Nationalgeographic.co.id—Bagi kelompok kecil pemburu-pengumpul di seluruh Afrika dan Eurasia, hari itu seperti hari-hari lainnya. Sebagian melacak kawanan besar hewan yang bermigrasi melintasi padang rumput yang luas.
Yang lain bergerak melalui hutan hujan yang lebat atau di sepanjang tepian sungai yang deras. Bertahan hidup—menemukan makanan dan air, menghindari predator, memperkuat ikatan sosial kelompok kecil—adalah tugas hari itu.
Ribuan kilometer jauhnya, sebuah peristiwa luar biasa akan terjadi: bencana alam yang akan membuat seluruh planet bergidik. Bencana itu juga mengubah kisah spesies kita. Pertanyaannya adalah, bagaimana?
Sekitar 74.000 tahun yang lalu di Sumatra, gunung berapi super (supervolcano) Toba meletus dalam skala yang sulit dipahami. Letusan ini merupakan letusan terkuat dalam 2,5 juta tahun terakhir.
Dari segi volume, letusan ini 215 kali lebih besar dari letusan terbesar abad ke-20, yaitu letusan Novarupta di Alaska. Dan 11.000 kali lebih besar dari letusan Gunung St. Helens tahun 1980. Letusan ini bahkan mengalahkan tiga letusan terbesar yang diketahui dari gunung berapi super Yellowstone.
“Pada akhir abad ke-20, para peneliti mulai mencoba merekonstruksi apa yang terjadi setelah letusan Toba,” tulis Gemma Tarlach di laman Atlas Obscura.
Menurut model-model awal tersebut, lapisan abu setebal beberapa sentimeter menutupi sebagian besar anak benua India. Juga menyumbat lautan dari pesisir Arab hingga Tiongkok. Arus udara global menyapu kabut sulfur dan partikel abu melintasi samudra dan benua, yang mengakibatkan malapetaka iklim.
Banyak wilayah menjadi gersang. Suhu rata-rata anjlok di beberapa wilayah; hawa dingin mungkin bertahan selama satu milenium. Seluruh ekosistem punah. Miliaran tumbuhan dan hewan musnah, termasuk jumlah manusia yang tidak diketahui.
Sebagai hasil dari penelitian sebelumnya, gunung berapi super Toba telah lama memainkan peran “penjahat” dalam kisah manusia. Teori tentang bencana Toba menyatakan bahwa spesies kita hampir punah dalam letusan dan kekacauan iklim yang mengikutinya.
Selama beberapa tahun, teori bencana itu tampak masuk akal. Manusia modern secara anatomis berevolusi lebih dari 200.000 tahun yang lalu di Afrika. Dan sejak itu gelombang kecil nenek moyang kita telah menyebar dari benua itu beberapa kali.
Namun, ada “kemacetan genetik” di masa lalu leluhur kita. Ada suatu masa ketika tampaknya semua populasi manusia di luar Afrika hancur. Dan hanya beberapa ribu manusia di Afrika yang bertahan hidup.
Baca Juga: Menyulap Kemenyan Asal Danau Toba Jadi Parfum Bernilai Ekonomi Tinggi
Sejarah tersembunyi yang dikodekan dalam DNA kita menunjukkan peristiwa hampir punahnya Homo sapiens terjadi 50.000–100.000 tahun yang lalu. Maka, letusan Toba adalah tersangka yang paling jelas.
Semakin banyak penelitian yang menceritakan kisah yang berbeda. Meskipun dampak letusan gunung berapi super Toba dirasakan secara global, dampaknya tidak dirasakan secara merata. Dalam sebuah studi tahun 2021 di PNAS, ada model iklim yang baru dan disempurnakan.
Model iklim itu menunjukkan: suhu rata-rata di sebagian besar Belahan Bumi Utara mungkin telah mendingin 4 derajat Celsius. Namun sebagian besar Belahan Bumi Selatan mengalami sedikit atau tidak ada pendinginan sama sekali.
Model yang sama menunjukkan bahwa peningkatan kekeringan juga sangat bervariasi. Beberapa daerah, khususnya di Asia Timur Laut dan juga Himalaya, kemungkinan mengalami penurunan curah hujan sebesar 40 persen.
Tapi curah hujan tidak berubah di tempat lain. Beberapa model iklim lain yang diterbitkan dalam setengah dekade terakhir juga menemukan efek khusus wilayah, dan terkadang tidak ada sama sekali.
Studi tersebut bertajuk Global Climate Disruption and Regional Climate Shelters after the Toba Supereruption.
Bahkan kemacetan genetik yang disebabkan oleh Toba kini tampaknya tidak mungkin. Ada kemajuan eksponensial dalam genomik. Namun ilmuwan tidak menemukan bukti bahwa penurunan besar dalam jumlah kita terjadi selama atau sesaat setelah letusan.
Sebaliknya, bukti arkeologi dan paleoantropologi semakin menunjukkan bahwa, bagi spesies kita, letusan gunung berapi Toba bukanlah pertanda malapetaka. Letusan tersebut adalah katalisator untuk inovasi.
Peralatan batu ditemukan di atas dan di bawah lapisan abu Toba yang mengendap di India utara, Jazirah Arab, dan tempat lain. Penemuan itu menunjukkan bahwa manusia telah ada di area tersebut sebelum dan sesudah letusan dahsyat tersebut. Mereka menemukan cara untuk bertahan hidup dari peristiwa sebenarnya dan perubahan iklim yang terjadi setelahnya.
Selama puluhan tahun, sebuah tim multidisiplin melakukan penelitian di sudut terpencil Ethiopia. Mereka menentukan bahwa manusia di sana bertahan hidup dari perubahan iklim yang kemungkinan disebabkan oleh letusan di tempat yang jauh. Caranya adalah mengubah pola makan mereka dan, sangat mungkin, menciptakan teknik berburu baru: memanah.
Penggalian dimulai lebih dari 20 tahun yang lalu di Shinfa-Metema 1. Tim yang bekerja di sana menemukan gambaran kehidupan yang menarik sebelum dan sesudah letusan Toba.
Pekerjaan tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun. Peneliti menemukan penanggalan yang lebih spesifik, berkat puing-puing mikroskopis dari letusan Indonesia yang mendarat di lokasi Ethiopia.
Mereka menemukan ujung-ujung runcing yang dibentuk dari batu lokal pada waktu yang hampir bersamaan dengan letusan Toba, 74.000 tahun yang lalu. Ujung-ujung runcing itu tampaknya merupakan mata panah tertua yang pernah ditemukan.
Meskipun masih spekulatif, mungkin saja manusia di Shinfa-Metema 1 menemukan cara berburu baru. Cara berburu itu merupakan respons terhadap lingkungan yang dibentuk ulang oleh letusan di kejauhan.
Jelas bahwa pola makan mereka berubah. Bukti geologis yang diawetkan di situs tersebut menunjukkan bahwa tempat itu menjadi semakin gersang. Selain hewan seperti rusa liar, monyet, dan burung unta dalam menu, orang-orang di sana mulai makan ikan dalam jumlah yang lebih banyak.
“Kemungkinan karena, saat saluran air musiman mengering, ikan yang terperangkap di kolam dangkal menawarkan sumber makanan,” tambah Tarlach.
Orang-orang di Shinfa-Metema 1 dan di bagian lain dunia bertahan hidup setelah letusan gunung berapi super. Mereka bersikap fleksibel dalam perilakunya dan berinovasi dalam cara-cara baru untuk menemukan makanan. Dunia berubah saat Toba meletus. Namun manusia melakukan hal terbaik yang dapat dilakukan manusia: beradaptasi.
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR