Nationalgeographic.co.id—Berbicara soal deforestasi tentu tak bisa lepas dari konteks hutan dan pohon. Saat dunia berupaya memperlambat laju perubahan iklim, melestarikan satwa liar, dan mendukung lebih dari delapan miliar orang, pohon dan hutan tak pelak lagi memegang peranan penting dalam menjawab tantangan tersebut.
Namun, kerusakan massal pohon dan deforestasi terus berlanjut, mengorbankan manfaat jangka panjang dari tegakan pohon demi keuntungan jangka pendek berupa bahan bakar, dan material bisnis.
Kita membutuhkan pohon karena berbagai alasan. Salah satunya adalah karena pohon menyerap karbon dioksida yang kita embuskan dan gas rumah kaca yang memerangkap panas yang dipancarkan oleh aktivitas manusia. Saat gas-gas tersebut memasuki atmosfer, pemanasan global meningkat, sebuah tren yang kini lebih disukai para ilmuwan untuk disebut sebagai perubahan iklim.
Ada pula bahaya penyakit yang mengancam akibat deforestasi. "Diperkirakan 60 persen penyakit menular yang baru muncul berasal dari hewan, dan penyebab utama penularan virus dari satwa liar ke manusia adalah hilangnya habitat, yang sering kali disebabkan oleh penggundulan hutan," tulis Christina Nunez untuk National Geographic.
Jadi, jelas dampak deforestasi sangatlah berbahaya dan perlu kita khawatirkan. Hal ini jelas bertentangan dengan ucapan dari Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang seolah tak mempermasalahkan deforestasi dan menyebutnya sebagai hal yang perlu ditakutkan.
Namun, meski hasil deforestasi jelas berbahaya, kita masih dapat menyelamatkan hutan kita. Upaya agresif untuk mengembalikan hutan ke alam liar dan hutan kembali telah menunjukkan keberhasilan.
Menurut salah satu perkiraan, tutupan pohon tropis saja dapat menyediakan 23 persen mitigasi iklim yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris pada tahun 2015.
Penyebab deforestasi
Hutan masih menutupi sekitar 30 persen dari luas daratan dunia, tetapi hutan menghilang pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sejak tahun 1990, dunia telah kehilangan lebih dari 420 juta hektare hutan, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), terutama di Afrika dan Amerika Selatan.
Sekitar 17 persen hutan hujan Amazon telah hancur selama 50 tahun terakhir, dan kehilangannya baru-baru ini meningkat. Organisasi Konservasi Amazon melaporkan bahwa kerusakannya meningkat sebesar 21 persen pada tahun 2020.
Baca Juga: Apa Dampaknya jika 20 Juta Hektare Hutan Indonesia Ditebang?
Pertanian atau perkebunan, penggembalaan ternak, pertambangan, dan pengeboran secara gabungan menyumbang lebih dari setengah dari semua deforestasi. Praktik kehutanan, kebakaran hutan, dan, sebagian kecil, urbanisasi menyumbang sisanya.
Di Malaysia dan Indonesia, hutan ditebang untuk dijadikan lahan produksi minyak kelapa sawit, yang dapat ditemukan dalam berbagai produk mulai dari sampo hingga biskuit asin. Di Amazon, peternakan sapi dan pertanian—terutama perkebunan kacang kedelai—adalah penyebab utamanya.
Operasi penebangan, yang menyediakan produk kayu dan kertas dunia, juga menebang banyak pohon setiap tahunnya. Para penebang, beberapa di antaranya bertindak ilegal, juga membangun jalan untuk mengakses hutan yang semakin terpencil—yang menyebabkan deforestasi lebih lanjut.
Hutan juga ditebang sebagai akibat dari perluasan kota yang semakin luas karena lahan dikembangkan untuk perumahan.
Tidak semua deforestasi disengaja. Beberapa disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam seperti kebakaran hutan dan penggembalaan ternak berlebihan, yang dapat mencegah pertumbuhan pohon muda.
Mengapa deforestasi berbahaya?
Ada sekitar 250 juta orang yang tinggal di daerah hutan dan sabana dan bergantung padanya untuk penghidupan dan pendapatan—banyak dari mereka termasuk masyarakat miskin pedesaan di dunia.
Delapan puluh persen hewan dan tumbuhan darat di bumi hidup di hutan, dan deforestasi mengancam banyak spesies termasuk orang utan, harimau sumatra, dan banyak spesies burung.
Menebang pohon akan menghilangkan sebagian tajuk hutan, yang menghalangi sinar matahari di siang hari dan menahan panas di malam hari. Gangguan tersebut menyebabkan perubahan suhu yang lebih ekstrem yang dapat membahayakan tumbuhan dan hewan.
Dengan hancurnya habitat alam liar dan meluasnya kehidupan manusia, batas antara wilayah hewan dan manusia menjadi kabur, membuka pintu bagi penyakit zoonosis. Pada tahun 2014, misalnya, virus Ebola menewaskan lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat setelah kelelawar buah menularkan penyakit tersebut kepada seorang balita yang sedang bermain di dekat pohon tempat kelelawar bertengger.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa mungkin ada sebanyak 1,7 juta virus yang saat ini "belum ditemukan" pada mamalia dan burung, yang hingga 827.000 di antaranya dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah studi tahun 2018.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tak Bisa Dianggap sebagai Hutan?
Dampak deforestasi tidak hanya dirasakan oleh manusia dan hewan yang menebang pohon. Hutan hujan Amerika Selatan, misalnya, memengaruhi siklus air regional dan bahkan global, dan merupakan kunci pasokan air di kota-kota Brasil dan negara-negara tetangga.
Amazon sebenarnya membantu menyediakan air bagi sebagian petani kedelai dan peternak sapi yang menebang hutan. Hilangnya air bersih dan keanekaragaman hayati dari semua hutan dapat menimbulkan banyak dampak lain yang tidak dapat kita duga, bahkan dapat memengaruhi secangkir kopi pagi Anda.
Mengatasi deforestasi
Angka-angka terkait deforestasi memang suram, tetapi banyak pegiat konservasi melihat beberapa alasan untuk tetap optimistis dan berharap baik. Sebuah gerakan sedang berlangsung untuk melestarikan ekosistem hutan yang ada dan memulihkan tutupan pohon yang hilang dengan terlebih dahulu melakukan reboisasi (menanam kembali pohon) dan akhirnya melakukan rewilding (misi yang lebih komprehensif untuk memulihkan seluruh ekosistem).
Banyak organisasi dan aktivis bekerja untuk memerangi penambangan dan penebangan liar. National Geographic Explorer Topher White, misalnya, telah menemukan cara untuk menggunakan telepon seluler daur ulang untuk memantau gergaji mesin.
Di Tanzania, penduduk Kokota telah menanam lebih dari 2 juta pohon di pulau kecil mereka selama satu dekade, dengan tujuan untuk memperbaiki kerusakan sebelumnya. Dan di Brasil, pegiat konservasi bersatu menghadapi sinyal-sinyal yang tidak menyenangkan bahwa pemerintah mungkin akan mencabut perlindungan hutan.
Menghentikan deforestasi sebelum mencapai titik kritis akan memainkan peran penting dalam menghindari pandemi zoonosis berikutnya. Sebuah studi pada November 2022 menunjukkan bahwa ketika kelelawar kesulitan menemukan habitat yang cocok, mereka akan berpindah lebih dekat ke komunitas manusia tempat penyakit lebih mungkin menyebar.
Sebaliknya, ketika habitat asli kelelawar dibiarkan utuh, mereka akan menjauh dari manusia. Penelitian ini adalah yang pertama menunjukkan bagaimana kita dapat memprediksi dan menghindari penyebaran penyakit melalui pemantauan dan pemeliharaan habitat satwa liar.
Bagi konsumen, ada baiknya untuk memeriksa produk dan daging yang Anda beli, dan mencari sumber yang diproduksi secara berkelanjutan jika memungkinkan untuk turut berpartisipasi mencegah deforestasi dan melindungi hutan. Kelompok nirlaba seperti Forest Stewardship Council dan Rainforest Alliance mensertifikasi produk yang mereka anggap berkelanjutan, sementara World Wildlife Fund memiliki kartu skor minyak sawit untuk merek konsumen.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR