Nationalgeographic.grid.id—Wibawa, sahaja, dengan kacamatanya yang menyimpul tatapan tenang, menjadi penggambaran bagi para Belanda yang menganggapnya sebagai bangsawan baik-baik, meski akhirnya liyan. Dialah Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Seorang bangsawan dan menduduki jabatan pemerintahan daerah di Jawa, telah merangsang tumbuhnya cita-cita besar bagi kemerdekaan sebuah negara besar, Indonesia. Meski dicap gagal, semangatnya telah menguarkan cita kemerdekaan.
Ronald Frisart kepada Historiek dalam artikelnya Petitie-Soetardjo (1936-1938): dieptepunt in koloniale politiek Indië, terbitan 4 Oktober 2024, menyebut titik balik Soetardjo lewat petisinya yang dikenal dengan namanya, Petisi Soetardjo.
Meningkatnya rasa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda, Soetardjo menginisiasi sebuah petisi yang berupaya mengajukan permohonan musyawarah di antara perwakilan Hindia dengan perwakilan Kerajaan Belanda dari Eropa.
Kekhawatiran muncul ketika depresi ekonomi menerjang Hindia. Para priyayi dan berbagai elemen rakyat turut cemas jika kebangkrutan akan mendera mereka. "Hindia sebagai salah satu eksportir bahan mentah terbesar di dunia, ikut terpukul dengan depresi (ekonomi) ini," imbuh Frisart.
Alih-alih memilih jadi bupati, Soetardjo yang telah terpilih ke dalam Dewan Hindia, Volksraad pada tahun 1931, lebih memilih untuk menjadi pembela rakyat. Ia tergabung dalam Volksraad melalui Pengurus Perhimpoenan Pegawai Boemipoetra (PPBB), yang ia dirikan.
Sejak mengamati pergerakan politik internasional, Sietardjo melihat adanya celah untuk dapat memperbaiki kedudukan politik Hindia Belanda dengan mengacu pada Pasal 1 UUD cetakan tahun 1928 yang berbunyi:
"Kerajaan Belanda meliputi wilayah Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curaçao."
Menurut Soetardjo, bunyi dalam undang-undang itu menunjukkan bahwa posisi Hindia Belanda seharusnya sejajar dengan pemerintahan Belanda itu sendiri. Pun, setara dengan dua wilayah lainnya yang membentuk kekuasaan Kerajaan Belanda.
Petisi itu ia tulis kepada Volksraad di kaki Gunung Salak, Buitenzorg, Jawa Barat. Hanya diterangi lampu minyak, petisi itu ditulis dan diselesaikan pada pagi hari, sekira jam lima. Ia menuntut kepada para pembesar Volksraad untuk menyelenggarakan konferensi dengan segera.
Petisi itu berisi: "pemerintah kolonial membuat rencana 'atas dasar persamaan hak' untuk secara bertahap mereformasi Hindia menjadi negara merdeka, namun tetap berada di dalam (otoritas) kerajaan (Belanda)," lanjut Frisart.
Baca Juga: Ambtenaar: Seistimewa Apa Pegawai Negeri di Zaman Hindia Belanda?
Tak lama setelah naskah itu selesai ditulis oleh Soetardjo, Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (Sam) Ratulangi atau dikenal dengan Sam Ratulangi, sangat mengapresiasi terhadap semangat dari petisi itu. Sam menandatangani petisi itu dan mendukungnya.
Sam Ratulangi adalah seorang yang duduk dalam Volksraad atas nama Persatoean Minahasa, sebuah partai daerah di Sulawesi Utara. Tak tanggung-tanggung, Sam Ratulangi menjadi sponsor dari petisi tersebut.
Menariknya, usul dari petisi ini mengundang berbagai respon dan reaksi. Tidak hanya dari elemen Belanda atau indo, melainkan dari kalanagan terdidik bumiputera. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas.
Kalangan bumiputera dalam Volksraad juga mengimbuh bahwa petisi itu kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Namun, beberapa dari kalangan pers Hindia seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi.
Kondisi terjepit juga dialami para indo, peranakan Belanda-pribumi. Mereka yang biasanya memilih kecenderungan pada Eropa totok atau para Belanda asli, malah mendukung petisi Soetardjo. Banyak pertimbangan, sehingga petisi Soetardjo dapat menyelamatkan nasib para indo di Hindia.
Pertarungan politik pada meja Volksraad akhirnya membuahkan hasil. Meski terdapat berbagai reaksi di antara berbagai elemen ras dan bangsa dalam Dewan Hindia, Petisi Soetardjo menang untuk maju kepada sang ratu, Wilhelmina beserta jajaran pejabatnya.
Petisi itu didukung oleh 26 anggota, sedangkan 20 anggota lainnya menolak petisi tersebut. Skornya menjadi 26-20 yang membuat petisi itu dikirim ke Den Haag kepada Kerajaan Belanda pada 1 Oktober 1936.
Soetardjo nampaknya bukan bangsawan biasa. Di balik wajahnya yang tenang, menyimpan pikiran yang garang. Frisart menyebut bahwa Soetardjo sempat mengancam pada 5 Agustus 1937.
Dalam Belanda, narasinya menyerang: "Jika petisi kami ditolak oleh Belanda—yang tentunya saya harap tidak—maka ini akan menjadi bukti bahwa di parlemen palsu ini (Volksraad, red.) tidak ada ruang untuk kerja politik konstruktif yang lebih besar. Masa depan negara ini kemudian harus diperjuangkan di luar ruangan ini (...)."
Sebagaimana banyak orang persepsi jurnalis Belanda atau yang paling ekstrem diutarakan Wouter de Keizer, pemimpin redaksi De Locomotief, yang menyebut dengan keras jika "diskusi Volksraad adalah kebodohan karena semua orang harus tahu bahwa diskusi itu tidak akan menghasilkan apa-apa... selain kata-kata."
Hal itu dengan jelas mengisyaratkan bahwa petisi yang diajukan ke Den Haag melalui perdebatan di meja Volksraad hanya sia-sia. Dugaan itu, ternyata bukan bualan belaka.
Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlandse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Pada tanggal 14 November 1938, ketidakjelasan ini diubah menjadi Keputusan Kerajaan no. 40. Secara singkat dinyatakan bahwa kata-kata dalam petisi tersebut tidak benar secara hukum dan 'karena alasan ini saja permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan'.
Alasannya sederhana, "bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
Tentu, penolakan ini menimbulkan gejolak dan tindakan represif kemudian. Menandai kondisi paling teruk dalam sejarah perpolitikan Hindia Belanda. Berbagai partai yang apatis mulai terbangun dan membentuk partai gabungan, GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
Meski demikian, spirit Petisi Soetardjo yang menang dalam pergolakan akar rumput, menggambarkan cita besar sebuah bangsa yang berkeinginan untuk berdiri dengan kakinya sendiri, berdaulat sebagaimana negara merdeka yang independen.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR