“Kami bisa mengolah sampah yang low value menjadi produk lain sehingga tidak ada sampah yang dibuang ke TPA,” kata Stephanus Kenny Bara Kristanto, Head of Communication and Engagement Waste4Change.
Selanjutnya, untuk mengurangi sampah botol plastik air kemasasan, SF menyerukan bawa tumbler sendiri dan bisa mengisi air minum dengan gratis di area “Sumber Mata Air”. “Selain mengurangi sampah, sebenarnya ini cara kita mengingatkan bahwa sumber air khususnya air minum itu seharusnya memang gratis,” tambah Ale. Di Indonesia, masih sedikit sekali fasilitas air minum gratis di area publik. Air harusnya adalah hak semua warga.
Terakhir, untuk mengurangi emisi karbon, Synchonize menyelenggarakan “Nebeng Gratis” bekerjasama dengan Transjakarta dan Bike to Synchronize. Warga-wargi (sebutan pengunjung Synchronize) yangd datang dengan sepeda akan mandapatkan jalur masuk tanpa antre dan ada parkir sepeda.
Indonesia jadi Inspirasi Musisi Luar Negeri untuk Berkarya
Synchronize Festival merupakan festival yang menampilkan musik Indonesia. Kekhasannya adalah mengulik lanskap yang “sangat Indonesia”, mulai dari para penampil, tata panggung, visual, dan semua penyajiannya.
Seperti tahun ini misalnya, Ale menampilkan mood board dari sudut-sudut pasar tradisional Jakarta. Kita bisa melihat ondel-ondel, bajaj, kursi plastik yang patah dan ditumpuk agar bisa terus dipakai, tumpukan karung beras, dan lain-lain. “Indonesia” yang sangat populis, dibawa ke panggung musik akbar.
Tahun ini, akan diselenggarakan 4-6 Oktober dengan mengusung tema Together Bersama juga menampilkan musik dari luar negeri. Hal ini bukan semata-mata Synchronize Festival mendatangkan musisi luar negeri, namun tetap musisi dari luar yang terkait Indonesia.
“Kita mau mengekspresikan secara lebih maksimal tentang ke-Indonesiaan. Musik Indonesia itu bisa berarti segala sesuatu yang memiliki narasi Indonesia,” kata David Tarigan, Artist and Repertoire Synchronize Festival.
Menurut Tarigan, selama ini kita selalu melihat ke dalam. Pernahkah kita melihat keluar? Seperti apa jejak Indonesia di luar negeri. Kita lihat narasi Indonesia dihasilkan oleh musisi dari luar negeri.
Tahun lalu, Synchronize Festival sebenarnya sudah menampilkan DJ Jepang yaitu Jet Baron. Dia kerap memainkan musik funky kota, yang terinspirasi dari musik yang dimainkan di club-club di kawasan Kota, Jakarta. Dia punya club sendiri di Jepang yang menjadi pusat aktivitas musik seperti ini.
Dalam Together Bersama ini, salah satu musisi luar negeri yang tampil yaitu Koes Barat, sebuah grup band dari Seattle, Amerika yang merilis sebuah album tribut untuk Koes Plus, memainkan ulang lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Di Amerika album ini dirilis oleh label rekaman Sub Pop, yang dulu sempat dikenal sebagai label grup seperti Nirvana.
Selain itu, Arrington de Dyoniso bersama Singo Sembrono, musisi eksperimental asal Washington yang merilis album Malaikat dan Singa tahun 2009. Lagu-lagunya mengedepankan narasi Indonesia dengan lagu berbahasa Indonesia. Labelnya K Records, label indie yang dihormati di USA.
Tak hanya musik kekinian, musik tempo dulu Indonesia juga menginspirasi musisi luar negeri. Contohnya, Nusantara Beat—band dari Belanda yang terdiri dari anak-anak muda gen Y dan Z yang memainkan musik-musik Indonesia tahun 1970-an.
“Kita seperti mendengar lagunya Yanti Bersaudara yang pop Sunda, dan lain-lain,” terang Tarigan. Mereka memainkan lagu-lagu pop Sunda persis seperti aslinya.
Ada juga Eastern Margins, sekelompok musik diaspora Asia Timur dan Asia Tenggara di Kota London. Mereka itu sekumpulan seniman yang mengekspresikan keasiatenggaraannya dan keindonesiaannya dan akan tampil besok di Synchronize Fertival 2024.
Dari musik karya musisi luar negeri, kita bisa melihat cara pandang orang luar Indonesia terhadap kekayaan Indonesia hingga bisa menginspirasi menjadi sebuah karya. Hal ini sangat potensial untuk membangun soft diplomacy sehingga branding Indonesia tinggi di mata dunia.
“Marketing tentang strenght kita terlalu konvensional, mengandalkan Dubes yang sifatnya formal. Diplomasi yang kreatif, yang bikin Indonesia viral, masih kurang,” tambah Ridwan Kamil.
Jika branding Indonesia tinggi di mata dunia, maka investasi pun akan lebih mudah masuk dengan berbagai cara. Apalagi ketika isu lingkungan sudah menjadi pola pikir, bukan sekadar program. Niscaya, investasi hijau menjadi potensi besar Indonesia kelak.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR