Nationalgeographic.co.id—Indonesia berjulukan sebagai negara kepulauan bukan tanpa alasan. Negeri ini memiliki 17 ribu pulau, yang menempatkannya pada posisi keenam negara kepulauan terbanyak.
Garis pantainya yang panjang memiliki potensi sumber daya alam, sehingga perekonomian di pesisir pun berkembang. Pertumbuhan ekonominya secara tidak langsung menciptakan pertumbuhan penduduk. Kota-kota pun meluas atau mengalami pemekaran wilayah.
Perluasan wilayah dan pemekaran wilayah terdengar sama, namun sebenarnya kedua hal ini memiliki konsep dan hasil yang berbeda. Perluasan wilayah berarti menggabungkan wilayah yang sudah ada sedangkan pemekaran wilayah artinya membentuk wilayah baru dari suatu wilayah yang sudah ada sebelumnya.
Jakarta adalah salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Jumlah penduduk yang kian menjejali hamparannya, memaksa kota ini memerlukan pemekaran wilayah, yakni mengubah wilayah lautan menjadi daratan.
Kota ini diprediksi akan tenggelam pada 2050. Dikutip dari laman Bloomberg, selama 25 tahun terakhir, sebagian Jakarta telah tenggelam lebih dari 4 meter. Ada beberapa hal yang diperkirakan menjadi penyebab tenggelamnya kota ini. Menurut Robert Nicholls, Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim Tyndall Inggris, Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah lebih dari 10 sentimeter per tahunnya.
Melansir laman Earth.org, pengambilan air tanah yang berlebihan telah menyebabkan turunnya permukaan Jakarta. Akibatnya, penurunan permukaan tanah sekitar 130 kali lebih cepat daripada kenaikan permukaan laut.
Salah satu solusi untuk menangani masalah ini ialah dengan membuat pulau reklamasi. Pengertian reklamasi menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi melalui pengerukan, pengeringan lahan, atau drainase.
Artinya, pulau reklamasi merupakan pulau buatan yang diciptakan melalui pengerukan atau pengeringan lahan. Dalam konteks permasalahan ini, pulau reklamasi diciptakan dengan membangun wilayah baru di lautan.
Namun, apakah pulau reklamasi ini dapat menjadi solusi pasti? Bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan di laut?
Dampak ekologi
Pembangunan pulau reklamasi sudah banyak dilakukan di berbagai negara sehingga bukan hal baru lagi dalam lingkup lingkungan. Shangchen Wu, Youshen Lu, dan Hanwei Fang memublikasikan hasil penelitian mereka dalam jurnal Advances in Economics, Business and Management Research volume 211. Tajuknya, “Evolution process of land reclamation in Macao and its impact on economy and ecology”.
Baca Juga: Sejarah Singapura: Memulai Reklamasi Sejak Zaman Thomas Raffles
Mereka meneliti salah satu pulau reklamasi Cotai yang berada di daerah administratif khusus (SAR) Makau, Tiongkok. Cotai dibangun pada akhir 1980-an, terletak di antara dua pulau yakni Taipa dan Coloane. Memiliki luas 5,8 kilometer persegi, pulau reklamasi ini dibangun dengan tujuan memperluas wilayah yang padat penduduk untuk pemukiman, pusat pariwisata, dan perjudian di Makau.
Namun, dibalik pengaruh positifnya terhadap perekonomian, pulau ini dinilai memberikan dampak negatif yang tak kalah besar bagi lingkungan sekitarnya. Mereka menuliskan, hutan mangrove terbesar di daerah Makau seluas 57,2 hektare sudah kering pada 1998. Hutan mangrove itu kering akibat penyumbatan yang memisahkan lahan basah dari lautan. Kualitas air pun memburuk.
Shangchen Wu dan timnya memberikan peta perbandingan antara 1989 dan 1999, yang menunjukkan bahwa bukan hanya hutan mangrove yang terdampak namun beragam jenis vegetasi lain pun ikut terkena imbasnya.
Selain itu, karena proyek reklamasi ini menempati habitat biota laut, yang menyebabkan kualitas air memburuk, dan perubahan karakteristik hidrologi. Kondisi lingkungan dan kehidupan organisme pun berubah. Akibatnya, populasi dan keanekaragaman fauna−misalnya, burung dan ikan yang bermigrasi—menurun drastis.
Pengerukan untuk membangun pulau reklamasi juga memengaruhi topografi dan kontur garis pantai. Hilangnya sedimen di daerah pesisir menyebabkan lahan basah yang berfungsi sebagai perlindungan bagi wilayah pesisir ikut menghilang. Makau pun berpotensi rentan bencana alam seperti rob, karena hilangnya penghalau gelombang badai.
Di Indonesia, penelitian Muhammad Haykal Abdul Ghanie Djamil dan timnya juga menunjukkan dampak negatif terhadap pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Hasil kajian mereka dipublikasikan di Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, yang berjudul “Dampak Reklamasi Terhadap Lingkungan dan Perekonomian Warga Pesisir di Jakarta Utara”.
Mereka menyampaikan bahwa pulau reklamasi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem. Kapal pengangkut material pulau reklamasi meninggalkan jejak karbon atau tumpahan tanah, sehingga mencemari lautan. Pencemaran tersebut akan mengganggu ekosistem biota laut.
Hasil penelitian kualitas air menunjukkan adanya penurunan kualitas dari bibir pantai sampai wilayah dalam laut yang disebabkan adanya pengerukan dan penimbunan tanah yang mengakibatkan sedimentasi. Kualitas air yang keruh ini menghambat sinar matahari untuk masuk ke dalam laut ini menyebabkan produktivitas biota laut seperti plankton berkurang.
Selain itu, hutan mangrove sebagai penghalau gelombang badai yang tergerus dan hancur menyebabkan abrasi daratan. Makhluk hidup yang tinggal di daerah hutan mangrove juga akan kesulitan mencari habitat baru, akibat habitat aslinya sudah dihancurkan.
Sapto Andriyono, Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, mengatakan, “Saat reklamasi terjadi, efeknya adalah timbul kekeruhan. Alat berat, material, pengeboran, dan lain-lain menyebabkan perairan keruh. Ikan-ikan akan pindah dan mungkin tangkapan nelayan berkurang.”
Reklamasi memang memberikan suntikan segar bagi perekonomian sebuah negara. Namun dibalik keuntungan itu semua, tersimpan ancaman serius bagi keseimbangan ekosistem pesisir yang tidak ternilai harganya. Hilangnya ribuan hektare hutan mangrove meningkatkan risiko banjir dan abrasi, serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir dan keberagaman hayati laut.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR