Ekspedisi Franklin yang Hilang adalah pelayaran Inggris yang bernasib buruk yang berupaya melintasi bagian terakhir yang belum dijelajahi di Northwest Passage, rute laut yang dipenuhi es antara Samudra Atlantik dan Pasifik yang menjanjikan akan membuka perdagangan global.
Di bawah komando Sir John Franklin, dua kapal, HMS Erebus dan HMS Terror, meninggalkan Inggris pada 1845 tetapi terjebak es di sekitar Kutub Utara Kanada pada 1848. Semua anggota ekspedisi akhirnya tewas karena cuaca dingin yang ekstrem, kelaparan, dan penyakit kudis, yang diperburuk oleh keracunan timbal dari solder yang digunakan untuk menyegel kaleng makanan mereka.
Sebagian besar cerita diselimuti misteri, tetapi telah disatukan melalui laporan penduduk Inuit setempat, surat-surat yang ditulis sebelum hilangnya awak kapal, dan pemeriksaan forensik terhadap jenazah awak kapal. Bangkai kapal kedua kapal ditemukan pada 2014 dan 2016, menambah informasi baru pada cerita tersebut.
Ketika kru penyelamat menghubungi penduduk Inuit pada tahun 1850-an, mereka mengatakan telah melihat bukti bahwa para penyintas telah melakukan kanibalisme. Studi terbaru tentang Fitzjames dengan muram menegaskan cerita mereka. Pemindaian tiga dimensi pada rahangnya mengungkapkan bukti jelas adanya bekas luka, yang menunjukkan jenazahnya telah dibantai dan dimakan oleh awak kapalnya yang putus asa.
"Ini menunjukkan tingkat keputusasaan yang pasti dirasakan para pelaut Franklin hingga melakukan sesuatu yang mereka anggap menjijikkan," jelas Robert Park, seorang profesor antropologi di University of Waterloo.
"Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggal lebih dulu dari beberapa pelaut lainnya yang tewas, dan bahwa pangkat maupun status bukanlah prinsip yang mengatur di hari-hari terakhir ekspedisi yang putus asa itu saat mereka berusaha menyelamatkan diri," imbuh Douglas Stenton, adjunct professor antropologi di universitas tersebut.
Makalah studi mereka ini telah dipublikasikan di Journal of Archaeological Science: Reports pada 24 September 2024.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR