Nationalgeographic.co.id—Samin Surosentiko adalah tokoh penting dalam gerakan Samin yang muncul pada akhir abad ke-19 di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sebagai respons terhadap penjajahan di Indonesia.
Gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora, di mana politik etis Belanda yang diterapkan di Jawa mempunyai tiga pilar pokok yang mencakup: edukasi, irigasi, dan migrasi.
"Belanda memaksa warga membayar pajak pada pemerintah Kolonial Belanda dan wajib ikut blandhongan (menebangi pohon jati kemudian diserahkan kepada pemerintah Kolonial Belanda)," ungkap Dicki Arief dalam Perlawanan Masyarakat Samin terhadap Kebijakan Pajak pada Masa Kolonial.
"Kalau mereka menolak, mereka akan didatangi Pamong Desa dan Polisi Pemerintah Kolonial Belanda. Mereka ditangkap dan disiksa," jelas Dicki.
Di samping itu, tanah pertanian mereka banyak yang dirampas oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanami pohon jati.
Perlakuan pemerintah Kolonial Belanda yang kejam itu mengakibatkan mereka kekurangan makan sehingga badan mereka kurus-kurus.
Mereka tak mempunyai keberanian melawan pemerintah Kolonial Belanda, sebab mereka tidak mempunyai semangat dan senjata.
"Komunitas Samin, terutama di Blora, menghadapi berbagai kesulitan seperti pajak yang tinggi dan kurangnya akses pendidikan, sehingga ajaran Surosentiko sangat beresonansi dengan masyarakat setempat," paparnya.
Ajaran Samin Surosentiko yang mulai menyebar pada tahun 1890, berakar pada kearifan lokal komunitas Samin dan bertujuan untuk membangun identitas serta perlawanan terhadap sistem perpajakan dan ekonomi yang menindas yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Gerakan Samin ditandai dengan penolakannya terhadap otoritas kolonial, khususnya dalam hal perpajakan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa para pengikut Samin Surosentiko secara aktif menolak membayar pajak dan berkontribusi pada lumbung desa yang dikelola oleh otoritas kolonial.
Perlawanan ini bukan semata-mata tindakan politik, tetapi juga terkait erat dengan identitas budaya dan kepercayaan spiritual komunitas tersebut, karena mereka berusaha mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka dari tekanan luar.
Baca Juga: Raja Jawa Kuno Punya 'Pegangan' untuk Cegah Pemungut Pajak Berulah
Sikap komunitas Samin terhadap perpajakan dan pemerintahan kolonial dapat dipandang sebagai bentuk negosiasi budaya dan sosial, di mana mereka berusaha menjaga cara hidup mereka sambil menegaskan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.
Selain itu, penolakan komunitas Samin terhadap norma-norma tertentu yang diberlakukan oleh rezim kolonial, seperti penggembalaan kolektif dan kontribusi finansial, menunjukkan komitmen mereka untuk mempertahankan otonomi dan integritas budaya.
Perlawanan ini sering dipahami dalam konteks yang lebih luas sebagai upaya mencari keadilan dan kesetaraan, karena masyarakat Samin memandang Surosentiko sebagai sosok mesianis yang dapat memimpin mereka menuju pembebasan dari penindasan kolonial.
Ajaran Samin Surosentiko menekankan perilaku moral, solidaritas komunitas, dan pelestarian lingkungan, yang semakin memperkokoh identitas dan tujuan komunitas tersebut dalam menghadapi kesulitan.
Pada pihak pemerintah kolonial, gerakan samin ini merupakan gerakan yang sangat merugikan bagi pihak Belanda karena masyarakat pengikut ajaran samin ini menolak membayar pajak.
Dalam hal ini tentunya membuat pihak pemerintah kolonial merasa dirugikan oleh masyarakat samin karena tidak adanya pemasukan pajak kepada pemerintah kolonial.
Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi ataupun pengikut ajaran samin ini tentunya merupakan suatu keuntungan baginya karena mereka dapat menikmati hasil pertaniannya tanpa dikenakan pajak oleh pemerintah kolonial.
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda.
Hal ini terwujud dalam sikap : penolakan membayar pajak, penolakan memperbaiki jalan, penolakan jaga malam (ronda), penolakan kerja paksa/rodi.
Baca Juga: Rupa-Rupa Pajak dalam Sejarah Manusia: dari Urine hingga Janggut
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Buku Serat Punjer Kawitan di samping berisi silsilah adipati-adipati di Jawa Timur dari garis-garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di pulau Jawa, buku ini juga memuat uraian perihal hubungan raja-raja Jawa dengan dunia pewayangan.
Adapun “punjer kawitan”-nya adalah Nabi Adam. Oleh karena itulah di bidang ajaran spiritualnya disebut-sebut adanya “Agama Adam”, yaitu agama yang pertama kali dianut oleh Nabi Adam.
Dalam ajaran tersebut, Samin Surosentika mengatakan bahwa sebuah negara itu akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung rakyatnya, apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Setiap “sujana” (orang cerdik) diharapkan oleh Samin Surosentika untuk “suka bukti mring praje᷆gwang” (berbakti pada negara) demi “angrengga jagat agung” (memberi hiasan pada alam semesta).
Begitulah ajaran Samin di bidang politik, sehingga Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentika sebenarnya bukan saja disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi saja akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain.
"Yang jelas adalah pemberontakan umum melawan pemerintah Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius," pungkas Dicki.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR