Nationalgeographic.co.id—Satu terobosan signifikan dalam bidang sains material berhasil diraih oleh tim peneliti internasional yang dipimpin oleh lembaga penelitian pemerintah Jepang, Riken.
Mereka berhasil mengembangkan jenis plastik baru yang menawarkan solusi inovatif terhadap masalah polusi plastik global. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam edisi online jurnal ilmiah terkemuka Amerika Serikat, Science.
Plastik konvensional, yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, dikenal karena kekuatan dan fleksibilitasnya. Namun, sifatnya yang sangat tahan lama inilah yang menjadi bumerang bagi lingkungan.
Ketika dibuang sembarangan, plastik dapat bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun tanpa terurai, mencemari tanah, air, dan ekosistem laut.
Tim peneliti, yang juga melibatkan para ahli dari Universitas Tokyo, telah berhasil merancang plastik baru yang memiliki sifat mekanik yang setara dengan plastik konvensional.
Artinya, material ini sama kuat dan mudah dibentuk seperti plastik yang biasa kita gunakan sehari-hari. Namun, yang membedakan plastik baru ini adalah kemampuannya untuk terurai dengan cepat dalam air laut hanya dalam hitungan jam.
Plastik pada dasarnya terdiri dari molekul-molekul panjang yang disebut polimer, yang terbentuk dari unit-unit yang lebih kecil bernama monomer. Ikatan kimia yang kuat antara monomer-monomer inilah yang membuat plastik sangat stabil dan sulit diurai.
Para peneliti telah berhasil memodifikasi struktur polimer pada plastik baru ini sehingga ikatan antar monomer menjadi lebih lemah, membuatnya rentan terhadap degradasi oleh air laut.
Keberhasilan dalam mengembangkan plastik biodegradable bukanlah hal baru. Namun, plastik-plastik biodegradable yang ada saat ini seringkali memiliki kekurangan, seperti kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan plastik konvensional atau membutuhkan waktu yang lama untuk terurai sepenuhnya.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Takuzo Aida, seorang tokoh terkemuka di dunia kimia polimer dan sekaligus direktur kelompok di Riken serta profesor di Universitas Tokyo, berhasil menggabungkan dua jenis monomer alami yang mudah terdegradasi dalam lingkungan air.
Proses penggabungan ini menghasilkan struktur molekul yang unik, di mana monomer-monomer tersebut saling bertautan membentuk rantai polimer yang panjang.
Baca Juga: Blue Carbon: Gara-gara Mikroplastik, 'Keperkasaan' Mangrove Bakal Terganggu
Setelah melalui proses ekstraksi dan pengeringan, struktur polimer ini kemudian diubah menjadi bahan plastik yang memiliki sifat fisik yang mengagumkan. Plastik hasil inovasi ini tidak hanya transparan dan tidak berwarna, tetapi juga memiliki kepadatan yang tinggi.
Yang lebih menarik lagi, tim peneliti menemukan bahwa dengan memodifikasi salah satu jenis monomer dalam campuran awal, mereka dapat mengatur dan menyesuaikan berbagai sifat mekanik dari plastik tersebut, seperti ketahanan terhadap panas, tingkat kekerasan, serta kekuatan tariknya.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa plastik hasil inovasi ini memiliki kinerja yang setara, bahkan dalam beberapa aspek melampaui, plastik konvensional yang banyak digunakan saat ini.
Namun, yang membedakan plastik ramah lingkungan ini adalah kemampuannya untuk terurai secara alami dan cepat. Ketika dicelupkan ke dalam air asin, plastik ini akan terdegradasi menjadi monomer-monomer penyusunnya dalam hitungan jam saja.
Keunggulan lain dari plastik inovatif ini adalah ketersediaan bahan bakunya yang melimpah dan harganya yang relatif terjangkau. Kedua jenis monomer yang digunakan dalam proses sintesis dapat diperoleh dengan biaya yang rendah, sehingga berpotensi untuk diproduksi secara massal.
"Material baru ini cukup kuat, sehingga berbagai aplikasi dianggap mungkin," kata Aida, seperti dilansir The Japan Times.
Polusi plastik: Ancaman mematikan
Ancaman hantu telah membayangi lautan kita. Bukan monster mitos, melainkan musuh nyata yang tak kasat mata: plastik. Bahan serbaguna yang kita gunakan sehari-hari ini, justru menjadi ancaman mematikan bagi jutaan makhluk hidup yang menghuni lautan.
Bayangkan saja, makhluk sebesar paus hingga sekecil plankton, semuanya rentan terhadap bahaya plastik. Penyu laut, misalnya, sering salah mengira kantong plastik sebagai ubur-ubur, makanan kesukaannya.
Akibatnya, seperti dilansir di laman oceana.ord, perut mereka tersumbat plastik dan mereka pun mati perlahan-lahan karena kelaparan.
Paus juga tak luput dari ancaman ini. Mereka sering terjerat dalam jaring-jaring ikan atau menelan potongan-potongan besar plastik yang mengapung di permukaan laut.
Baca Juga: Get The Fest 2024, Festival Musik Berbahan Bakar Olahan Sampah Plastik
* Burung laut
Salah satu dampak paling tragis dari polusi plastik adalah munculnya penyakit yang disebut plasticosis. Penyakit ini terutama menyerang burung laut. Bayangkan, makhluk anggun yang bebas berkeliaran di langit luas, kini menderita akibat ulah manusia.
Potongan-potongan plastik yang tertelan oleh burung laut memiliki tepi yang sangat tajam. Ketika potongan-potongan ini bergerak melalui saluran pencernaan, mereka menyebabkan luka dalam yang parah.
Luka-luka ini kemudian sembuh dan membentuk jaringan parut, sebuah kondisi yang disebut fibrosis. Inilah yang kemudian dikenal sebagai plasticosis.
Jaringan parut akibat plasticosis membuat burung laut kesulitan mencerna makanan. Bayangkan, makhluk hidup mana pun akan kesulitan bertahan jika tidak bisa mendapatkan nutrisi yang cukup.
Akibatnya, burung-burung laut ini menjadi lemah, rentan terhadap penyakit, dan kesulitan mencari makan untuk anak-anak mereka.
Tidak hanya tertelan, burung laut juga sering terjerat dalam puing-puing plastik. Bayangkan seekor burung albatros yang sayapnya terlilit tali pancing. Burung itu akan kesulitan terbang, kesulitan mencari makan, dan akhirnya mati.
* Penyu laut
Bayangkan seekor penyu laut raksasa, makhluk purba yang telah menjelajahi lautan selama jutaan tahun, kini terdampar di pantai dengan perut penuh plastik.
Dalam sebuah studi mendalam di Mediterania, hampir setengah dari lebih dari 100 penyu loggerhead yang diteliti ditemukan telah menelan berbagai jenis plastik, mulai dari kantong plastik bening yang berkibar-kibar di arus hingga potongan-potongan kecil yang tak terhitung jumlahnya.
Bahkan, seekor penyu ditemukan mengandung 67 potongan plastik di dalam tubuhnya!
Plastik-plastik ini bukan hanya benda asing yang mengganggu sistem pencernaan mereka. Kantong plastik, misalnya, seringkali disangka ubur-ubur, makanan favorit penyu.
Ketika tertelan, plastik-plastik ini dapat menyebabkan penyumbatan usus yang fatal. Lebih buruk lagi, beberapa jenis plastik yang kurang padat dari air laut dapat membuat penyu mengapung, membuatnya sulit untuk menyelam dan mencari makanan.
Bayangkanlah, makhluk yang seharusnya bebas berenang di lautan luas kini terjebak dalam tubuhnya sendiri.
* Paus
Nasib serupa juga menimpa paus-paus besar. Foto-foto paus yang terjerat dalam jaring plastik atau memiliki potongan plastik besar di dalam tubuhnya telah menjadi pemandangan yang menyedihkan.
Balon, yang seringkali dianggap sebagai mainan oleh anak-anak, ternyata menjadi ancaman serius bagi kehidupan laut. Paus yang menelan balon dapat mengalami kesulitan bernapas dan bahkan kematian.
KOMENTAR