Nationalgeographic.co.id—Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ayu Savitri Nurinsiyah, melakukan penelitian keanekaragaman dan potensi pemanfaatan keong darat di Indonesia.
Salah satu fokus penelitiannya adalah untuk menggali pengetahuan tradisional masyarakat mengenai penggunaan keong darat sebagai obat herbal.
Ayu dan tim bersama mahasiswa doktoral IPB University melakukan penelitian tentang etnomalakologi (ethnomalacology) atau pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan moluska. Pengetahuan tradisional ini menjadi dasar pengetahuan untuk bioprospeksi.
Ayu dan tim berhasil menemukan pemanfaatn lima jenis keong, yakni Lissachatina fulica, Amphidromus palaceus, Dyakia rumphii, Ampullariidae, dan Viviparidae.
“Lima kelompok ini secara rutin digunakan untuk pengobatan tradisional, seperti untuk menyembuhkan luka, asma, dan beberapa penyakit lainnya,” kata Ayu, dalam webinar “Applied Zoologi Summer School #8” pada awal Oktober 2024 seperti dilansir laman BRIN.
Penelitian etnomalakologi mengungkap bahwa masyarakat di beberapa daerah Indonesia masih menggunakan keong darat untuk pengobatan, meskipun pengetahuan ini semakin langka. Penelitian tersebut juga menunjukkan potensi besar dari keong darat untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan dasar obat-obatan modern.
Lebih lanjut Ayu menjelaskan, dari 126.316 spesies keong yang telah divalidasi di dunia (Molluscabase.org, 2024), lebih dari 5.000 atau 6 persen spesies ini berada di Indonesia.
Sebanyak 557 spesies hidup di air tawar, 111 spesies di antaranya hidup sebagai hewan endemik negeri ini. Sementara untuk keseluruhan, terdapat 1.294 spesies keong dunia berada di darat, dan sebanyak 595 di antaranya merupakan endemik Indonesia.
Ayu mengungkapkan, Pulau Jawa dan sekitarnya merupakan salah satu daerah dengan keanekaragaman spesies keong darat yang tinggi. Dari 263 spesies yang ada di Jawa, 104 spesies di antaranya adalah spesies endemik atau hanya berada di Pulau Jawa dan pulau kecil di sekitarnya.
Beberapa spesies bahkan hanya ditemukan di area tertentu, seperti pegunungan Halimun atau daerah sekitar Yogyakarta.
“Keanekaragaman ini tidak hanya terlihat dari segi jumlah spesies, tetapi juga dari variasi karakter morfologis, habitat, serta perilaku ekologisnya. Ada keong darat yang hidup di habitat kering dan berbatu, sementara yang lain lebih menyukai lingkungan lembab di sekitar sungai atau air terjun,” jelas Ayu.
Baca Juga: Sedap, Sate Kolombi dari Keong Emas dengan Aroma Jahe
Selain memiliki fungsi ekologis yang penting dalam ekosistem, keong darat juga memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang, termasuk kuliner, obat-obatan, dan kosmetik.
Di berbagai negara, keong telah lama digunakan sebagai sumber protein alternatif. Misalnya, di Prancis, keong darat (escargot) merupakan makanan mewah yang sangat digemari dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
Selain sebagai sumber makanan, lendir yang dihasilkan oleh keong darat juga memiliki nilai medis yang tinggi. Lendir keong diketahui memiliki sifat antibakteri dan dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit kulit, seperti luka, infeksi, bahkan membantu regenerasi jaringan kulit.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan lendir keong pada luka dapat mempercepat proses penyembuhan dibandingkan metode pengobatan konvensional.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa keong darat mengandung berbagai senyawa bioaktif yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan dasar kosmetik, terutama untuk produk perawatan kulit. Lendir keong yang kaya akan kolagen dan elastin dapat membantu menjaga kelembapan kulit dan merangsang produksi sel-sel baru, sehingga berpotensi besar dikembangkan sebagai produk anti-penuaan.
Menurut Ayu, salah satu tantangan utama dalam pengembangan riset ini adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keanekaragaman keong darat serta potensi pemanfaatannya. Banyak yang menganggap keong sebagai hama. Padahal, keong memiliki peran ekologis dan ekonomi yang penting.
Penelitian dan upaya konservasi juga masih sangat terbatas, terutama dalam hal pendokumentasian spesies keong darat di Indonesia. Kurangnya data distribusi dan populasi spesies ini membuat upaya konservasi menjadi lebih sulit.
“BRIN terus berupaya melakukan penelitian dan konservasi yang berkelanjutan untuk memastikan keanekaragaman ini tetap terjaga dan dapat dimanfaatkan secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat serta pelestarian lingkungan,” pungkasnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR