Untuk menambah keseruan, anggota keluarga dewasa dan terkadang bahkan guru sekolah mengenakan topeng setan yang menakutkan. Mereka berpura-pura meneror lingkungan sekitar. Anak-anak bisa mengejar dan melempari mereka dengan fukumame.
Seperti banyak festival lainnya, makanan memegang peranan penting dalam Setsubun. Merupakan tradisi untuk memakan sushi gulung yang disebut ehomaki (gulungan arah keberuntungan).
Terbuat dari tujuh bahan (angka 7 adalah angka keberuntungan di Jepang), ehomaki dimakan dalam keheningan sambil menghadap ke arah yang dianggap paling beruntung. Arah ini berubah setiap tahun.
Merupakan kebiasaan juga untuk memakan kacang dalam jumlah yang sama dengan usia Anda. “Tujuannya adalah untuk memastikan kesehatan yang baik selama setahun,” ujar Ralphs.
Gai Jatra di Nepal
Festival Gai Jatra di Nepal (biasanya diadakan sekitar bulan Agustus dan September) merupakan perayaan yang menggembirakan. Meski begitu, perayaan ini sebenarnya berakar pada tragedi.
Pada abad ke-17, putra Raja Pratap Malla terbunuh oleh seekor gajah. Ia putus asa dan ingin menghibur istrinya yang berduka. Pratap Malla meminta siapa pun di kerajaannya yang telah kehilangan anggota keluarga untuk berdandan dan mengadakan parade yang meriah untuknya.
Setelah melihat rakyatnya tertawa dan bercanda meskipun sedang sedih, sang ratu pun mendapatkan kembali ceria. Maka, lahirlah festival Gai Jatra dan dirayakan sejak saat itu.
Nuansa Gai Jatra adalah kegembiraan dan tawa. Perayaannya meliputi parade warna-warni yang berpindah dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya. Selain itu, ada musik, tarian, dan rutinitas komedi.
Seperti yang dimaksudkan Pratap Malla di abad ke-17, tujuannya adalah untuk memberikan sedikit penghiburan bagi mereka yang berduka. Selama Gai Jatra, keluarga yang kehilangan orang terkasih tahun lalu memimpin seekor sapi dalam prosesi.
Sapi dipercaya dapat menuntun jiwa orang yang telah meninggal ke surga. Dan jika sebuah keluarga tidak memiliki sapi, mereka dapat mendandani anak-anak seperti sapi dan mengajak mereka untuk ikut serta.
Matariki di Aotearoa Selandia Baru
Munculnya gugusan bintang Matariki (Pleiades) di cakrawala menandai datangnya te matahi o te tau: tahun baru. Hal ini dipercaya oleh masyarakat adat Maori di Aotearoa Selandia Baru.
Gugusan bintang Matariki ini biasanya muncul di musim panas. Saat itu, keluarga berkumpul untuk memainkan musik dan bercerita. Mereka pun memikirkan hal yang paling penting: mengenang orang terkasih yang telah meninggal.
Keluarga bersyukur atas hal-hal baik dan membuat rencana untuk masa depan. Mereka juga menceritakan kisah-kisah tradisional Maori tentang bagaimana Matariki terbentuk di langit malam.
Satu cerita menampilkan Tawhirimatea, dewa cuaca. Ketika Tawhirimatea mengetahui bahwa orang tuanya, Ranginui Sang Bapak Langit dan Papatuanuku Sang Ibu Bumi, telah berpisah, ia mencungkil matanya. Ia marah dan melemparkan matanya ke langit. Kedua matanya berubah menjadi gugusan bintang Matariki yang bersinar.
Kata Matariki adalah versi singkat dari Nga mata o te ariki Tawhirimatea, yang berarti mata dewa Tawhirimatea. Suku Maori percaya bahwa angin yang tidak dapat diprediksi disebabkan oleh kebutaan yang ditimbulkan sendiri oleh Tawhirimatea.
Meski terdengar menyeramkan, festival-festival di atas diselenggarakan untuk mengenang orang yang meninggal dan merayakan kehidupan.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR