Oleh Sandy Leo (National Geographic Indonesia Hub)
Nationalgeographic.co.id—Hari itu, perjumpaan saya dengan seorang nenek di Desa Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur sungguh berkesan.
Berbeda dari kebanyakan orang, nenek ini memiliki daun telinga yang cukup panjang dan memakai banyak sekali anting yang tampak berat dan memicu suara gemerencing saat menoleh ke arah saya.
Dia adalah Uweq Priyaq. Satu-satunya perempuan dari Dayak Kenyah di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, yang masih mempertahankan tradisi telinga panjang.
Simbol kecantikan khas Orang Ulu
Tradisi telinga panjang ini pertama kali dipraktikkan oleh perempuan dari kelompok ”Orang Ulu” yang tinggal di hulu Sungai Baram, Sarawak, Malaysia. Arti ”Orang Ulu” sendiri adalah masyarakat terpencil yang tinggal di hulu sungai.
Kebanyakan Orang Ulu dulu tinggal di Miri, Baram, Limbang, Lawas, dan Belaga, seluruhnya berada di Sarawak, Malaysia. Kemudian, ketika mereka bermigrasi ke Kalimantan Utara, mereka mendiami daerah Apo Kayan.
Orang Ulu ini sekarang lebih dikenal sebagai Orang Dayak dari rumpun Apo Kayan (ada juga yang menyebutnya Apokayan atau Apau Kayan) yang terdiri atas beberapa kelompok besar, di antaranya Dayak Kayan, Dayak Kenyah, dan Dayak Bahau.
Telinga panjang telah menjadi simbol kecantikan bagi para perempuan Orang Ulu sejak lama. Semakin panjang telinga mereka, semakin cantik perempuan Orang Ulu.
Tradisi ini dianggap sebagai simbol kecantikan, keberanian, kebanggaan, pemikat laki-laki, hingga sebagai simbol budaya yang unik. Mereka percaya bahwa untuk menjadi cantik memang membutuhkan sebuah proses yang menyakitkan.
Baca Juga: Lom Plai: Wujud Interaksi Manusia dan Alam pada Tradisi Masyarakat Dayak Wehea
Bayangkan saja, mereka mengawalinya dengan menindik telinga. Kemudian, ini merupakan tahapan paling menyakitkan, telinga yang sudah berlubang tersebut dipasangi anting kuningan seberat 100 gram sepasang.
Seiring berjalannya waktu, untuk membuat telinga semakin panjang, mereka akan menambah jumlah anting. Total anting terberat yang dipasang mencapai 500 gram sepasang. Ya, setengah kilogram!
Anting yang dipasang tidak melulu berbahan kuningan. Beberapa wanita memilih untuk menggunakan tembaga bahkan emas sebagai anting pemanjang telinga mereka.
Patut dicatat. Proses pemanjangan telinga memerlukan ketelitian yang sangat tinggi khususnya saat proses penambahan jumlah anting. Sebab, selain harus menghasilkan panjang telinga yang sama, proses tersebut juga tidak boleh merusak apalagi memutus kulit telinga.
Akankah segera punah?
Adanya modernisasi tentu berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan masyarakat adat. Tradisi telingan panjang Orang Ulu tidak terkecuali.
Banyak Orang Ulu yang kini menganggap tradisi telinga panjang tidak lagi dianggap relevan untuk saat ini. Oleh karena itulah, kebanyakan perempuan muda Orang Ulu memilih untuk tidak lagi mengikuti tradisi tersebut.
Dalam kacamata mereka, standar kecantikan kini telah berubah. Perempuan cantik bukan lagi mereka yang memiliki telinga panjang. Sebuah pandangan yang tidak hanya dimiliki perempuan muda, tapi juga mereka yang pada masa lalu sudah memanjangkan telinga.
Maka, tidak aneh jika saat ini kita menemukan beberapa perempuan yang dulunya bertelinga panjang memilih untuk memotong telinganya. Tujuannya, demi kembali terlihat ”normal”.
Selain terkait dengan berubahnya standar kecantikan, perempuan Orang Ulu kini merasa tidak lagi aman dan nyaman untuk menjalankan tradisi telinga panjang karena rawan diperlakukan diskriminatif.
Hasilnya? Kini jumlah perempuan Orang Ulu yang masih mempertahankan telinga panjang sudah semakin dikit. Itu pun kebanyakan adalah mereka yang sudah berusia lanjut.
Telinga panjang seakan menjadi stigma negatif bagi masyarakat modern saat ini di mana batas-batas interaksi antara masyarakat adat dan masyarakat modern sudah semakin memudar.
Padahal, seharusnya masyarakat adat tetap dapat mempertahankan tradisi dan bangga dengan budayanya. Masyarakat modern tidak berhak untuk mendiskriminasi masyarakat adat hanya karena perbedaan nilai tradisi dan budayanya.
Apabila mampu saling menghargai dan menghormati satu sama lain, maka toleransi dan pemahaman akan tradisi budaya yang berbeda akan tercipta. Itulah makna terindah dari sebuah keberagaman.
Apakah punahnya tradisi telinga panjang hanya tinggal menunggu waktu saja? Semoga ada perempuan keturunan Orang Ulu yang tergerak untuk meneruskan tradisi tersebut.
Mendokumentasikan perempuan bertelinga panjang yang tersisa saat ini juga dapat menjadi langkah terbaik agar cerita mengenai telinga panjang dapat terkenang abadi diceritakan kepada anak cucu kita di masa depan.
Bacaan lebih lanjut:
Kaur, P., Moghal, A. J., Pius, J. B., Phua, B., Ronald, S., and Seng, W. K. (2015). The vanishing beauties: the long-ears Orang Ulu women of Sarawak, Malaysia. International Review of Modern Sociology, 41(2).
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR