Tak lama setelah naskah itu selesai ditulis oleh Soetardjo, Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (Sam) Ratulangi atau dikenal dengan Sam Ratulangi, sangat mengapresiasi terhadap semangat dari petisi itu. Sam menandatangani petisi itu dan mendukungnya.
Sam Ratulangi adalah seorang yang duduk dalam Volksraad atas nama Persatoean Minahasa, sebuah partai daerah di Sulawesi Utara. Tak tanggung-tanggung, Sam Ratulangi menjadi sponsor dari petisi tersebut.
Menariknya, usul dari petisi ini mengundang berbagai respon dan reaksi. Tidak hanya dari elemen Belanda atau indo, melainkan dari kalanagan terdidik bumiputera. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas.
Kalangan bumiputera dalam Volksraad juga mengimbuh bahwa petisi itu kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Namun, beberapa dari kalangan pers Hindia seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi.
Kondisi terjepit juga dialami para indo, peranakan Belanda-pribumi. Mereka yang biasanya memilih kecenderungan pada Eropa totok atau para Belanda asli, malah mendukung petisi Soetardjo. Banyak pertimbangan, sehingga petisi Soetardjo dapat menyelamatkan nasib para indo di Hindia.
Pertarungan politik pada meja Volksraad akhirnya membuahkan hasil. Meski terdapat berbagai reaksi di antara berbagai elemen ras dan bangsa dalam Dewan Hindia, Petisi Soetardjo menang untuk maju kepada sang ratu, Wilhelmina beserta jajaran pejabatnya.
Petisi itu didukung oleh 26 anggota, sedangkan 20 anggota lainnya menolak petisi tersebut. Skornya menjadi 26-20 yang membuat petisi itu dikirim ke Den Haag kepada Kerajaan Belanda pada 1 Oktober 1936.
Soetardjo nampaknya bukan bangsawan biasa. Di balik wajahnya yang tenang, menyimpan pikiran yang garang. Frisart menyebut bahwa Soetardjo sempat mengancam pada 5 Agustus 1937.
Dalam Belanda, narasinya menyerang: "Jika petisi kami ditolak oleh Belanda—yang tentunya saya harap tidak—maka ini akan menjadi bukti bahwa di parlemen palsu ini (Volksraad, red.) tidak ada ruang untuk kerja politik konstruktif yang lebih besar. Masa depan negara ini kemudian harus diperjuangkan di luar ruangan ini (...)."
Sebagaimana banyak orang persepsi jurnalis Belanda atau yang paling ekstrem diutarakan Wouter de Keizer, pemimpin redaksi De Locomotief, yang menyebut dengan keras jika "diskusi Volksraad adalah kebodohan karena semua orang harus tahu bahwa diskusi itu tidak akan menghasilkan apa-apa... selain kata-kata."
Hal itu dengan jelas mengisyaratkan bahwa petisi yang diajukan ke Den Haag melalui perdebatan di meja Volksraad hanya sia-sia. Dugaan itu, ternyata bukan bualan belaka.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR