Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa hubungan Ottoman (Turki Usmani) dan Asia Tenggara telah menjadi satu isu penting dalam sejarah. Bahkan Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi dengan Ottoman.
Setelah Portugis menangkap Malaka pada tahun 1511, Samudra Pasai tumbuh menjadi pelabuhan utama yang dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara.
Orang Keling (India dari Kalinga), orang Rum (dari Roma, artinya Istanbul, Turki), Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa, Siam, dll, berinteraksi dengan bangsa Melayu dan muslim dari berbagai negara, termasuk Ottoman.
Surat kabar Turki yang diterbitkan pada saat pecahnya perang antara Aceh dan Belanda (1875) menceritakan bahwa pada tahun 1516 Sultan Aceh Firman Syah telah menghubungi Siman Pasya, Wazir Sultan Salim I, untuk menjalin persahabatan.
Sejak itu, hubungan antara Aceh dan Ottoman terjalin dengan baik. Juga diceritakan bahwa beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara bersedia masuk Islam jika Ottoman bersedia memberikan bantuan.
Turki siap membantu dengan senjata dan ahli. Beberapa kapal disediakan untuk berangkat dengan utusan dari Aceh. Meskipun menunggu beberapa saat, meriam akhirnya tiba di Aceh.
Dari beberapa kapal yang dikirim, hanya dua yang langsung menuju Aceh karena yang lainnya terpaksa berbelok untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Yaman.
Bantuan dari Turki tiba di Aceh berupa senjata, dan 300 ahli profesional dalam bidang teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Di antara senjata yang dikirim adalah sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam Lada Secupak.
“Selain Turki, Aceh juga menjalin kerja sama dalam bidang perdagangan dan militer dengan Kerajaan Islam di India, negara-negara Arab, dan beberapa kerajaan di Jawa,” sebagaimana diungkap Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dalam The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island) dalam majalah Ilmiah Tabuah.
Sementara itu Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock dalam buku Ottoman-Southeast Asia Relations menyebut bahwa memang Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dan peranan khusus dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara.
"Kekaisaran Ottoman punya hubungan dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang membangun relasi politik untuk meminta perlindungan militer," ungkap Ismail.
Baca Juga: Makna Islam, Tauhid dan Ma’rifat dalam Surat Petisi ke Ottoman
"Meski begitu Ottoman pada dasarnya tidak memiliki agenda politik yang khusus ke kawasan timur, khususnya Asia Tenggara, sebagaimana diungkap," lanjutnya.
Menyangkut periode abad ke-19, koleksi arsip Istanbul mencatat salah satu hubungan yang terjadi antara Kekaisaran Ottoman dengan kerajaan Kedah di Semenanjung Malaya. Kedah meminta Ottoman membantunya melawan penguasaan Siam sejak 1821.
Petisi Kedah dikirim pada 1824, melalui seorang Turki bernama Osman Efendi yang mengunjungi kerajaan pada 1823, tidak lama setelah “raja kafir” menginvasi dan menguasai kerajaan tersebut sampai 1839.
Dalam surat itu, penguasa Siam digambarkan telah menduduki Kedah, membunuh saudara raja, beberapa menteri dan tokoh masyarakat, termasuk sejumlah orang sayyid.
Surat berikutnya berisi petisi untuk proteksi Ottoman dikirim kerajaan Riau-Lingga, tepatnya Raja Ali bin Raja Ja’far (berkuasa 1844-1857). Meski Belanda berada di belakang kekuasaannya, konflik yang senantiasa terjadi dengan Sultan Melayu, tepatnya Mahmud Muzaffar Syah (berkuasa 1842-1858), bisa jadi merupakan faktor yang mendorong Raja Ali memohon proteksi Ottoman.
Dia berharap bahwa Ottoman bisa memberi jaminan kekuasaan terutama di tengah kondisi kolonial yang kerap tidak menentu. Selain samping itu, sikap dan orientasi keagamaan Raja Ali, digambarkan sebagai pemberi perhatian besar pada penguatan kehidupan keagamaan di Penyengat, juga menjadi satu faktor pendorong untuk menjalin hubungan diplomatis dengan Ottoman.
Melihat surat petisi Raja Ali, tampak bahwa isu jaminan kekuasaan politik Yang Dipertuan Muda Bugis menjadi perhatian utama. Dia memohon menjadi bagian dari, dan memperoleh perlindungan oleh Ottoman agar pemerintahan dan anak keturunanya di Riau bisa terjamin, serta tidak ada yang menentang kekuasaannya.
Untuk itu, dia juga memohon Ottoman memberi sejenis surat resmi keputusan terkait posisi formal yang diharapkan, berikut medali tingkat tinggi dan bendera Ottoman untuk dipasang dalam rangka penghormatan atas superpower Islam.
Surat yang dibawa Sayyid Husayn Efendi dan Syaikh Ahmad Efendi tersebut, bertanggal 1848, diterima Perdana Menteri Ottoman dan selanjutnya menjadi dasar surat resmi yang dibuatnya kepada Sultan pada 1857.
Satu hal yang perlu ditekankan, kesalehan berikut kontribusi keagamaan Raja Ali menjadi poin utama yang ditekankan baik dalam surat dari Mekkah maupun Perdana Menteri.
Atas dasar argumen itu pula, medali Medici tingkat tiga kemudian dianugrahkan kepada Raja Ali oleh Sultan Abdul Majid I dari Istabul pada 1858.
Baca Juga: Perjalanan Sutomo yang 'Buang Muka' Terhadap Ottoman, Pilih Hiraukan Ataturk
Oleh karenanya, bisa diduga bahwa medali medici tersebut yang dianugrahkan satu tahun setelah Raja Ali wafat tidak memiliki implikasi politik.
Surat Zainal Abidin dari Tembusai, satu kerajaan kecil di hulu sungai Rokan di timur Sumatra, adalah satu dokumen dari koleksi surat dalam kerangka hubungan Asia Tenggara dengan Ottoman.
Ditujukan kepada Osman Pasa, surat yang bertanggal 8 Desember 1889 ini dibuat dalam rangka menyambut kedatangan kapal resmi Usmani Ertugrul yang berhenti di Singapura (15 Nopember 1889—3 Maret 1890) dalam perjalanan menuju Jepang.
Seperti halnya suara kerajaan lain di Nusantara, surat Zainal Abidin tersebut berisi keprihatinan atas kondisi Tembusai di bawah kolonisasi Belanda yang semakin keras, di mana “sekali-kali tidak bertahan atas hukuman orang Belanda”, seraya menggambarkan mereka sebagai “orang yang susah lagi miskin … banyak takut kepada orang Belanda”.
Begitu pula surat itu menggambarkan kondisi Tembusai dengan ungkapan bahwa “masjid pun tiada berdiri lagi lamanya sudah empat tahun.”
Karena itu, dengan nada putus asa, surat Zainal memohon Usmani memberi bantuan untuk bisa keluar dari kondisi tesebut, dengan menyerahkan teritori dan negeri Tembusai kepada Ottoman sebagai Sultan-nya Sultan, Khalifah yang Agung, yang bertindak sebagai perlindung negeri muslim.
Surat tersebut ditulis di Bengkalis, satu wilayah dekat dengan Singapura, dan dibawa oleh seorang bernama Abu Said, Sahbandar Tembusai, yang sekaligus memberi kesaksian soal isi surat yang sesuai dengan keadaan di Tembusai pada saat itu.
Perlu ditegaskan, kondisi memprihatinkan di bawah kolonisasi Belanda, selain Ingggris dan Siam, memang menjadi satu isu utama yang dicatat Osman Pasa, komandan kapal Frigat Ertugal, sebagaimana terdapat dalam suratnya pada tanggal 13 Desember 1889.
Selain itu ada juga termasuk dalam koleksi dokumen dari Asia Tenggara adalah surat Sultan Hashim Jalilul Alam dari Brunei. Bertanggal 15 Mei 1903, surat tersebut ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876-1909) melalui konsulnya di Singapura.
Namun, surat tersebut jatuh ke tangan kepala perwakilan Inggris di Brunei, G. Hewett, yang kemudian mengirimnya ke Kementerian Luar Negeri di London. Sebagaimana kerajaan lain di Asia Tenggara, surat raja Brunei ini juga berisi “harapan akan tolongan” sultan Ottoman kepada “sekalian orang-orang Islam di negeri hamba, yaitu Brunei” dari cengkraman kekuasaan kafir.
Lebih jauh surat tersebut berbunyi, “hamba punya negeri dan agama Islam telah dibinasakan oleh kafir, dan satu negeri hamba nama Limbang telah dirampas oleh kafir yaitu Charles Brooke Serawak.”
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR