Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda bertanya-tanya, makanan yang Anda konsumsi berasal dari mana? Seberapa jauh ‘dia’ menempuh perjalanan untuk sampai di hadapanmu di atas meja?
Jarak ialah suatu hal yang relatif. Besar ukurannya tidak dapat disamakan. Bagaimana maksudnya? Misalkan Anda akan membandingkan jarak yang ditempuh oleh sebuah air mineral dengan makanan ringan. Menurut Anda, di antara kedua hal tersebut, yang mana jarak tempuhnya lebih jauh?
Sebuah makanan harus melalui proses yang panjang agar dapat dikonsumsi. Sebagai gambaran , Anda dapat merinci dan menelusuri bagaimana nasi yang biasanya dikonsumsi hadir dalam kehidupanmu. Nasi, tidak serta-merta ada, diperjualbelikan, lalu dikonsumsi. Nasi harus menempuh proses panjang agar dapat dikonsumsi dengan laik.
Bagaimana jalannya proses tersebut? Pertama, misalkan proses penanaman benih padi di wilayah Jawa Timur. Benih ini, akan tumbuh dan berkembang dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan tergantung varietasnya. Lalu, setelah padi sudah ‘masak’ artinya bisa dipanen. Padi yang dipanen ini, tidak langsung menjadi beras, melainkan harus melalui proses penggilingan terlebih dahulu.
Beras yang dihasilkan oleh petani ini kemudian akan didistribusikan ke berbagai tempat. Dalam proses ini, beras bisa dipasarkan di wilayah setempat atau dikirim ke daerah lain yang membutuhkan. Dari tangan ditributor ini, beras akhirnya sampai ke pasar, toko, atau supermarket. Di sinilah Anda akan berperan sebagai konsumen untuk membeli beras. Beras dicuci, lalu ditanak hingga menjadi nasi yang kini ada di dalam piringmu.
Namun, tahukah Anda bahwa semakin panjang proses dan jarak tempuh sebuah makanan, memberikan dampak yang berbahaya bagi lingkungan dalam jangka panjang?
Pernah mendengar food miles sebelumnya? Food miles secara harfiah berarti jarak tempuh makanan. Namun, secara penggunaan, food miles diartikan sebagai konsep untuk menghitung dampak yang timbulkan dari jarak yang ditempuh pangan dalam pendistribusian. Dengan kata lain, food miles memungkinkan untuk mengetahu seberapa jauh makanan menempuh perjalanannya sekaligus efek yang ditimbulkan. Nah, untuk mengtahui hal tersebut, food miles mengukur melalui tiga indikator yakni keterjangkauan, biaya, serta lingkungan. Semakin jauh jarak yang ditempuh oleh sebuah pangan ke tujuannya, maka akan semakin besar dampaknya bagi lingkungan.
Penemuan fakta mengejutkan menyatakan, distribusi pangan melalui beragam moda transportasi ternyata meninggalkan jejak sisa karbon. Kajian oleh Monica Crippa dan timnya yang terbit dalam jurnal Nature Food tahun 2021 menyebutkan bahwa distribusi pangan secara global melalui darat menyumbang jejak karbon sebesar 3,89 persen. “Pada tahun 2015, sistem pangan global berkontribusi sebesar 18 miliar ton dalam hal emisi karbon, artinya mewakili 34 persen dari totalan emisi karbon di dunia.” Jelas Crippa dalam artikel berjudul, ”Food systems are responsible for a third of global anthropogenic GHG emissions”.
Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara penyumbang emisi karbon melalui sistem pangannya pada tahun 2015. Tercatat menghasilkan sebanyak 8,8 persen karbon dioksida atau setara dengan 1,6 miliar ton karbon dari beragam aktivitas dalam negeri. Sistem pangan yang dimaksud ialah mulai dari aktivitas produksi, dan distribusi atau transportasi.
Baca Juga: Mari Bercerita Tentang Kita, Pangan, dan Kehilangan-Kehilangan
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR