Nationalgeographic.co.id—Diotima adalah seorang filsuf wanita Yunani kuno yang tersohor dengan teori cintanya. Ia menyajikan teori cinta dan keindahan dalam Simposium Plato.
Namun demikian, sosok Diotima telah membingungkan bahwa sejarawan, terlepas Diotima adalah sosok nyata atau tidak.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Diotima dari Mantineia benar-benar ada karena banyak karakter dalam dialog Plato merupakan tokoh sejarah yang nyata.
Ada kecenderungan untuk mempercayai hal ini terutama karena Plato memberikan banyak informasi biografi terperinci tentangnya dalam Simposium. Hal ini tidak mungkin terjadi pada karakter fiksi.
Etimologi nama Diotima (Διοτίμα), seseorang yang menghormati Zeus (Δίαν-τιμών), mengacu pada seorang pendeta wanita.
Dalam Simposium, Socrates memanggil rekan-rekannya untuk memberi tahu mereka apa yang Diotima, pendeta wanita bijak dari Mantineia, ajarkan kepadanya tentang hakikat cinta yang sejati.
Dalam Simposium Plato, Diotima ditampilkan sebagai seorang pendeta wanita bijak yang mengajarkan filsuf besar tentang cinta. Diotima tampil sebagai sosok wanita yang melayani Zeus di antara sekelompok pria dan mengambil peran sebagai guru.
Diotima dalam Symposium Plato
Dalam Symposium karya Plato, para peserta membahas makna Eros, yaitu cinta yang penuh gairah atau sensual, konsep yang menjadi asal kata erotik.
Selain cinta romantis, Eros juga sering diartikan lebih luas sebagai "energi kehidupan" atau kekuatan vital dalam filsafat dan psikologi.
Socrates mengatakan bahwa Diotima mengajarinya tentang "filsafat cinta."
Baca Juga: Teror Bersayap 'Harpy' Perempuan Setengah Burung dari Mitologi Yunani
Kepada Socrates, Diotima mengatakan, bahwa cinta tidak seperti yang umumnya dipahami. Ia membedakan antara Eros dan Cinta, sesuatu yang sering disalahartikan.
Menurut Diotima, Eros adalah langkah awal menuju Cinta, seperti menaiki tangga yang disebut Tangga Cinta. Eros sendiri adalah roh penghubung antara manusia dan dunia para dewa.
Socrates bertanya: “Jadi, apa sebenarnya Eros itu? Apakah ia makhluk fana?”
Diotima menjawab: “Bukan.”
Menurut Diotima, Eros adalah makhluk setengah dewa yang berada di antara manusia dan dewa. Sifatnya bertentangan karena lahir dari Penia (kemiskinan) dan Poros (kelimpahan):
“Eros selalu miskin, kasar, dan jauh dari keindahan seperti yang banyak orang bayangkan. Ia hidup tanpa rumah, bertelanjang kaki, dan kumal.”
Namun, Eros juga memiliki sifat ayahnya, Poros. Ia penuh kecerdikan, keberanian, dan ketekunan. Ia adalah pemburu yang ulung, pandai merancang strategi, dan memiliki hasrat yang besar untuk mencari kebenaran.
Eros adalah imajinasi
Diotima dalam Symposium Plato menjelaskan tentang Eros:
“Kadang, dalam satu hari yang sama, Eros berkembang dan hidup ketika ia menemukan cara, lalu mati, tetapi hidup kembali berkat sifat ayahnya. Apa yang ia dapatkan perlahan-lahan hilang. Jadi, Cinta tidak pernah sepenuhnya miskin atau kaya. Ia berada di antara kebijaksanaan dan kebodohan.”
Baca Juga: Solon: Pembuat Undang-Undang Yunani Kuno dan Peletak Dasar Demokrasi
“Inilah keadaannya: tidak ada dewa yang mencintai kebijaksanaan atau ingin menjadi bijak—karena mereka sudah bijak. Begitu pula orang bijak tidak mencintai kebijaksanaan. Namun, orang bodoh juga tidak menginginkannya, karena inilah sifat kebodohan yang menyedihkan: tanpa menjadi indah, bermartabat, atau berpengetahuan, mereka tetap puas dengan dirinya sendiri.”
Socrates bertanya: “Lalu siapa yang berfilsafat, Diotima, jika bukan yang bijak atau bodoh?”
Diotima menjawab: “Ini jelas bahkan untuk seorang anak: mereka yang berada di antara keduanya. Salah satunya adalah Eros. Karena kebijaksanaan adalah hal yang sangat indah, dan Eros adalah cinta pada keindahan. Maka, Eros pasti seorang filsuf. Dan sebagai filsuf, ia berada di antara orang bijak dan orang bodoh. Ini karena asal-usulnya: ayahnya bijak dan cerdik, tetapi ibunya tidak bijak maupun cerdik.”
Eros menjadi cinta
Sebagaimana tubuh melahirkan, jiwa juga melahirkan, dan kehamilan ini adalah yang paling penting. Dorongan utama bagi keduanya adalah Cinta, yang memicu hasrat dan menciptakan segala sesuatu yang indah.
Menurut pandangan ini, perempuan adalah sosok yang mampu mengekspresikan keindahan fisik dan spiritual secara sempurna. Mungkin karena itulah Plato memilih seorang perempuan, Diotima, untuk "mengajar" tentang Cinta dalam Symposium-nya.
Menurut Diotima, Cinta mendorong seseorang untuk mencari keindahan. Pada awalnya, keindahan itu bersifat duniawi, tetapi seiring bertambahnya kebijaksanaan, pencarian berubah menjadi keindahan yang bersifat spiritual.
Bagi Diotima, penggunaan cinta yang paling mulia terhadap sesama manusia adalah mengarahkan pikiran pada cinta terhadap kebijaksanaan, yaitu filsafat.
Cinta Platonis menurut Diotima di Symposium Plato
Dialog Socrates mengungkapkan bahwa Diotima memperkenalkannya pada konsep cinta Platonis—cinta yang intelektual, murni, dan didasarkan pada cinta sejati, bukan nafsu jasmaniah yang berlalu setelah dipenuhi.
Bagi Diotima, cinta berkembang melalui tiga tahap, yakni tubuh, jiwa, dan pengetahuan. Perjalanan ini bergerak dari hal-hal material menuju hal-hal spiritual, dari tubuh menuju intelektual. Ini adalah perjalanan cinta spiritual.
Bagi Plato, cinta adalah sebuah gagasan yang bertujuan membawa individu menuju tingkat tertinggi dalam mistisisme erotis.
Melalui Symposium, Plato menyampaikan pandangannya tentang cinta dengan menggunakan Socrates dan Diotima sebagai tokoh untuk menjelaskan gagasan tersebut kepada audiensnya.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR