Nationalgeographic.co.id—Tarian Haka adalah nama umum untuk semua tarian adat Maori dan memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Selandia Baru.
Haka dikenal karena energi tariannya yang kuat dan melibatkan seluruh tubuh dalam gerakan ritmis. Gerakannya termasuk bergoyang, menepuk dada dan paha, gaya kekerasan, gestur tangan dan menghentak-hentakkan kaki.
Tak jarang juga, ekspresi wajah yang garang degan mata melotot ditampilkan sembari menjulur-julurkan lidah dan bernyanyi. Haka punya banyak variasinya di masing-masing wilayah dan sebagian besar mengisahkan peristiwa penting dalam sejarah suatu suku.
Menurut Brittanica History, asal usul Haka berasal dari mitologi Maori. Dewa matahari Tama-nui-te-ra dan salah satu istrinya, Hine-raumati (personifikasi musim panas) memiliki seorang putra bernama Tane-rore.
Suku Maori menganggap getaran udara pada saat musim panas sebagai tanda bahwa Tane-rore tengah menari untuk ibunya.
Gerakan ringan dan cepat ini merupakan gerakan inti dari semua tarian Haka, khususnya tangan gemetar para penari yang menjadi simbol tarian Tane-rore.
Secara tradisional, Haka dilakukan untuk berperang, merayakan pencapaian, atau menyambut tamu. Namun sekarang, haka ditampilkan pada acara-acara penting seperti pertandingan olahraga, pernikahan, dan pemakaman.
Meskipun sering dikaitkan dengan persiapan pertempuran tradisional prajurit pria, Haka dapat dilakukan oleh pria dan wanita.
Kadang-kadang tarian Haka juga digunakan sebagai simbol identitas suku. Sejak 1972, pertunjukan Haka telah menjadi salah satu ciri khas festival seni pertunjukan Te Matatini yang sangat populer, yang diadakan dua tahun sekali di Selandia Baru.
Ada berbagai bentuk tarian Haka, masing-masing memiliki tujuan yang unik:
Peruperu: Haka perang yang dilakukan dengan senjata untuk menunjukkan kekuatan.
Baca Juga: Kecerdasan Sistem Navigasi Suku Bugis Melaut Berpedoman Bintang
Ngarahu: Tarian semi-perang yang dilakukan untuk menguji kesiapan para prajurit.
Haka Tui Waewae: Haka non-perang yang mengekspresikan emosi seperti kegembiraan atau kemarahan.
Ka Mate: Diciptakan oleh Kepala Suku Ngati Toa, Te Rauparaha, Ka Mate menceritakan kisah pelariannya dari penangkapan dan kebangkitannya sebagai pemimpin besar Maori.
Haka yang paling terkenal adalah “Ka Mate,” yang diciptakan sekitar tahun 1820 oleh kepala suku Maori, Te Rauparaha.
Unsur yang tidak kalah penting dalam tarian Haka adalah lagunya untuk menyampaikan pesan. Syair dalam nyanyian (waiata) yang mengiringi Haka seringkali menggambarkan leluhur dan peristiwa dalam sejarah suku tersebut secara puitis.
Biasanya dimulai dengan kata-kata: "Ka mate! Ka mate! Ka ora! Ka ora!," yang berarti: "Aku mati! Aku mati! Aku hidup! Aku hidup! Aku hidup!"
Kemampuan untuk melakukan Haka dengan gaya, keanggunan, elegansi, dan keberanian sangat penting dalam masyarakat tradisional Maori. Hal ini tetap penting dalam masyarakat modern sebagai pengakuan yang sebanding dengan para leluhur mereka.
Karakteristik Tarian Haka
Salah satu karakteristik Haka yang mudah dikenali dalam interaksi sosial di dalam kelompok adalah penekanan pada aspek spiritual dibandingkan material sebagaimana diungkap Morten Kjeldseth Pettersen dari Universitas Oslo.
Dalam penelitiannya Kapa Haka: Traditional Maori Performing Arts in Contemporary Settings (2007), Morten menjelaskan penting bagi masyarakat Maori menjadi bagian dari kelompoknya.
"Dalam istilah Maori, 'menjadi bagian dari' selalu terkait dengan whenua (tanah) dan whanaunga (kerabat). Kedua hal ini terhubung dalam istilah turangawaewae, yang berarti 'tempat untuk berdiri,'" ungkapnya.
Baca Juga: Bartolomé de las Casas: Juru Selamat Suku Indian dari Jeratan Perbudakan
Istilah ini merujuk pada balai suku seseorang dan hak untuk berbicara bebas di tanah sendiri (karena balai adat seringnya berdiri di tanah suku).
Dukungan dari whanaunga (kerabat) juga tersirat dalam istilah ini, karena komunitas yang menjadi bagian dari individu biasanya dekat dengan kerabat.
Sejarah Tradisional Suku Maori
Sejarah tradisional mengungkap bahwa asal-usul suku Maori awalnya datang dalam bentuk gelombang migrasi yang berpuncak pada kedatangan “armada besar” pada abad ke-14 dari Hawaiki, tanah mistis yang biasanya diidentifikasi sebagai Tahiti.
Catatan sejarah ini menyediakan dasar bagi Suku Maori dan umumnya didukung oleh penemuan arkeologi, yang memperkirakan kedatangan Maori di Selandia Baru sekitar tahun 1300 Masehi.
Anggota masing-masing suku (iwi ) mengakui adanya kesamaan keturunan (yang mungkin dapat ditelusuri melalui salah satu atau kedua orang tua) dan kesetiaan yang sama kepada kepala suku atau para kepala suku (ariki).
Secara tradisional, pada umumnya kelompok sosial yang paling penting adalah hapu (sub suku), yang merupakan kelompok pemilik tanah utama dan keluarga inti yang terikat dalam pernikahan dan whanau (keluarga besar).
Tatanan sosial ini berlaku ketika Abel Tasman, penjelajah dari Belanda tiba di lepas pantai Selandia Baru pada bulan Desember 1642.
Dia bertempur dengan sekelompok Maori di Pulau Selatan dan meninggalkan daerah itu sebagian besar belum dijelajahi. Pada tahun 1769–70 Kapten James Cook, penjelajah asal Inggris, mengelilingi dua pulau utama dan menulis tentang kecerdasan Maori dan kesesuaian Selandia Baru untuk kolonisasi.
Pemburu paus, pemburu anjing laut, dan orang Eropa lainnya yang mencari keberutungan di Selandia Baru awalnya disambut oleh Maori.
Baca Juga: Tradisi Telinga Panjang Suku Dayak: Akankah Segera Punah?
Dengan diperkenalkannya senapan musket, metode pertanian Barat, dan misionaris, bagaimanapun, budaya dan struktur sosial Māori mulai hancur.
Budaya Maori di abad ke-21
Meski kemudian mendapat banyak pengaruh dari Eropa, tarian Haka masih lestari dan fungsinya mulai meluas menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pada 1880-an, kelompok penari Haka mulai tampil untuk para turis, sambil diiringi melodi Eropa dan lirik-lirik dalam bahasa Maori. Beberapa kelompok bahkan melakukan tur pertunjukan Haka hingga luar negeri.
Ketika orang Maori pindah ke kota, kelompok-kelompok penari Haka ikut dibawa dan dilestarikan. Mereka berusaha agar tetap terhubung dengan budaya leluhur, misalnya dengan melestarikan bahasa dan adat istiadat Maori.
Pada akhirnya berbagai macam kelompok masyarakat di Selandia Baru menyerap sebagian warisan budaya orang Maori. Pada awal abad ke-20, Haka Ka Mate menjadi ritual sebelum dan setelah tim nasional rugby Selandia Baru All Blacks bertanding.
"Bagi sebagian besar suku Maori, menjadi suku Maori berarti mengakui dan menghormati leluhur Maori mereka, memiliki klaim atas tanah keluarga," kata Morten.
"Sehingga mereka memiliki hak untuk diterima sebagai bagian dari suku mereka tangata whenua (masyarakat setempat) di desa leluhur mereka," lanjutnya.
Ini berarti sebuah penerimaan keanggotaan kelompok dan pengakuan bersama, dengan para anggota kelompok, terhadap cara berpikir dan berperilaku khas Maori.
Ada beberapa kebangkitan dalam pengajaran bahasa Maori (te reo Maori, dan pada tahun 1987 bahasa Maori dijadikan bahasa resmi Selandia Baru.
Banyak praktik budaya Maori yang masih hidup di Selandia Baru kontemporer. Semua pertemuan resmi Maori disertai dengan pidato dalam bahasa Maori dan lagu-lagu aksi. Penerimaan tamu resmi bahkan disertai dengan hongi atau menempelkan hidung saat menyapa.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR