Nationalgeographic.co.id—Setiap nama tempat atau daerah pasti memiliki cerita asal-usulnya. Begitu pula dengan nama-nama tempat dan daerah di Indonesia yang bisa dilacak berdasarkan toponimi masing-masing.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herry Jogaswara, menjelaskan pentingnya toponimi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari penamaan tempat yang meliputi aspek sejarah, arti, dan tipologi.
Hal tersebut dia sampaikan saat memberi sambutan webinar yang diselenggarakan Pusat Riset Preservasi, Bahasa, dan Sastra (PR PBS) BRIN pada Kamis akhir bulan lalu.
Dalam webinar berjudul “Toponimi di Jantung Kota: Merawat Bahasa dan Budaya dari Toponimi China Benteng di Tangerang Sampai Jalan-Jalan Utama Keraton Yogyakarta”, Herry menegaskan, toponimi adalah identitas dan warisan budaya. Webinar ini, menurutnya, bisa menjadi forum untuk membahas persoalan–persoalan di daerah.
Bahkan, dalam riset yang dilakukan, ada satu gerakan yang ingin mengembalikan identitas yang ada dalam pemeliharaan nama-nama lokal, nasional, dan global. Maka, riset toponimi ini, menurutnya, berperan sangat penting dalam masa sekarang.
Fajar Erikha selaku Periset dari PR PBS BRIN, membawakan presentasi materi dengan topik jalan-jalan utama di keraton Yogyakarta. Analisis toponiminya terbagi dua yaitu semantik dan pragmatif.
Analisis semantif, seperti dikutip dari laman BRIN, mencakup makna denotasi dan konotasi serta makna leksikal dan proprial. Selain itu, ada juga makna presuposisi atau makna pra anggapan yang masih terbagi lagi menjadi makna kategorial, asosiatif, dan emotif.
Adapun analisis pragmatif berdasarkan buku Perang Bubat dan buku Jawa dan Sunda. Di sini ada harapan agar suku Sunda dan Jawa menjadi akur kembali setelah menaruh dendam dan prasangka sejak perang bubat di abad 14.
Fajar menarik kesimpulan bahwa dalam perjalanan nama dari masa ke masa, ada perubahan bunyi kata atau nama, bentuk kata, hingga linguistik makna. Kajian ini juga dapat disebut etimologi atau kajian yang melacak akar kata atau nama. Sebagai contoh, Matraman berasal dari kata Mataraman yang dibentuk dari kata benda Mataram dan akhiran-an.
Lebih lanjut Fajar mengungkapkan konsep kelekatan toponimi sebuah studi yang menelusuri sejauh apa konotasi positif ataupun negatif masyarakat setempat terhadap nama-nama.
Penjabarannya adalah tetap setuju atau tidak, tidak pernah ada penolakan sedikit pun yang artinya tidak ada komplain dari masyarakat bahwa itu titah raja yang dijalani.
Baca Juga: Menyelidiki Toponimi Tiga Desa Perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak
“Maka, faktor penentu keberhasilan pergantian toponimi di Yogyakarta adalah variabel kerajaan dan kharismatik sang raja,” ungkapnya.
Sementara Sonya Ayu Kumala dari Universitas Buddhi Dharma mengulas riset toponiminya melalui pembahasan tentang Tangerang dan Cina Benteng. Ia menjelaskan, Tangerang merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara. Saat itu Tangerang masih disebut sebagai Tamgaram, ketika Kerajaan Tarumanegara melakukan ekspedisi pencarian rempah.
Tangerang, imbuhnya, di masa kolonial merupakan wilayah ommelanden dengan khas perkebunan tebu dan lada etnis Tionghoa. Kota ini memiliki peranan penting dalam hal keamanan dan juga setoran pajak dari kapitan Cina, hingga mencapai setengah dari keseluruhan pendapatan pajak kota Batavia.
Buktinya, pasca kemerdekaan, wilayah Tangerang dicatat sebagai wilayah agraris dengan mata pencaharian berkebun, bertani, beternak, dan nelayan. Menurut data BPS tahun 2021, tercatat mata pencaharian utama penduduk Tangerang pada sektor industri.
Berdasarkan kajian pemetaan bahasa yang ada atas wilayah Tangerang, bahasa yang dipakai di wilayah tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu.
“Kelurahan Karawaci memiliki contoh pemakaman tanah gocap, juga pemakaman khusus etnik Cina yang terletak di Tengah kota Tangerang. Sedangkan penamaan dengan leksem gocap diambil dari harga tiap petak liang lahat tanah makam di lokasi ini, yaitu gocap,” bebernya.
Secara kategorial, ulasnya kembali, penamaan pemakaman tanah gocap termasuk dalam kategori uang, yaitu jumlah uang atas harga makam. Secara asosiasi dan emotif, makna tersebut memaknai pengguna nama atau makna masyarakat setempat.
“Keberadaan etnis Cina Benteng itu dapat dilacak dari sisi administratif yang berupa nama kampung, rumah ibadah, rumah kawin, tempat pemakaman, dan juga krematorium berbagai informasi sejarah dan budaya distribusi pendapatan,” imbuhnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR