnu di Kediri, memiliki guru yang berasal dari Rum (Turki Utsmaniyah) bernama Sultan Maulana Ngali Samsujen.
Pendeta-raja dari Turki itu mengingatkan bahwa Dewa Wisnu yang ada di Raja Jayabaya hanya hidup tiga kali di Jawa.
Setelah itu, masa berubah, Pulau Jawa akan dikelola oleh umat Islam.
Tidak hanya itu, dalam karya sastra ini juga digambarkan bahwa Prabu Jayabaya, yang merupakan raja Hindu dan bahkan inkarnasi dewa, sebenarnya adalah pengikut Nabi Muhammad.
Hal ini diungkapkan dalam kalimat di bait I lagu Dhandhanggula ayat 15 sebagai berikut "Yen Islama kadi Nabi ri Sang Aji Jayabaya" (Jika Islam seperti Nabi, dia adalah Raja Jayabaya).
Dari naskah karya sastra pseudo-historis Serat Berjaya Jayabaya "Musarar," setidaknya dapat dilihat bahwa Hindu tidak ada sebelum Islam.
Era baru telah datang dengan hadirnya Islam. Alam para dewa, yang telah lama dianut oleh orang Jawa, telah ditundukkan oleh kehadiran ulama Muslim dari Rum.
Di sini lagi, citra Turki Utsmaniyah yang muncul sebagai tokoh yang bertanggung jawab atas upaya memajukan tanah Jawa setelah era Hindu.
Cerita Sultan Maulana Syamsujen dari Rum (Utsmaniyah) dan Jayabaya juga direproduksi dalam karya sastra serupa, termasuk Serat Pranitiwakya, yang penulisnya tidak diketahui, dan Serat Wedda-Musyawarat oleh Ki Ageng Ngeksintoro alias R.M.P.H. Djajengkusumo, seorang pangeran dari Kraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kapan Sebenarnya Konstantinopel Berubah jadi Istanbul?
Pangeran Diponegoro sendiri dalam perjuangannya selama Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda mengadopsi sistem organisasi militer modern Turki Utsmaniyah.
Dia mengadopsi nama-nama unit militer Sultan Utsmaniyah.
Ada 14 unit dalam pasukan Diponegoro, beberapa di antaranya mengadopsi dari Turki, termasuk Bulkiya, Burjumuah, Turkiye, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanangprang.
Sebagian dari hierarki pangkatnya menggunakan aksen Turki, termasuk Ali Basah (Ali Pasha), yang setara dengan komandan divisi, wet, yang setara dengan komandan brigade, dulah setara dengan komandan batalion, dan komandan kopi.
Mengingat hubungan masa lalu yang harmonis antara Indonesia dan Turki, tidak ada salahnya untuk mempertahankan persahabatan masa lalu ini.
Ini adalah bukti bahwa Islam dengan konsep ukhuwahnya telah menyatukan dua bangsa yang terpisah oleh jarak yang pendek.
Ini adalah kekuatan iman yang dapat melintasi daratan dan laut.
Respons terhadap Keruntuhan Kekhalifahan
Pada awal tahun 1920, Kekhalifahan Utsmaniyah memasuki babak baru.
Setelah Mustafa Kemal menguasai Turki, Turki diubah menjadi republik sekuler, dan tidak hanya itu, ia bahkan mengumumkan penghapusan Kekhalifahan Islam di Turki.
Peristiwa ini segera mengejutkan dunia Muslim dan mendapatkan tanggapan dari beberapa umat Islam.
Baca Juga: Bagaimana Ikaria Tundukkan Ottoman dan Jadi Negara Merdeka Terkecil dalam Sejarah Dunia?
Menanggapi keruntuhan Kekhalifahan, sebuah komite didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dipimpin oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah (salah satu pendiri N.U.).
Tujuannya adalah untuk membahas undangan ke kongres khilafah di Kairo.
Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan mengadakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada 24-27 Desember 1924.
Keputusan penting dari kongres ini adalah terlibat dalam gerakan khilafah dan mengirim utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Muslim.
Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (Syarikat Islam), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah), dan K.H.A. Wahab dari kalangan tradisional (N.U.).
Begitulah hubungan antara Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dengan Nusantara.
Pasukan Turki datang ke Nusantara juga dengan tujuan berdakwah dan membangun persaudaraan di antara umat Islam.
Beberapa pujangga pada era pasca-dinasti Mataram menggambarkan hubungan erat antara Turki Utsmani dan Jawa yang turut membentuk keagungan Nusantara.***
Baca Juga: Mengapa Sultan Selim I Dijuluki Si Bengis di Kekaisaran Ottoman?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR