“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelas Rahma.
Sementara itu, pendekatan nonstruktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Untuk daerah perkotaan seperti Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan, upaya mitigasi gempa juga mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan. “Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tegasnya.
Adapun untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Hal ini menjadi salah satu secondary hazard yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keamanan yang ketat.
Rahma menambahkan, melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400–600 tahun. Dengan kejadian terakhir diperkirakan pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis.
Dia menekankan, “Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa."
Sebagai upaya mitigasi kebencanaan, BRIN terus bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, dan institusi terkait lainnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami, khususnya di Selat Sunda dan wilayah selatan Jawa. “Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemasangan sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami,” imbuhnya.
Menurut Rahma, peringatan 20 tahun tsunami Aceh menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan potensi bencana serupa di masa depan. Dengan dukungan riset dan teknologi, BRIN berharap mitigasi bencana dapat dilakukan lebih sistematis dan efektif.
Dengan langkah-langkah mitigasi yang komprehensif, diharapkan Indonesia siap menghadapi potensi gempa megathrust dan tsunami di masa mendatang, serta meminimalkan dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.
Rahma menegaskan, “Kita tidak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi, tetapi kita dapat mempersiapkan diri. Adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah kunci untuk mengurangi risiko bencana.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR