Nationalgeographic.co.id—Ke mana perginya semua karbon dioksida yang kita hasilkan?
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun jawabannya jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mempelajari siklus karbon dan berusaha memahami bagaimana karbon dioksida bergerak di antara atmosfer, lautan, dan daratan.
Namun, sebuah penelitian terbaru telah mengungkap sebuah fakta mengejutkan yang mengubah pemahaman kita tentang siklus karbon.
Simak artikel ini untuk mengetahui di mana sebenarnya sebagian besar karbon dioksida hasil aktivitas manusia tersimpan.
Ancaman kehidupan laut
Perairan pesisir, yang menjadi penghubung antara daratan dan laut, ternyata menyimpan rahasia besar tentang dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Science Advances mengungkapkan bahwa karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, telah masuk secara signifikan ke perairan pesisir Pantai Timur Amerika Serikat.
Penelitian yang dipimpin oleh Xinyu Li, seorang peneliti dari University of Delaware, ini berhasil mengisi kekosongan data mengenai kehadiran dan sumber CO₂ antropogenik di wilayah tersebut.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah banyak mempelajari dampak CO₂ terhadap laut terbuka, namun data mengenai perairan pesisir masih sangat terbatas.
Menggunakan data berkualitas tinggi yang dikumpulkan dari lima pelayaran penelitian antara tahun 1996 dan 2018, Li dan timnya berhasil melacak perubahan kadar CO₂ di wilayah Mid-Atlantic Bight, sebuah kawasan pesisir yang membentang dari Massachusetts hingga North Carolina.
Baca Juga: Mungkinkah Paris 2024 akan Menjadi Olimpiade Paling Ramah Lingkungan?
Data tertua, yang dikumpulkan pada tahun 1996 oleh Doug Wallace dari Dalhousie University, menjadi titik awal yang sangat berharga untuk melihat bagaimana kadar CO₂ berubah seiring waktu.
Lapisan demi lapisan
Salah satu temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa lapisan permukaan laut, yang berada sekitar 200 meter di bawah permukaan, mengandung konsentrasi CO₂ antropogenik tertinggi.
Hal ini dikarenakan lapisan permukaan secara langsung berinteraksi dengan atmosfer, sehingga penyerapan CO₂ dari udara menjadi lebih efisien.
"Aspek yang paling menarik adalah kita bisa membandingkan proporsi CO₂ alami dan antropogenik dalam air laut, serta melihat bagaimana usia air mempengaruhi akumulasi karbon antropogenik," ujar Cai.
Air permukaan yang baru tiba dari Teluk Meksiko melalui Arus Gulf Stream, misalnya, memiliki kadar CO₂ antropogenik yang tinggi namun kandungan CO₂ alami yang relatif rendah.
Sebaliknya, lapisan air di bawahnya (lebih dari 200 meter) yang berasal dari Samudra Selatan, memiliki kandungan CO₂ alami yang tinggi namun kadar CO₂ antropogeniknya jauh lebih rendah.
"Air permukaan memiliki karbon dioksida antropogenik yang sangat tinggi, tetapi air lapisan tengah, yaitu air yang berasal dari Samudra Selatan dan disebut sebagai Air Antara Antartika, air tersebut melakukan perjalanan yang panjang, mungkin 100 tahun dari Samudra Selatan ke Pantai Timur," kata Cai.
"Air tersebut memiliki banyak karbon dioksida alami karena dekomposisi mikroba, tetapi air tersebut memiliki kadar karbon antropogenik yang sangat rendah."
Lebih dalam lagi, terdapat Air Dalam Atlantik Utara yang tenggelam pada musim dingin dan melakukan perjalanan dari Laut Labrador ke Pantai Timur selama dua dekade."Air ini memiliki tingkat karbon dioksida antropogenik menengah," kata Cai.
"Setiap massa air memiliki tingkat karbon dioksida yang tercatat dari waktu pembentukannya, dan ini memberi kita sejarah perubahan-perubahan ini. Menarik untuk melihat bahwa air yang lebih baru memiliki tingkat karbon antropogenik yang tertinggi."
Baca Juga: Ada Program Kredit Karbon untuk Petani Padi Lewat Metode Irigasi Tetes
Li menggambarkan distribusi CO₂ antropogenik di lautan sebagai "struktur sandwich". Lapisan atas kaya akan karbon antropogenik, lapisan tengah rendah, dan lapisan bawah memiliki tingkat menengah.
"Distribusi ini sangat terkait dengan usia air dan kontaknya dengan atmosfer," kata Li.
Perjalanan karbon manusia
Penemuan lain yang mengejutkan adalah bahwa kadar CO₂ antropogenik justru menurun ketika mendekati garis pantai. Fenomena ini berbanding terbalik dengan apa yang banyak diasumsikan sebelumnya.
"Kami menemukan bahwa semakin dekat ke pantai, terutama di daerah muara sungai seperti Delaware Bay dan Chesapeake Bay, kadar CO₂ antropogenik justru semakin rendah," jelas Cai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena ini. Salah satunya adalah salinitas air. Perairan dekat pantai umumnya memiliki salinitas yang lebih rendah dibandingkan perairan lepas pantai. Kondisi ini membatasi kemampuan air untuk menyerap CO₂ antropogenik.
Selain itu, perairan muara sungai memiliki waktu tinggal yang relatif singkat, artinya air tidak berdiam terlalu lama di satu tempat. Hal ini mengurangi peluang bagi CO₂ untuk terakumulasi.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah hilangnya lahan basah di Amerika Utara. Lahan basah memiliki peran penting dalam menyerap karbon.
Namun, sayangnya, laju hilangnya lahan basah tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhannya. Hal ini semakin mengurangi potensi penyerapan karbon di wilayah pesisir.
Temuan ini memiliki implikasi yang luas bagi pemahaman kita tentang siklus karbon global. Selama ini, banyak peneliti berdebat tentang apakah ada peningkatan transportasi CO₂ antropogenik dari daratan ke laut. Studi terbaru ini memberikan jawaban yang lebih jelas.
"Kesimpulan kami adalah bahwa tidak ada peningkatan transportasi alami karbon antropogenik dari daratan ke laut pesisir," tegas Cai. "Sebagian besar CO₂ antropogenik di perairan pesisir berasal dari atmosfer di atasnya dan kemudian tercampur dengan massa air lepas pantai."
KOMENTAR