Telinga panjang seakan menjadi stigma negatif bagi masyarakat modern saat ini di mana batas-batas interaksi antara masyarakat adat dan masyarakat modern sudah semakin memudar.
Padahal, seharusnya masyarakat adat tetap dapat mempertahankan tradisi dan bangga dengan budayanya. Masyarakat modern tidak berhak untuk mendiskriminasi masyarakat adat hanya karena perbedaan nilai tradisi dan budayanya.
Apabila mampu saling menghargai dan menghormati satu sama lain, maka toleransi dan pemahaman akan tradisi budaya yang berbeda akan tercipta. Itulah makna terindah dari sebuah keberagaman.
Apakah punahnya tradisi telinga panjang hanya tinggal menunggu waktu saja? Semoga ada perempuan keturunan Orang Ulu yang tergerak untuk meneruskan tradisi tersebut.
Mendokumentasikan perempuan bertelinga panjang yang tersisa saat ini juga dapat menjadi langkah terbaik agar cerita mengenai telinga panjang dapat terkenang abadi diceritakan kepada anak cucu kita di masa depan.
Bacaan lebih lanjut:
Kaur, P., Moghal, A. J., Pius, J. B., Phua, B., Ronald, S., and Seng, W. K. (2015). The vanishing beauties: the long-ears Orang Ulu women of Sarawak, Malaysia. International Review of Modern Sociology, 41(2).
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR