Anak mandar hitam erasia sering mengonsumsi kotoran induknya. Kotoran tersebut mungkin juga menyediakan bakteri yang dibutuhkan untuk memproses sumber makanan lokal.
Percobaan dilakukan pada anak burung unta yang dipelihara di fasilitas penelitian di Afrika Selatan. Burung tersebut diberi kotoran induknya untuk dimakan. Hasilnya adalah anak burung unta itu memiliki flora usus yang lebih beragam. Mereka juga menjadi dewasa lebih cepat dibandingkan anak burung unta yang dipelihara tanpa mengonsumsi kotoran. Pada usia 8 minggu, anak burung unta yang diberi makan kotoran memiliki berat badan hampir 10 persen. Mereka juga memiliki risiko kecil meninggal karena penyakit usus.
Mengekspos sistem kekebalan tubuh terhadap beragam bakteri usus bermanfaat bagi kesehatan, kata Drigo. Secara umum, burung yang melakukan coprophagy jauh lebih sehat dibandingkan burung yang tidak.
Risiko dari memakan kotoran hewan lain
Namun, coprophagy memiliki risiko. Kotoran burung, misalnya, mungkin mengandung bahan kimia berbahaya dari limbah, pestisida, atau senyawa berbahaya buatan manusia lainnya.
Memakan kotoran juga dapat menyebabkan hewan tertular penyakit, parasit usus, atau bakteri berbahaya.
Namun, setidaknya jika menyangkut ancaman alam, manfaat coprophagy mungkin lebih besar daripada risikonya bagi banyak hewan.
Sistem pencernaan hewan cenderung lebih tangguh dan lebih tahan terhadap penyakit, parasit, dan bakteri berbahaya dibandingkan sistem pencernaan manusia. Lambin berpendapat bahwa mungkin manusia telah berevolusi untuk menganggap kotoran pada dasarnya menjijikkan. Jadi, manusia memilih untuk tidak memakannya.
Nah, jika Anda memiliki anjing yang gemar memakan kotoran, coprophagy mungkin menjadi alasannya.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR