Inisiatif kebijakan dan skema sertifikasi yang belum memadai
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjawab dampak negatif sosial-ekologis dari monokultur kelapa sawit. Pemerintah Indonesia, produsen, perusahaan barang konsumsi, organisasi masyarakat sipil, hingga beberapa anggota Uni Eropa, mulai mengadopsi kebijakan untuk menjadikan industri kelapa sawit lebih berkelanjutan.
Salah satu inisiatifnya adalah Deklarasi Amsterdam untuk Mendukung Rantai Pasok Kelapa Sawit yang Sepenuhnya Berkelanjutan pada 2020. Namun, deklarasi ini bersifat tidak mengikat.
Beragam skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan telah dikembangkan, tetapi semua menghadapi kritik karena dianggap tidak cukup ketat. Audit dan pemantauan yang lemah dalam skema ini seringkali memperkuat ketimpangan kekuasaan dan lebih berpihak pada kepentingan bisnis.
Salah satu skema sertifikasi paling dikenal adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang didirikan pada tahun 2004. RSPO mencakup beberapa kriteria terkait pengelolaan air, seperti perlindungan aliran air dan kewajiban produsen untuk membuat rencana pengelolaan air. Aspek pengelolaan tanah, yang berkaitan erat dengan pengelolaan air, juga diatur.
RSPO mewajibkan produsen memiliki rencana dan strategi untuk menjaga kesuburan tanah, mengelola tanah rentan, serta menerapkan praktik pertanian berkelanjutan. Pedoman nasional diharapkan memberikan langkah konkret dan ambang batas untuk tujuan ini, tetapi kualitasnya sangat bervariasi.
Sebagai contoh, Malaysia melarang pendirian perkebunan di lereng dengan kemiringan lebih dari 25 derajat, sementara Indonesia memperbolehkan hingga 40 derajat meskipun kondisi iklim dan fisiografinya serupa.
Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memang tidak dianjurkan, tetapi tidak ada larangan ketat, meskipun lahan gambut memiliki peran penting sebagai penyerap karbon dan reservoir air tawar.
Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memperkenalkan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Namun, ISPO sering dikritik karena hanya mengacu pada kepatuhan terhadap hukum yang sudah ada tanpa menawarkan standar tambahan. Tahun yang sama, Moratorium Hutan juga diperkenalkan, melarang pendirian perkebunan baru di hutan alam primer dan lahan gambut.
Meski demikian, masalah mendasar tetap ada: lemahnya penegakan hukum. Banyak zona penyangga di sepanjang sungai serta kawasan konservasi hutan hulu yang seharusnya dilindungi tetap dikonversi secara ilegal menjadi perkebunan kelapa sawit.
Celah dalam pemantauan dan audit terhadap hukum lingkungan maupun standar sertifikasi terus menjadi tantangan besar, yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi.
Baca Juga: Perkebunan Kelapa Sawit (Memang) Picu Ancaman Lingkungan Jangka Panjang
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR