Nationalgeographic.co.id—Peradaban Inca, seperti kelompok Andes kuno lainnya, mempraktikkan mumifikasi buatan sebagai cara untuk menghormati leluhur mereka. Selain itu, praktik mumi juga bertujuan untuk menjaga hubungan antara masa kini dan masa lalu.
Mumi Inca yang paling penting, termasuk mumi kaisar mereka, diperlakukan sebagai manusia yang masih hidup. Mumi dibungkus dengan tekstil dan perhiasan halus dan disuguhi makanan dan minuman. Mumi juga dirawat dengan hati-hati oleh keturunan mereka yang masih hidup.
Bagaimana mumi Inca itu ‘berkuasa’ atas orang-orang yang masih hidup?
Mumifikasi dalam budaya Andes kuno
Suku Inca bukanlah budaya Andes pertama yang membuat mumi. Faktanya, Chinchorro, budaya pemburu-pengumpul mulai mempraktikkan mumifikasi buatan sekitar 2.000 tahun sebelum orang Mesir kuno.
Iklim pegunungan yang kering di dekat pantai secara alami mengawetkan sisa-sisa manusia dan lainnya. Suku Chinchorro belajar untuk memperpanjang proses ini dengan membuang organ-organ, membalsem atau mengeringkan daging. Mereka menyusun kembali tubuh-tubuh tersebut.
“Chinchorro mulai dengan memumikan anak-anak yang meninggal muda,” tulis Sarah Pruitt di laman History. Namun seiring waktu mereka juga membuat mumi orang dewasa, terutama mereka yang lebih tua yang dianggap berpengaruh dalam kehidupan suatu komunitas.
Proses mumifikasi leluhur ini umum dilakukan di antara kelompok-kelompok Andes pada abad ke-12 M. Saat itu suku Inca mendirikan ibu kota mereka di Cuzco, di tempat yang sekarang disebut Peru selatan.
Peran mumi dalam ekspansi Inca
“Mumi yang diawetkan secara artifisial dari Andes tidak tampak seperti mumi dari Mesir kuno,” kata Christopher Heaney, asisten profesor sejarah Amerika Latin di Universitas Negeri Pennsylvania.
Mumi Andes biasanya disusun dalam posisi janin dan dibungkus dengan lapisan kulit atau kain untuk membentuk bundel. keheningan dan kekokohan itu diyakini memberikan mumi kemampuan untuk bergerak seiring waktu dan membentuk kehidupan orang yang masih hidup. Hal ini dipercaya khususnya bagi suku Inca, kata Heaney.
Baca Juga: Ketika Mitologi Inca Berpengaruh terhadap Ritual hingga Peperangan
Ekspansi kekaisaran yang gencar berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Untuk mendukungnya, suku Inca menggunakan mumifikasi leluhur sebagai bahasa umum untuk membantu penaklukan terhadap kelompok Andes lainnya.
Menurut tradisi Inca, Kaisar Inca adalah keturunan langsung matahari. Kepercayaan itu menjadikannya leluhur bagi setiap orang yang ia klaim sebagai pengikutnya.
Ketika suku Inca memasukkan suatu kelompok ke dalam kekaisarannya, mereka akan mengeklaim mumi leluhur kelompok tersebut. Suku Inca akan memberi persembahan dan membawa mumi yang paling berkuasa ke ibu kota Inca di Cuzco untuk disembah.
“Hal itu adalah langkah yang kuat. Tindakan itu menunjukkan bahwa Inca menghormati orang mati dari kelompok lain,” kata Heaney.
“Suku Inca mampu berkembang karena mereka dapat berbicara dalam bahasa hubungan leluhur ini.”
Memerintah di akhirat
Seiring dengan meluasnya kekaisaran, peran mumi Inca yang paling berkuasa—dikenal sebagai illapa—berkembang melampaui sekadar pemujaan leluhur.
Ketika seorang kaisar Inca meninggal, penerusnya mewarisi kekuasaannya, tetapi bukan harta duniawinya. Pasalnya, harta duniawi tersebut dipahami akan mengikuti kaisar yang telah meninggal ke akhirat. Anggota keluarganya kemudian akan merawat tubuhnya yang telah dimumikan. Hal ini memastikan ia tetap dalam keadaan mewah bahkan setelah meninggal.
Ketika illapa dikeluarkan dan disatukan, Kaisar Inca yang baru terkadang akan menunjukkan kekuasaannya sendiri dengan mengambil tempatnya. Kaisar baru akan duduk seperti batu di antara para pendahulunya yang telah meninggal.
Namun, mumi Inca yang kuat ini tidak hanya berjenis kelamin laki-laki, tegas Heaney. Sebaliknya, mereka sering diawetkan dalam bentuk pasangan laki-laki dan perempuan. Untuk mengeklaim kekuasaan, calon kaisar harus menikahi seorang wanita Inca terkemuka, terkadang bahkan seorang kerabat.
“Ada dualitas dalam pemahaman Inca dan Andes tentang alam semesta. Laki-laki dan perempuan bersama-sama, dengan kekuatan dan kemampuan masing-masing, yang menciptakan kekaisaran,” katanya.
Nasib mumi Inca setelah penaklukan Spanyol
Penjajah Spanyol tiba pada tahun 1530-an. Saat itu Kekaisaran Inca membentang dari wilayah yang sekarang disebut Ekuador utara hingga Chili bagian tengah.
“Orang Spanyol terpesona dan juga gelisah oleh pemujaan Inca terhadap leluhur mereka,” jelas Heaney. “Mereka menyadari bahwa ini bukan sekadar tubuh yang dibalsem. Bagi suku Inca dan rakyatnya, mumi masih memiliki kekuatan kosmik dan kehidupan sosial yang tinggi.”
Setelah menjarah dan merusak beberapa makam mumi, orang Spanyol akhirnya memutuskan untuk menyita semua mumi Inca pada 1559. Mumi yang paling terkenal dibawa ke Lima dan disimpan di rumah sakit Spanyol. Di sana kemungkinan besar mumi-mumi tersebut dimakamkan.
Sementara itu, kisah-kisah tentang mumi Inca mulai menyebar ke seluruh dunia. Sebagian besar berkat Garcilaso de la Vega. Ia adalah putra seorang penakluk Spanyol dan seorang wanita bangsawan Inca. Tulisannya tentang mumi diterjemahkan dan diterbitkan ulang secara luas pada abad ke-17.
Pengurbanan anak
Selain kaisar, kelompok mumi Inca lainnya menjadi pusat perhatian dalam beberapa dekade terakhir. Mereka adalah anak-anak yang dibunuh secara ritual oleh suku Inca. Mumi anak tersebut ditempatkan di kuburan gunung. Mereka menjadi utusan antara dunia yang hidup dan para apus atau dewa gunung.
Pengurbanan anak-anak yang paling terkenal (capacocha) adalah Juanita. Juanita adalah mumi alami seorang gadis muda yang ditemukan di Gunung Ampato di Andes Peru pada 1995. Selain juanita, ada juga mumi gadis berusia 13 tahun dan dua anak yang lebih muda. Mereka ditemukan di kuil dekat puncak Gunung Llullaillaco di Argentina.
Berasal dari masa Kekaisaran Inca, mumi-mumi ini termasuk di antara mumi yang paling terpelihara yang pernah ditemukan.
“Kita dapat menganggap pembunuhan yang mereka lakukan sebagai unjuk kekuatan Inca. Tapi saat mereka meninggal, mereka juga menjadi salah satu manusia paling berkuasa di kekaisaran,” kata Heaney tentang capacocha. “Ironisnya, merekalah yang ‘bertahan hidup’ selama berabad-abad, bukan kaisar itu sendiri.”
Source | : | History |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR