Namun, wacana imajiner yang telah dibangun dalam karya sastra ini jelas mengangkat Turki Utsmaniyah sebagai ikon utama yang berkontribusi pada perkembangan awal peradaban Jawa, bukan Hindu atau Buddha.
"Tidak hanya Serat Paramayoga, Kitab Serat Term Jayabaya "Musarar" juga memandang positif citra Turki sebagai bangsa yang memajukan Jawa," lanjutnya.
Dalam naskah yang penulisnya tidak diketahui, diceritakan bahwa Prabu Jayabaya, seorang raja Hindu yang merupakan inkarnasi Dewa Wisnu di Kediri, memiliki guru yang berasal dari Rum (Turki Utsmaniyah) bernama Sultan Maulana Ngali Samsujen.
Pendeta-raja dari Turki itu mengingatkan bahwa Dewa Wisnu yang ada di Raja Jayabaya hanya hidup tiga kali di Jawa.
Setelah itu, masa berubah, Pulau Jawa akan dikelola oleh umat Islam.
Tidak hanya itu, dalam karya sastra ini juga digambarkan bahwa Prabu Jayabaya, yang merupakan raja Hindu dan bahkan inkarnasi dewa, sebenarnya adalah pengikut Nabi Muhammad.
Hal ini diungkapkan dalam kalimat di bait I lagu Dhandhanggula ayat 15 sebagai berikut "Yen Islama kadi Nabi ri Sang Aji Jayabaya" (Jika Islam seperti Nabi, dia adalah Raja Jayabaya).
Dari naskah karya sastra pseudo-historis Serat Berjaya Jayabaya "Musarar," setidaknya dapat dilihat bahwa Hindu tidak ada sebelum Islam.
Era baru telah datang dengan hadirnya Islam. Alam para dewa, yang telah lama dianut oleh orang Jawa, telah ditundukkan oleh kehadiran ulama Muslim dari Rum.
Di sini lagi, citra Turki Utsmaniyah yang muncul sebagai tokoh yang bertanggung jawab atas upaya memajukan tanah Jawa setelah era Hindu.
Cerita Sultan Maulana Syamsujen dari Rum (Utsmaniyah) dan Jayabaya juga direproduksi dalam karya sastra serupa, termasuk Serat Pranitiwakya, yang penulisnya tidak diketahui, dan Serat Wedda-Musyawarat oleh Ki Ageng Ngeksintoro alias R.M.P.H. Djajengkusumo, seorang pangeran dari Kraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kapan Sebenarnya Konstantinopel Berubah jadi Istanbul?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR