Nationalgeographic.grid.id—Kebanyakan wanita mengalami banyak kemuliaan dalam hidupnya, penuh cinta dan kasih sayang. Mungkin hanya sedikit saja yang mengalami kemalangan sepanjang hidupnya.
Barangkali salah satu kisah hidup yang tak mudah itu tergambar dalam sejarah hidup Bouboulina. Seorang wanita yang mengalami hidup penuh perjuangan untuk dapat keluar dari penderitaan.
Menurut Dmitri C. Michalakis, "ia lahir di penjara Turki di Konstantinopel, tempat ayahnya dipenjara," tulisnya kepada Neo Magazine dalam artikel berjudul So Who Was Bouboulina? yang terbit 22 Maret 2022.
Laskarina Bouboulina, nama gadisnya adalah Pinotsis, dikisahkan ia lahir di penjara Konstantinopel pada tahun 1771, tempat ayahnya Stavrianos dipenjara karena turut serta dalam pemberontakan Orlov melawan Ottoman, Turki.
"Setelah ayahnya meninggal di penjara, Laskarina dan ibunya Paraskevo pindah ke Spetses saat ia berusia empat tahun, tempat ibunya menikah dengan Kapten Dimitri Lazarou-Orlov," terusnya.
Sejak kecil hidup dan dibesarkan di penjara pemberontak, membuatnya tumbuh lain seperti wanita kebanyakan. Laskarina tumbuh bersama saudara tirinya dan menjadi tomboi.
Ya, tomboi. Ia lebih menggeluti banyak hal yang dilakukan anak lelaki, seperti berkuda, berenang, memancing, berlayar, mendengarkan rumor tentang pemberontakan Yunani terhadap penguasa Ottoman, dan menyanyikan lagu-lagu klepht.
Ayah tirinyalah orang yang ikut berjasa dalam memberikan wawasan dan pengetahuan, karena Bouboulina seorang Russophile—orang yang kagum dan gemar terhadap Rusia, sejarah Rusia, dan budaya Rusia—dan pengagum permaisuri Catherine serta kemajuan kaum wanita.
Dari sana, Dimitri Lazarou, ayah tirinya memberi ia akses ke perpustakaannya, yang berisi semua hasil Pencerahan, termasuk buku-buku karya Schiller dan Voltaire. Maka dari sana, Bouboulina menjadi seorang terpelajar.
Barangkali, seperti diceritakan Pramoedya, gadis pantai akan tetap kembali ke pantai jiwanya. Bouboulina yang dibesarkan sebagai wanita laut tetaplah seorang wanita laut.
Ia memutuskan untuk menikah dengan dua kapten laut, salah satunya adalah Dimitri Bouboulis, yang kemudian menjadikannya dikenal dengan nama Bouboulina.
Baca Juga: Batavia Jadi Medan Perang Propaganda Ottoman Selama Perang Dunia I
Hanya saja dia kehilangan keduanya saat terjadi penyerbuan bajak laut, meninggalkan armada, suku anak-anak (keluarga yang beranggotakan sepuluh orang, termasuk tiga anak angkat), dan kekayaan.
Jiwa melautnya berang ketika kehilangan besar itu melanda hidupnya. Lantas, ia membangun mitra di beberapa kapal dan membangun lebih banyak kapal sendiri, termasuk Agamemnon yang melegenda, dengan 18 meriam, kapal Yunani terbesar yang bertempur dalam Revolusi.
Pada awal tahun 1821, dua belas hari sebelum Revolusi dideklarasikan secara resmi, dialah yang pertama kali mengibarkan bendera Revolusi, bendera Yunani yang dimodifikasi, dari tiang kapal Agamemnon.
Bouboulina kemudian berlayar dengan delapan kapal untuk melancarkan blokade laut terhadap Nauplion dan memulai legendanya—seorang wanita yang dengan jiwa kepemimpinan dan keberaniannya mengobarkan perang revolusi.
Dengan bantuan putra-putra dan saudara-saudaranya, ia memimpin armada kecil yang menonjol dalam banyak kesempatan, termasuk blokade laut Monemvasia dan Nauplia.
Ia akan berlayar ke tempat yang dibutuhkan, termasuk pada pengepungan Tripolis. Bouboulina membawa kapal-kapalnya untuk membantu pemberontak Yunani yang terkepung.
Setelah pertempuran sengit berakhir, dia adalah orang pertama dari pasukan pembebasan yang memasuki kota yang dibebaskan, melakukannya dengan cara yang dramatis di atas kuda. Faktanya, dia adalah sosok yang gagah berani.
Memang, bukan hal yang aneh jika antusiasme dan keberaniannya memotivasi dia untuk meninggalkan kapal induknya untuk sementara waktu dan pergi ke darat. Untungnya, para letnannya mampu menjaga disiplin dan mengikuti perintahnya saat dia meninggalkan kapalnya.
Selama pertempuran Argos, putra sulungnya terbunuh dalam pertempuran dan setelah jatuhnya kota itu ke tangan Yunani, ia mengirim pesan kembali ke Spetses yang isinya sederhana: “Putraku sudah tewas, tetapi Argos milik kita.”
Meski penaklukan dapat dilakukan atas Turki, sebagai seorang janda dan ibu setengah baya, Bouboulina tetaplah wanita yang memiliki belas kasih. Ia menyebut para pasukannya sebagai 'anak-anakku'.
Ia meminta kepada pasukannya juga untuk tidak membalas dendam, apalagi membunuh para harem Turki yang tak berdosa meski anaknya sendiri telah tewas di tangan para tentara Turki.
Ia mengizinkan para prajurit mengambil perhiasan dan uang milik para harem, tetapi berkeras agar para wanita itu tidak disakiti. “Siapa pun yang mencoba melakukan itu, harus melewati mayatku terlebih dahulu,” kata Bouboulina kepada pasukannya.
Selama perang, Bouboulina dianggap setara dengan komandan revolusioner lainnya dan terlibat dalam perencanaan strategi mereka. Ia menjadi sahabat baik Jenderal Theodoros Kolokotronis dan anak-anak mereka kemudian saling menikah.
Setelah perang berakhir, ia menetap di Nauplion, ibu kota Yunani yang baru, hingga tahun 1824 ketika, seperti yang diduga, orang-orang Yunani saling bermusuhan dan Kolokotronis dijebloskan ke penjara.
Bouboulina dipenjara dua kali, dan akhirnya diasingkan ke Spetses, dengan kekayaannya terkuras habis karena berperang. Ia menemui ajalnya saat keluarga Koutsis tersinggung karena putranya Giorgo kawin lari dengan putri mereka.
Saat ia menghadapi keluarga Koutsis di balkonnya, Bouboulina tertembak di bagian kepala dan diperkirakan tewas di tempat pada 22 Mei 1825. Diperkirakan saat kematiannya, ia berusia sekitar 53 tahun.
Setelah kematiannya, Tsar memberinya pangkat kehormatan laksamana di angkatan laut Rusia, wanita pertama yang mendapat kehormatan seperti itu dalam sejarah, dan saat ini, ia dianggap sebagai pahlawan nasional.
Source | : | Neo Magazine |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR