Oleh karenanya, bisa diduga bahwa medali medici tersebut yang dianugrahkan satu tahun setelah Raja Ali wafat tidak memiliki implikasi politik.
Surat Zainal Abidin dari Tembusai, satu kerajaan kecil di hulu sungai Rokan di timur Sumatra, adalah satu dokumen dari koleksi surat dalam kerangka hubungan Asia Tenggara dengan Ottoman.
Ditujukan kepada Osman Pasa, surat yang bertanggal 8 Desember 1889 ini dibuat dalam rangka menyambut kedatangan kapal resmi Usmani Ertugrul yang berhenti di Singapura (15 Nopember 1889—3 Maret 1890) dalam perjalanan menuju Jepang.
Seperti halnya suara kerajaan lain di Nusantara, surat Zainal Abidin tersebut berisi keprihatinan atas kondisi Tembusai di bawah kolonisasi Belanda yang semakin keras, di mana “sekali-kali tidak bertahan atas hukuman orang Belanda”, seraya menggambarkan mereka sebagai “orang yang susah lagi miskin … banyak takut kepada orang Belanda”.
Begitu pula surat itu menggambarkan kondisi Tembusai dengan ungkapan bahwa “masjid pun tiada berdiri lagi lamanya sudah empat tahun.”
Karena itu, dengan nada putus asa, surat Zainal memohon Usmani memberi bantuan untuk bisa keluar dari kondisi tesebut, dengan menyerahkan teritori dan negeri Tembusai kepada Ottoman sebagai Sultan-nya Sultan, Khalifah yang Agung, yang bertindak sebagai perlindung negeri muslim.
Surat tersebut ditulis di Bengkalis, satu wilayah dekat dengan Singapura, dan dibawa oleh seorang bernama Abu Said, Sahbandar Tembusai, yang sekaligus memberi kesaksian soal isi surat yang sesuai dengan keadaan di Tembusai pada saat itu.
Perlu ditegaskan, kondisi memprihatinkan di bawah kolonisasi Belanda, selain Ingggris dan Siam, memang menjadi satu isu utama yang dicatat Osman Pasa, komandan kapal Frigat Ertugal, sebagaimana terdapat dalam suratnya pada tanggal 13 Desember 1889.
Selain itu ada juga termasuk dalam koleksi dokumen dari Asia Tenggara adalah surat Sultan Hashim Jalilul Alam dari Brunei. Bertanggal 15 Mei 1903, surat tersebut ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876-1909) melalui konsulnya di Singapura.
Namun, surat tersebut jatuh ke tangan kepala perwakilan Inggris di Brunei, G. Hewett, yang kemudian mengirimnya ke Kementerian Luar Negeri di London. Sebagaimana kerajaan lain di Asia Tenggara, surat raja Brunei ini juga berisi “harapan akan tolongan” sultan Ottoman kepada “sekalian orang-orang Islam di negeri hamba, yaitu Brunei” dari cengkraman kekuasaan kafir.
Lebih jauh surat tersebut berbunyi, “hamba punya negeri dan agama Islam telah dibinasakan oleh kafir, dan satu negeri hamba nama Limbang telah dirampas oleh kafir yaitu Charles Brooke Serawak.”
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR