Sejarah tersembunyi yang dikodekan dalam DNA kita menunjukkan peristiwa hampir punahnya Homo sapiens terjadi 50.000–100.000 tahun yang lalu. Maka, letusan Toba adalah tersangka yang paling jelas.
Semakin banyak penelitian yang menceritakan kisah yang berbeda. Meskipun dampak letusan gunung berapi super Toba dirasakan secara global, dampaknya tidak dirasakan secara merata. Dalam sebuah studi tahun 2021 di PNAS, ada model iklim yang baru dan disempurnakan.
Model iklim itu menunjukkan: suhu rata-rata di sebagian besar Belahan Bumi Utara mungkin telah mendingin 4 derajat Celsius. Namun sebagian besar Belahan Bumi Selatan mengalami sedikit atau tidak ada pendinginan sama sekali.
Model yang sama menunjukkan bahwa peningkatan kekeringan juga sangat bervariasi. Beberapa daerah, khususnya di Asia Timur Laut dan juga Himalaya, kemungkinan mengalami penurunan curah hujan sebesar 40 persen.
Tapi curah hujan tidak berubah di tempat lain. Beberapa model iklim lain yang diterbitkan dalam setengah dekade terakhir juga menemukan efek khusus wilayah, dan terkadang tidak ada sama sekali.
Studi tersebut bertajuk Global Climate Disruption and Regional Climate Shelters after the Toba Supereruption.
Bahkan kemacetan genetik yang disebabkan oleh Toba kini tampaknya tidak mungkin. Ada kemajuan eksponensial dalam genomik. Namun ilmuwan tidak menemukan bukti bahwa penurunan besar dalam jumlah kita terjadi selama atau sesaat setelah letusan.
Sebaliknya, bukti arkeologi dan paleoantropologi semakin menunjukkan bahwa, bagi spesies kita, letusan gunung berapi Toba bukanlah pertanda malapetaka. Letusan tersebut adalah katalisator untuk inovasi.
Peralatan batu ditemukan di atas dan di bawah lapisan abu Toba yang mengendap di India utara, Jazirah Arab, dan tempat lain. Penemuan itu menunjukkan bahwa manusia telah ada di area tersebut sebelum dan sesudah letusan dahsyat tersebut. Mereka menemukan cara untuk bertahan hidup dari peristiwa sebenarnya dan perubahan iklim yang terjadi setelahnya.
Selama puluhan tahun, sebuah tim multidisiplin melakukan penelitian di sudut terpencil Ethiopia. Mereka menentukan bahwa manusia di sana bertahan hidup dari perubahan iklim yang kemungkinan disebabkan oleh letusan di tempat yang jauh. Caranya adalah mengubah pola makan mereka dan, sangat mungkin, menciptakan teknik berburu baru: memanah.
Penggalian dimulai lebih dari 20 tahun yang lalu di Shinfa-Metema 1. Tim yang bekerja di sana menemukan gambaran kehidupan yang menarik sebelum dan sesudah letusan Toba.
Pekerjaan tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun. Peneliti menemukan penanggalan yang lebih spesifik, berkat puing-puing mikroskopis dari letusan Indonesia yang mendarat di lokasi Ethiopia.
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR