Mereka meneliti salah satu pulau reklamasi Cotai yang berada di daerah administratif khusus (SAR) Makau, Tiongkok. Cotai dibangun pada akhir 1980-an, terletak di antara dua pulau yakni Taipa dan Coloane. Memiliki luas 5,8 kilometer persegi, pulau reklamasi ini dibangun dengan tujuan memperluas wilayah yang padat penduduk untuk pemukiman, pusat pariwisata, dan perjudian di Makau.
Namun, dibalik pengaruh positifnya terhadap perekonomian, pulau ini dinilai memberikan dampak negatif yang tak kalah besar bagi lingkungan sekitarnya. Mereka menuliskan, hutan mangrove terbesar di daerah Makau seluas 57,2 hektare sudah kering pada 1998. Hutan mangrove itu kering akibat penyumbatan yang memisahkan lahan basah dari lautan. Kualitas air pun memburuk.
Shangchen Wu dan timnya memberikan peta perbandingan antara 1989 dan 1999, yang menunjukkan bahwa bukan hanya hutan mangrove yang terdampak namun beragam jenis vegetasi lain pun ikut terkena imbasnya.
Selain itu, karena proyek reklamasi ini menempati habitat biota laut, yang menyebabkan kualitas air memburuk, dan perubahan karakteristik hidrologi. Kondisi lingkungan dan kehidupan organisme pun berubah. Akibatnya, populasi dan keanekaragaman fauna−misalnya, burung dan ikan yang bermigrasi—menurun drastis.
Pengerukan untuk membangun pulau reklamasi juga memengaruhi topografi dan kontur garis pantai. Hilangnya sedimen di daerah pesisir menyebabkan lahan basah yang berfungsi sebagai perlindungan bagi wilayah pesisir ikut menghilang. Makau pun berpotensi rentan bencana alam seperti rob, karena hilangnya penghalau gelombang badai.
Di Indonesia, penelitian Muhammad Haykal Abdul Ghanie Djamil dan timnya juga menunjukkan dampak negatif terhadap pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Hasil kajian mereka dipublikasikan di Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, yang berjudul “Dampak Reklamasi Terhadap Lingkungan dan Perekonomian Warga Pesisir di Jakarta Utara”.
Mereka menyampaikan bahwa pulau reklamasi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem. Kapal pengangkut material pulau reklamasi meninggalkan jejak karbon atau tumpahan tanah, sehingga mencemari lautan. Pencemaran tersebut akan mengganggu ekosistem biota laut.
Hasil penelitian kualitas air menunjukkan adanya penurunan kualitas dari bibir pantai sampai wilayah dalam laut yang disebabkan adanya pengerukan dan penimbunan tanah yang mengakibatkan sedimentasi. Kualitas air yang keruh ini menghambat sinar matahari untuk masuk ke dalam laut ini menyebabkan produktivitas biota laut seperti plankton berkurang.
Selain itu, hutan mangrove sebagai penghalau gelombang badai yang tergerus dan hancur menyebabkan abrasi daratan. Makhluk hidup yang tinggal di daerah hutan mangrove juga akan kesulitan mencari habitat baru, akibat habitat aslinya sudah dihancurkan.
Sapto Andriyono, Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, mengatakan, “Saat reklamasi terjadi, efeknya adalah timbul kekeruhan. Alat berat, material, pengeboran, dan lain-lain menyebabkan perairan keruh. Ikan-ikan akan pindah dan mungkin tangkapan nelayan berkurang.”
Reklamasi memang memberikan suntikan segar bagi perekonomian sebuah negara. Namun dibalik keuntungan itu semua, tersimpan ancaman serius bagi keseimbangan ekosistem pesisir yang tidak ternilai harganya. Hilangnya ribuan hektare hutan mangrove meningkatkan risiko banjir dan abrasi, serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir dan keberagaman hayati laut.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR