Kisah oleh Ady Setyawan, Kontributor National Geographic Indonesia
Nationalgeographic.co.id—"Ceritakan padaku tentang pesawat itu, Bas!"
Namanya Bas Krueger, seorang periset yang membidangi jejak Perang Dunia Kedua di Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed, yakni Badan Warisan Budaya Nasional di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda.
Saya mengenalnya sejak sekitar dua tahun silam. Karena banyak memiliki kesamaan, terutama minat akan wreck—baik kapal maupun pesawat era Perang Dunia II. Kami mendiskusikan banyak hal terkait temuan masing-masing.
Suatu hari Bas bertanya apakah saya tertarik mencari bangkai pesawat Belanda di pedalaman hutan Kalimantan. Satu kalimat pertanyaan pembuka itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya antusias.
Ia memulai ceritanya. Pesawat yang malang itu adalah Glenn Martin M574. Pesawat bomber itu merupakan bagian dari kelompok patroli 1-VLG III yang terbang dari Cililitan—kini Lanud Halim Perdanakusumah—menuju Tarakan pada 3 Januari 1941.
Ada tiga pesawat bomber yang meninggalkan landasan pacu Cililitan hari itu. Sesaat setelah lepas landas meninggalkan Cililitan, M-574 yang dipiloti oleh Sersan Udara Ernest van Galen terpisah dengan dua pesawat lain akibat cuaca yang buruk, demikian catatan Bass dalam laman Maritime Stepping Stones (MaSS).
Maritime Stepping Stones merupakan basis data cerita tentang bangkai kapal dan situs bawah air. Tujuannya, memberikan gambaran lengkap tentang suatu situs dalam lingkungan arkeologi dan sejarahnya.
Ernest van Galen sebelumnya adalah pilot penerbangan sipil KNILM (Koninklijk Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij). Penerbangan menuju Tarakan ini menjadi penerbangan perdananya sebagai pilot militer.
Di dalam pesawat itu turut pula Kopral Mekanik Harry Janssen, sebagai seorang mekanik pesawat. Ia bukan hanya bertanggung jawab atas mekanisme pesawat saat di darat tetapi juga harus ikut terbang bersama pesawat yang ditangani. Pun ketika pesawat mengangkasa ia bertugas pula sebagai gunner atau penembak.
Baca Juga: Kejatuhan Singapura, Pukulan Telak Inggris di Sejarah Perang Dunia II
Setelah terjebak cuaca buruk dan berputar-putar selama satu jam, pilot memutuskan untuk kembali ke Cililitan dan akan melanjutkan penerbangan keesokan harinya.
Pada 4 Januari 1941, Ernest van Galen kembali terbang dari Cililitan dan berhasil mendaratkan pesawat itu di Tarakan. Letnan Satu J.C. Timmer dan seluruh awak patroli 1-VLG III menanti di lapangan terbang itu.
Setelah awak M-574 turun dari pesawat, Timmer langsung memaki-maki Ernest karena telah berputar balik. Inilah perbedaan pilot sipil dan militer. Pilot sipil memikirkan nyawa penumpang dan unit pesawat, sementara pilot militer berpikir untuk menuntaskan misi apapun resikonya.
Misi Dua Glenn Martin ke Samarinda
Masih di hari yang sama, dua bomber M-574 dan M-575 diperintahkan terbang ke Samarinda untuk melakukan pengisian bahan bakar penuh guna keperluan patroli panjang. Masih diliputi emosi, Timmer menghukum Harry Janssen dan melarangnya untuk ikut penerbangan selama satu bulan.
Kemudian, Timmer naik ke dalam pesawat sebagai pilot utama. Ia berniat memberi pelajaran kepada Ernest bagaimana menjadi pilot militer yang baik. Harry, yang mendapat hukuman larangan terbang, menyelinap masuk ke dalam pesawat. Namun, keberadaannya diketahui oleh Timmer, sehingga membuat murka Timmer makin menjadi. Posisi Harry pun digantikan oleh Kopral mekanik Jan van Valen.
Kedua bomber tersebut kemudian mengudara bersamaan, M-574 terbang di ketinggian 800 meter dan M-575 di ketinggian 1.500 meter. Setelah terbang selama 22 menit, hujan deras menyambut kedua pesawat. Komunikasi radio yang pada awalnya lancar, kini terputus.
Glenn Martin M-575 berhasil mendarat di Samarinda. Seluruh awaknya menanti kedatangan M-574 yang tak kunjung terlihat. Lapangan udara Tarakan pun mengabarkan bahwa M-574 tidak berputar kembali ke pangkalan. Beberapa jam berlalu, Glenn Martin M-574 dinyatakan hilang.
Setahun kemudian, pada Januari 1942 sekelompok patroli infantri pasukan KNIL menemukan reruntuhan M574. Mereka saat itu sedang dalam misi pencarian pesawat bomber Glenn Martin M571, namun justru menemukan M-574 yang hilang setahun sebelumnya.
Baca Juga: Warga Belanda dan Indonesia Bersama Memperingati Berakhirnya Perang Dunia Kedua
Tim kecil ini menemukan empat kerangka manusia yang kemudian dikubur di samping pesawat, di mana seharusnya ada lima jenazah. Tentang nasib satu orang lainnya masih belum jelas hingga saat ini, apakah ia berhasil menggunakan kursi lontar, atau selamat dalam kecelakaan lalu meninggal tersesat di dalam lebatnya belantara Kalimantan?
Pencarian kembali Glenn Martin yang malang
Mendengar kisah itu, saya tak berpikir panjang, rencana segera dibuat, berangkat menuju Berau pada Jumat 30 Agustus 2024. Tiba di Bandara Kalimarau pukul 20.00 WIB, sebuah kendaraan berpenggerak empat roda sudah menanti dengan pengemudinya.
Perjalanan menuju desa Long Keluh memakan waktu sekitar empat jam. Kami melintasi jalanan tanah yang tidak muncul di peta Google, jalanan yang dibangun oleh perusahaan tambang dan pemotongan kayu.
Tepat tengah malam, saya tiba di desa Long Keluh. Saya menuju rumah Paulus Bilung, seorang dari suku Dayak yang nantinya memandu perjalanan menuju lokasi bangkai pesawat. Petunjuk lokasi rumahnya cukup sederhana—rumah bercat merah putih tepat di samping tower.
Usai sarapan pagi kami berangkat. Ternyata bukan hanya Paulus yang akan mengantar saya, istri dan putrinya juga akan turut serta. Kami kemudian naik mobil sejauh tiga kilometer hingga jalan terputus. Setelah itu kami turun dan berjalan kaki.
Dua setengah jam pertama kami habiskan dengan menyusuri aliran sungai, sebagian dari badan terendam air. Keluar dari sungai, kami mulai mendaki. Tak ada jalan setapak, semua tertutup tanaman liar. Paulus sangat lihai dengan mandaunya, antara tangan dan mandau itu seakan sudah sejiwa menyatu.
Kami menerabas kemiringan lereng antara 50 hingga hampir 70 derajat, cukup curam. Di sepanjang jalur kami banyak menjumpai tanaman berduri yang dengan buas bisa merobek tas, pakaian hingga kulit tubuh. Beberapa duri mengandung racun, ketika masuk menembus kulit akan terasa panas yang menyengat.
Pun saat kami harus melintasi satu daerah mendekati lokasi jatuhnya pesawat, kami menjumpai koloni semut api. Tak ada satupun dari kami yang selamat dari gigitannya, namun hanya saya yang berteriak kesakitan.
Dalam perjalanan itu kami berbagi cerita. Long Keluh merupakan desa terdekat dengan posisi jatuhnya pesawat. Menurut penuturan Pak Paulus, desa ini baru dihuni sekitar awal 1980-an. Jalan darat menuju desa ini pun baru dibangun tahun 2000-an. Sebelum jalan darat dibangun, warga Long Keluh menggunakan transportasi perahu untuk menuju kota Berau yang berjarak lebih dari 100 kilometer.
Paulus bukan orang pertama yang menemukan bangkai pesawat itu. Ia pertama mendaki ke reruntuhan pesawat pada 1980-an, sedangkan penemu pertama adalah rekannya—yang juga warga Dayak—sekitar akhir 1970-an. Namun demikian, selama ini tak ada satu pun warga yang tahu jenis pesawat maupun asal usulnya.
Istri Paulus bernama Rabika dan putrinya bernama Juriyani. Saya biasa memanggil mereka dengan panggilan sederhana—Bapak, Ibu dan Adik. Juriyani berkuliah di kota. Ia juga merupakan atlet arung jeram kebanggaan Provinsi Kalimantan Timur.
Saya melintasi medan yang begitu berat. Namun, gambaran medan berat itu seakan kontras dengan penampilan ketiga orang ini. Paulus mendaki dengan bertelanjang kaki, istrinya dengan selop karet, dan putri mereka mengenakan sandal japit. Saya bukan orang baru dalam penjelajahan hutan dan gunung, namun bagi saya medan pencarian ini sangat berat.
Di sela istirahat, saya mengobrol dengan Rabika. Saya menanyakan bagaimana bisa memiliki fisik sekuat itu? Bahkan saya melihatnya berjalan menanjak sambil bersantai sembari bermain gawai.
"Alam ini rumah kami," Rabika menjawab. "Sejak kecil kami sudah terbiasa keluar masuk hutan naik turun gunung buat cari buah, kadang cari kayu tertentu, berburu."
Saya lanjut bertanya, "Buah untuk dijualkah, Bu?"
"Tidak mas, untuk dimakan sendiri, di sini tidak mudah jual barang."
Setelah mendaki selama enam jam, akhirnya kami tiba di lokasi reruntuhan pesawat malang yang terempas lebih dari delapan dekade silam. Sehamparan dataran yang tidak seberapa luas. Pesawat menghadap ke arah barat daya. Bagian ekor hingga setengah badannya masih bisa dikenali, pun angka bercat putih yang menerakan 574 di bagian belakang juga masih terbaca, walau sudah ditumbuhi lumut.
Kondisi sayap kanan juga masih bisa dilihat, sementara sayap kiri tidak ada ditempatnya. Dua baling-balingnya terlempar terpisah sejauh 25 meter dari sayap, berada di lereng kemiringan, tergeletak bersebelahan dengan jarak sekitar tujuh meter satu sama lain.
Saya menyaksikan salah satu mesin baling-baling menindih satu penyangga roda pesawat. Saya kemudian berjalan naik ke arah sayap dan ekor pesawat. Tampak area yang cukup datar berukuran lebih kurang sekitar 100 meter persegi. Kemungkinan di area inilah regu infantri KNIL menguburkan empat jenazah, berdasarkan laporan tertulis "dikubur di lapangan kecil samping reruntuhan pesawat".
Sayang, saat berada di lokasi bangkai pesawat, tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh guntur. Sebuah tanda peringatan alam bahwa kami harus segera kembali. Jika hujan turun, medan terjal yang kami lalui akan menjadi sangat licin dan berbahaya. Pun sungai yang nantinya harus kami susuri selama dua jam, berpotensi banjir bandang bila hujan lebat.
Menurut perhitungan saya, pencarian menuju lokasi jatuhnya M-574 terlalu berisiko dilakukan saat musim hujan. Sejatinya, Paulus sudah memperingatkan hal ini jauh hari sebelumnya. Akan tetgapi, di luar dugaan, Agustus yang kami perkirakan belum turun hujan ternyata di kawasan ini sudah beberapa kali hujan deras. Kami turun dalam waktu empat jam, tiba kembali di desa menjelang senja. Jelang malam, hujan deras mengguyur Long Keluh hingga pagi.
Kini, pesawat malang yang terempas di hutan Kalimantan itu sudah teridentifikasi. Saya melakukan pendokumentasian dan mencatat koordinatnya. Semoga pemangku kebijakan setempat mengupayakan remah Perang Dunia Kedua ini sebagai salah satu tujuan wisata sejarah yang mendukung ekonomi berkelanjutan bagi warga Long Keluh.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR