Nationalgeographic.co.id—Sejarah Homo erectus di Jawa, Indonesia, bermula bersamaan dengan perkembangan paleoantropologi. Fosil pertama spesies ini ditemukan oleh Eugene Dubois (1858–1940) di Kedungbrubus, Kabupaten Madiun, dan Trinil, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), pada paruh kedua abad ke-19.
Sebagai seorang dokter militer Belanda yang terinspirasi oleh teori evolusi Charles Darwin dalam On the Origin of Species (1859), Dubois berusaha membuktikan keberadaan “mata rantai yang hilang” antara manusia dan kera.
Teori Darwin menyatakan bahwa makhluk hidup mengalami evolusi melalui seleksi alam, di mana spesies yang paling mampu beradaptasi dengan lingkungannya memiliki peluang terbaik untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Studi berjudul "Long journey of Indonesian Homo erectus: Arrival and dispersal in Java Island" yang terbit di Jurnal L'Anthropologie pada 2023, menyebutkan bahwa pada masa Darwin, nenek moyang manusia masih menjadi misteri besar.
"Dubois memutuskan untuk melakukan ekspedisi ke daerah tropis yang tidak terpengaruh oleh zaman glasial, meyakini tempat tersebut sebagai lokasi potensial untuk menemukan fosil penting," ungkap Harry Widianto dan Sofwan Noerwidi selaku tim peneliti.
Inspirasi ini juga didukung oleh Alfred Russel Wallace, seorang ahli biologi Inggris yang telah meneliti ekosistem hutan tropis di Sumatra dan Kalimantan. Wallace mencatat bahwa daerah tersebut merupakan habitat ideal bagi siamang dan orangutan, spesies yang dianggap dekat dengan nenek moyang manusia.
Dalam karyanya pada 1869, Wallace menulis, “Naturalis harus bersabar menunggu eksplorasi mendalam di gua-gua tropis, agar sejarah masa lalu manusia dan kera besar tertua dapat terungkap.”
"Dubois memulai ekspedisinya ke Sumatra pada tahun 1887, bukan untuk mencari manusia pertama, melainkan fosil yang dapat menjelaskan hubungan evolusi tersebut," jelas Harry sebagai penulis utama.
Dubois memulai penggalian di gua-gua karst Pegunungan Bukit Barisan, tepatnya di daerah Payakumbuh, Sumatera Barat. Namun, setelah lebih dari dua tahun bekerja, ia hanya menemukan tulang-tulang baru yang belum memenuhi tujuannya.
Penelitiannya pun beralih sepenuhnya ke Jawa setelah mendengar penemuan tengkorak Manusia Wadjak 1 di Tulungagung, Jawa Timur, pada tahun 1890.
Tidak lama kemudian, Dubois menemukan tengkorak kedua, yang ia identifikasi sebagai Homo sapiens wajakensis, manusia modern. Tahun yang sama menjadi momentum penting bagi Dubois, karena ia akhirnya menemukan apa yang disebut sebagai "mata rantai yang hilang."
Baca Juga: Analisis Ulang Temuan Dubois: Tulang Paha Trinil dalam Evolusi Manusia
Pada 24 November 1890, di perbukitan vulkanik Kendeng, Kedungbrubus, Jawa Timur, Dubois menemukan fragmen mandibula hominin.
Penemuan ini menjadi penanda pertama Pithecanthropus, yang kemudian ia namai sebagai Pithecanthropus A. Analisis stratigrafi di situs tersebut mengungkapkan bahwa fragmen ini berasal dari endapan transisi antara laut Pliosen dan daratan Pleistosen. Lapisan breksi vulkanik yang berasal dari Gunung Pandan dan Gunung Wilis menunjukkan usia sekitar 1,9 juta tahun.
Pada tahun 1891, Dubois melanjutkan eksplorasi di dasar sungai Bengawan Solo, tepatnya di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Stratigrafi di Trinil menunjukkan kesamaan dengan Kedungbrubus, terdiri dari lapisan pasir fluvio-vulkanik yang telah membatu.
"J. Duyfjes, seorang ahli geologi Belanda, pada 1936 mengidentifikasi lapisan ini sebagai Formasi Kabuh, yang kemudian tertutup oleh endapan aluvial muda Bengawan Solo. Penemuan-penemuan ini memperkuat posisi Dubois dalam menjelaskan evolusi manusia, khususnya di Asia Tenggara," papar Harry.
Pada Agustus 1891, Dubois menemukan beberapa fosil penting di Trinil, termasuk sebuah gigi terisolasi dan tempurung kepala yang kemudian dikenal sebagai Trinil 2.
Fosil ini memiliki ciri khas yang membedakannya dari Homo sapiens, seperti panjang anteroposterior yang lebih besar, morfologi tengkorak rendah dengan dahi yang sangat miring, penyempitan signifikan di belakang rongga mata, dan torus supraorbital yang menonjol. Volume otaknya sekitar 900 cc, berada di antara kisaran otak kera (600 cc) dan manusia modern (1200–1400 cc).
Setahun kemudian, pada Agustus 1892, Dubois menemukan tulang paha kiri yang hampir utuh, Trinil 3, hanya sekitar 15 meter dari lokasi penemuan tempurung kepala sebelumnya.
Tulang ini ditemukan pada kedalaman yang sama dan menunjukkan eksostosis atau pertumbuhan tulang abnormal pada bagian posteriornya, yang diduga bersifat patologis. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, dua gigi terisolasi lagi ditemukan, yang juga diidentifikasi Dubois sebagai milik manusia.
Menurut Dubois, fosil-fosil ini kemungkinan berasal dari satu individu yang sisa-sisanya tersebar akibat proses alamiah. Makhluk ini, yang menunjukkan ciri campuran antara kera dan manusia, dinyatakan Dubois sebagai kandidat kuat "mata rantai yang hilang."
Dubois memberi nama fosil ini Pithecanthropus erectus, berdasarkan konsep Haeckel. Nama genus Pithecanthropus berarti "manusia-kera," sementara erectus mengacu pada kemampuan bipedal makhluk ini. Jauh setelah penemuannya, empat fragmen tulang paha tambahan ditemukan dalam koleksi Dubois dari Trinil, semakin memperkuat klaim ini.
Baca Juga: Apa yang Kita Harapkan Setelah 130 Tahun Penemuan Pithecantropus erectus?
Penemuan Dubois membuka jalan bagi penemuan serupa di berbagai belahan dunia. Antara penemuan pertama Dubois di Jawa dan Perang Dunia II, sejumlah fosil manusia prasejarah dengan kemiripan morfologis ditemukan.
Misalnya, mandibula Mauer di Jerman pada tahun 1907, fosil manusia Broken Hill di Rhodesia Utara (sekarang Zambia) pada tahun 1921, dan berbagai fosil manusia Peking di Zhoukoudian, Cina. Tengkorak dan tulang paha dari fosil-fosil ini menunjukkan kesamaan yang signifikan dengan Pithecanthropus erectus.
Untuk membedakan mereka dari manusia modern (Homo sapiens), berbagai nama taksonomi diberikan kepada fosil manusia Pleistosen tersebut: Homo heidelbergensis di Eropa, Homo rhodesiensis di Afrika, dan Sinanthropus pekinensis serta Pithecanthropus erectus di Asia.
Ernst Mayr, seorang ahli klasifikasi biologi, menyatakan bahwa dalam zoologi, taksonomi hanya membedakan hingga tingkat spesies, bukan genus. Dengan pandangan ini, semua nama taksonomi seperti Pithecanthropus erectus, Sinanthropus pekinensis, dan lainnya sebenarnya mencerminkan tahap yang sama dalam proses evolusi sebelum munculnya manusia modern, Homo sapiens.
Berdasarkan prinsip ini, Pithecanthropus erectus dimasukkan ke dalam genus Homo, sambil mempertahankan nama spesies aslinya sebagai Homo erectus.
Diperkirakan, Homo erectus pertama kali muncul di Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu sebelum bermigrasi ke berbagai wilayah, menjadikannya spesies pertama dari genus Homo yang meninggalkan Afrika.
Mereka menjelajahi daerah tropis hingga kawasan dengan iklim sedang, termasuk Pulau Jawa, yang menjadi titik persebaran geografis Homo erectus paling timur di dunia.
Migrasi ini diperkirakan terjadi selama Kala Pleistosen Bawah, ketika Homo erectus bergerak dari daratan Asia menuju Jawa. Kehidupan mereka kemungkinan berpusat di sekitar aliran sungai atau wilayah yang kaya akan sumber daya alam, seperti makanan dan air.
"Apakah Pithecanthropus atau Homo erectus benar-benar mencapai Pulau Jawa sekitar 1,65 juta tahun yang lalu? Secara teoritis, hal ini mungkin terjadi jika kita mempertimbangkan bahwa spesies ini muncul di Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu," kata Harry.
Pada masa itu, Paparan Sunda berfungsi sebagai jalur migrasi alami yang menghubungkan daratan Asia dengan Pulau Jawa. Selain itu, fosil hewan daratan, seperti buaya dan rusa telah ditemukan di lapisan breksi bawah di wilayah ini.
Namun, Sondaar (1981) berpendapat lain. Menurutnya, fauna pertama yang mencapai Jawa sekitar 1,5 juta tahun yang lalu adalah mamalia yang harus menyeberangi lautan. Oleh karena itu, keberadaan Homo erectus di Jawa pada periode tersebut dianggap mustahil.
Sebagian ilmuwan juga berpendapat bahwa penanggalan 1,65 juta tahun dari situs Sangiran hanya mencerminkan batas bawah lapisan Pucangan dan merupakan usia maksimum yang mungkin.
Dengan data ini, hominin pertama yang ditemukan di Formasi Pucangan diyakini memiliki usia kurang dari 1,65 juta tahun.
"Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami jalur migrasi dan waktu kedatangan spesies ini di Jawa, termasuk korelasi dengan lapisan geologi dan fosil fauna lain yang ditemukan di wilayah tersebut," pungkasnya.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR