Nationalgeographic.co.id—Luas hutan di Norwegia saat ini tiga kali lipat lebih besar dibandingkan seabad yang lalu. Angka ini mungkin terdengar mustahil, namun itulah fakta yang terjadi.
Bagaimana sebuah negara di Eropa Utara dengan iklim yang cukup dingin dapat mencapai prestasi yang luar biasa ini? Jawabannya terletak pada perencanaan yang matang, kebijakan yang tepat, dan kerja keras masyarakat Norwegia.
Bayangkan, di tengah gempuran industrialisasi dan urbanisasi yang begitu pesat di abad ke-19 dan awal abad ke-20, Norwegia justru berhasil membalikkan keadaan.
Dari negara dengan tingkat deforestasi yang tinggi, mereka mampu memulihkan dan memperluas hutannya secara signifikan. Prestasi ini tentu tidak diraih dalam semalam, melainkan melalui serangkaian upaya yang dilakukan secara konsisten selama beberapa dekade.
Artikel ini, melalui ulasan yang dipaparkan oleh College of Forestry, Wildlife and Tourism of Sokoine University of Agriculture, Tanzania, akan mengulas langkah-langkah strategis yang telah diambil oleh Norwegia untuk mencapai tujuan ambisius tersebut.
Mulai dari kebijakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, program reboisasi besar-besaran, hingga peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Selain itu, kita juga akan membahas tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Norwegia dalam upaya pelestarian hutannya, serta pelajaran berharga yang dapat kita ambil untuk diterapkan di negara kita.
Transformasi hutan Norwegia
Norwegia, negara Skandinavia yang terkenal dengan keindahan alamnya, memiliki kisah menarik tentang transformasi hutannya. Sebab, 100 tahun sebelumnya, hutan-hutan di Norwegia mengalami kondisi yang sangat gersang.
Namun, melalui upaya yang sistematis dan berkelanjutan, Norwegia berhasil mengubah hutan-hutan gersang tersebut menjadi sumber daya yang sangat berharga dan berkembang pesat.
Kunci keberhasilan Norwegia terletak pada sebuah program yang disebut Norwegian Forest Inventory (NFI). Melalui program ini, Norwegia melakukan pendataan dan pemantauan terhadap hutan-hutannya secara menyeluruh.
Hasilnya sangat mengagumkan: volume hutan di Norwegia berhasil dilipatgandakan! Keberhasilan Norwegia ini menjadikan negara tersebut sebagai contoh yang baik dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan di dunia.
Baca Juga: Kredit Karbon, Bentuk Kolonialisme Baru Sekaligus 'Ladang' Korupsi?
Sejarah panjang eksploitasi hutan Norwegia
Sebuah publikasi peringatan ulang tahun NFI di Norwegia telah mengungkap sejarah panjang eksploitasi hutan di negara tersebut. Ternyata, masalah penggundulan hutan di Norwegia bukanlah hal baru. Laporan-laporan mengenai penebangan hutan secara berlebihan sudah ada sejak abad ke-16.
Pada masa itu, permintaan kayu sangat tinggi. Kayu tidak hanya digunakan sebagai bahan bangunan, tetapi juga sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan industri.
Di daerah pegunungan, kayu sangat dibutuhkan untuk memproduksi arang yang digunakan sebagai bahan bakar dalam industri pertambangan dan pengolahan logam seperti besi, tembaga, dan perak.
Selain penebangan, aktivitas penggembalaan hewan ternak di sekitar peternakan musim panas juga turut merusak hutan. Akibatnya, garis pohon di beberapa wilayah bahkan turun lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Undang-undang pertama yang mengatur ekspor kayu dan pendirian pabrik gergaji diberlakukan pada abad ke-16. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pada masa itu sudah menyadari pentingnya mengatur pemanfaatan hutan. Namun, permintaan yang tinggi terhadap kayu membuat peraturan tersebut sulit untuk sepenuhnya dijalankan.
Untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan pertumbuhan generasi baru pohon, suatu kebijakan bernama high-grading pernah diterapkan di Norwegia. Kebijakan ini melarang penebangan pohon dengan diameter di bawah ukuran tertentu. Tujuannya bagus, yakni untuk melindungi pohon-pohon muda agar bisa tumbuh besar.
Namun, dalam praktiknya, high-grading justru menimbulkan masalah lain. Karena permintaan kayu yang tinggi, para penebang seringkali memilih untuk menebang pohon-pohon yang tumbuh paling cepat. Pohon-pohon inilah yang biasanya memiliki diameter yang lebih besar dan lebih menguntungkan secara komersial.
Akibatnya, pohon-pohon yang tumbuh lebih lambat atau berdiameter lebih kecil justru tertinggal dan tidak sempat tumbuh besar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan hutan secara keseluruhan menjadi lebih lambat.
Situasi ini semakin mengkhawatirkan ketika seorang ahli bernama Barth pada tahun 1916 mempublikasikan sebuah penelitian. Dalam penelitiannya, Barth memprediksi bahwa hutan di Norwegia akan mengalami penurunan jika kondisi penebangan terus berlanjut seperti itu.
Bahkan, ia memperkirakan bahwa tingkat penebangan pada saat itu sudah 29% lebih tinggi daripada kemampuan hutan untuk tumbuh kembali.
Baca Juga: Misi Pencarian Bomber Belanda Glenn Martin M-574 di Hutan Kalimantan
Kesadaran pentingnya pengumpulan data
Ide untuk mengumpulkan data mengenai hutan di Norwegia sebenarnya sudah muncul sejak lama, tepatnya pada tahun 1737. Saat itu, pemerintah Norwegia yang masih berada di bawah kekuasaan Denmark mendirikan lembaga pengelolaan hutan yang pertama.
Namun, sayangnya, upaya ini tidak berjalan dengan baik karena kurangnya dukungan dari pemerintah pusat yang berkedudukan di Kopenhagen.
Memasuki abad ke-19, permintaan akan kayu di Norwegia semakin meningkat drastis. Hal ini didorong oleh pertumbuhan penduduk, kebijakan bebas penggergajian pada tahun 1860-an, dan berkembangnya industri pulp (material dasar dari berbagai produk berbahan kertas).
Akibatnya, hutan-hutan di Norwegia mulai ditebang secara besar-besaran tanpa adanya perencanaan yang matang.
Meskipun begitu, beberapa pihak mulai menyadari pentingnya mengelola hutan secara berkelanjutan. Beberapa upaya dilakukan untuk memperkirakan jumlah kayu yang dapat ditebang tanpa merusak hutan.
Namun, perkiraan ini tidak berwenang karena ketidakpastian yang tidak diketahui, dan kebutuhan akan statistik hutan yang lebih baik sering kali diungkapkan oleh administrasi hutan.
Meskipun sejarah rinci mengenai inventarisasi hutan di tingkat lokal di Norwegia masih belum begitu jelas, kita bisa menemukan contoh konkret dari wilayah Åmot. Pada tahun 1907, wilayah ini memulai sebuah proyek untuk menghitung jumlah dan jenis pohon yang ada di wilayah mereka.
Caranya, mereka membagi hutan menjadi beberapa petak dan kemudian memilih beberapa petak sebagai sampel. Di setiap petak sampel seluas 0,1 hektar ini, mereka menghitung semua pohon yang ada.
Namun, metode ini kemudian dianggap kurang efektif. Pada tahun 1909, mereka mengganti metode tersebut dengan cara yang lebih sistematis, yaitu dengan membuat jalur-jalur sempit di dalam hutan sebagai sampel. Dengan cara ini, mereka bisa mendapatkan data yang lebih representatif dari seluruh wilayah utara Åmot.
Baca Juga: Simpanse Tahu Jenis Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka dan Sakit
Pentingnya inventarisasi hutan ini menarik perhatian negara tetangga, Swedia. Pada tahun 1909, para ahli kehutanan dari Swedia dan Norwegia bertemu untuk membahas metode-metode inventarisasi hutan.
Para perwakilan dari Åmot pun ikut serta dalam pertemuan ini dan berbagi pengalaman mereka. Terinspirasi oleh keberhasilan Åmot, Swedia kemudian melakukan uji coba inventarisasi hutan di wilayah Värmland pada tahun 1911-1912.
Pada awal abad ke-20, lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan negara, yaitu SFI (Statens skogsinventur), mulai menggunakan metode pengambilan sampel strip untuk menghitung jumlah dan jenis pohon di hutan-hutan milik negara. Metode ini dianggap lebih efektif dibandingkan metode sebelumnya.
Peran penting ahli statistik
Di sisi lain, Nicolay Rygg, seorang tokoh penting dalam bidang statistik di Norwegia, juga sangat tertarik untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat tentang sumber daya hutan negaranya.
Setelah mempelajari metode inventarisasi yang digunakan oleh SFI dan juga mengikuti perkembangan di Swedia, Rygg melihat potensi besar untuk mengembangkan sebuah sistem inventarisasi hutan nasional yang lebih komprehensif.
Pada tahun 1915, Rygg bertemu dengan para ahli dari SFI dan bersama-sama mereka merancang sebuah rencana awal untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus bertugas melakukan inventarisasi hutan di seluruh Norwegia. Rencana ini kemudian diajukan kepada Perdana Menteri Gunnar Knudsen dan mendapat sambutan yang sangat positif.
Mendapat dukungan dari pemerintah, rencana tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah proposal yang lengkap, termasuk anggaran yang dibutuhkan.
Setelah melalui proses perdebatan di parlemen, akhirnya pada tanggal 13 Juni 1917, diputuskan untuk membentuk sebuah lembaga pemerintah yang khusus bertugas melakukan inventarisasi hutan nasional. Lembaga inilah yang kemudian kita kenal sebagai NFI dengan nama "lokal" Norsk skogtakst.
Secara resmi, NFI yang kemudian dikenal sebagai sebuah sebuah program revolusioner baru didirikan Norwegia pada 1919. Selanjutnya, ini menjadi program inventarisasi hutan nasional tertua di dunia.
Hasil dari langkah-langkah jitu NFI
Dengan didirikannya NFI, Norwegia mulai memetakan seluruh sumber daya hutannya. Data yang dikumpulkan sangatlah detail, mulai dari jenis pohon, usia pohon, hingga kondisi tanah. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk merencanakan langkah-langkah restorasi dan pengelolaan hutan yang lebih efektif.
Norwegia pun pada akhirnya berhasil melakukan pemulihan hutan-hutan mereka. Salah satu kunci keberhasilan NFI adalah mereka secara rutin, setiap lima tahun sekali, melakukan survei menyeluruh terhadap kondisi hutan di seluruh negeri.
Data yang diperoleh dari survei ini sangat berharga karena memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi hutan saat itu. Berkat data yang akurat ini, pemerintah dan para ahli kehutanan dapat merencanakan upaya restorasi dan pengelolaan hutan yang tepat sasaran.
Selain itu, Norwegia juga berhasil menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Meskipun penebangan kayu tetap dilakukan, namun kegiatan ini dilakukan secara terukur dan berkelanjutan.
Artinya, jumlah kayu yang ditebang tidak melebihi kemampuan hutan untuk tumbuh kembali. Dengan cara ini, hutan tetap terjaga kesehatannya sambil tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Upaya reboisasi juga menjadi bagian penting dari strategi restorasi hutan di Norwegia. Negara ini gencar menanam pohon-pohon baru di lahan-lahan yang gundul. Selain itu, pertumbuhan pohon-pohon yang telah ditanam juga terus dipantau dengan ketat untuk memastikan bahwa upaya reboisasi ini berhasil.
Teknologi modern juga turut berperan dalam keberhasilan restorasi hutan di Norwegia. Penggunaan satelit dan drone memungkinkan para ahli kehutanan untuk memantau kondisi hutan secara lebih luas dan akurat. Dengan teknologi ini, kerusakan hutan dapat dideteksi lebih cepat sehingga tindakan perbaikan dapat segera dilakukan.
Hasil dari upaya restorasi hutan yang gigih ini sangat mengagumkan. Volume hutan di Norwegia telah meningkat secara signifikan dari hanya 300 juta meter kubik pada tahun 1920 menjadi hampir 1 miliar meter kubik saat ini. Lebih dari tiga kali lipat!
KOMENTAR