Pada tanggal 23 Januari kelompok itu tiba di sebuah depresi di padang pasir. Depresi adalah daerah yang tenggelam akibat terbentuknya antiklin dan sinklin pada waktu yang sama.
“Depresi itu berlimpah dengan kottek atau hutan mati,” tulis Hedin. “Batang dan dahan pohon pendek, berwarna abu-abu dan rapuh seperti kaca. Cabang-cabangnya meliuk-liuk seperti pembuka botol karena kekeringan.”
Hedin, yang sangat ahli dalam geografi, menyimpulkan bahwa mereka pasti berada di aliran sungai kuno yang disebut Keriya-daria. Keriya-daria merupakan suatu daerah yang dulunya cukup subur untuk dihuni.
Pemandu Hedin memberitahunya bahwa reruntuhan yang mereka cari ada di dekat sini. Pecahan tembikar menguatkan hal ini.
Keesokan harinya mereka meninggalkan kamp dan menuju ke reruntuhan, anak buah Hedin membawa sekop dan kapak. Dari semua ekspedisinya di Asia, tidak ada yang menyerupai apa yang dilihatnya di sana.
Permukiman yang reruntuhannya terletak di hadapannya dibangun menggunakan rangka batang pohon poplar. Rangka dari batang pohon membuat bangunan tersebut memiliki warna keputihan yang khas. Oleh karena itu, tempat itu kemudian dikenal oleh penduduk setempat sebagai Dandan-Oilik yang berarti “rumah gading”.
Saat berjalan di lokasi itu, Hedin mengamati garis besar bangunan berbentuk persegi dan lonjong. Bagian dalamnya terbagi menjadi beberapa ruangan.
Tiang-tiang tingginya mencapai 30 meter. Tiang-tiang itu masih berdiri di tempat yang dulunya digunakan untuk menyangga atap atau bahkan lantai dua. Kelompok tersebut menemukan jejak banyak tempat tinggal, yang meliputi area seluas sekitar 2,4 meter persegi.
Namun, mustahil untuk membuat rencana kota karena pola jalan dan alun-alun tersembunyi di bawah bukit pasir.
Hedin tahu betul bahwa ia tidak memiliki sarana untuk menyelidiki lebih lanjut. “Menggali di pasir kering adalah pekerjaan yang sangat berat,” tulisnya.
“Begitu cepat Anda menggalinya, ia akan mengalir lagi dan mengisi lubang tersebut. Setiap bukit pasir harus dihilangkan seluruhnya sebelum ia mengungkap rahasia yang tersembunyi di bawahnya. Dan itu adalah tugas yang berada di luar kemampuan manusia.”
Meskipun demikian, Hedin memperoleh gambaran umum tentang seperti apa daerah kantong kuno itu. Ketika merenungkan hilangnya kota tersebut oleh bukit pasir, Hedin menyebutnya sebagai “kota terkutuk Tuhan, Sodom kedua di padang pasir”. Ia percaya, secara keliru, bahwa kota itu berusia sekitar 2.000 tahun.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR