Nationalgeographic.co.id—Minyak kelapa sawit adalah salah satu komoditas pertanian paling kontroversial di dunia. Banyak organisasi masyarakat sipil dan ilmuwan menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit skala besar membawa dampak sosial dan lingkungan yang serius.
Namun, perusahaan dan pejabat pemerintah dari negara-negara produsen kelapa sawit menuduh LSM Barat dan lembaga pemerintah asing sengaja berkampanye menentang kelapa sawit demi melindungi minyak nabati lokal mereka.
Ketegangan ini cukup dimengerti mengingat minyak sawit menyumbang 40 persen perdagangan global minyak nabati, dengan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama, menyuplai 85 persen kebutuhan dunia. Di Indonesia sendiri, perkebunan kelapa sawit mencakup sekitar 11 juta hektar.
Keuntungan besar dari bisnis ini telah mendorong ekspansi perkebunan di Amerika Latin dan Afrika Barat. Petani kecil cenderung memilih kelapa sawit karena lebih mudah dikelola dan menghasilkan keuntungan besar dibandingkan tanaman lain.
Studi yang berjudul Expanding Oil Palm Cultivation in Indonesia: Changing Local Water mengungkap bahwa tingginya permintaan minyak sawit disebabkan oleh harganya yang murah serta kegunaannya yang sangat luas, mulai dari minyak goreng, kosmetik, farmasi, hingga biodiesel.
Tim studi ini berasal dari beragam institusi, yakni Jennifer Merten, Alexander Roll, Surya Tarigan, Dirk Holscher, dan Dr Jonas Hein.
"Kebijakan biodiesel Uni Eropa juga mendorong peningkatan impor minyak sawit, di mana biodiesel menyumbang 45 persen konsumsi minyak sawit Uni Eropa pada tahun 2014," ungkap Merten sebagai penulis utama.
"Namun, ekspansi cepat perkebunan kelapa sawit di negara tropis membawa banyak dampak negatif, seperti konflik lahan, kondisi kerja yang buruk di perkebunan, hingga pelanggaran hak masyarakat adat," lanjutnya.
Kebakaran hutan besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 semakin menyoroti dampak buruk dari industri ini. Banyak perkebunan, baik besar maupun kecil, menggunakan metode pembukaan lahan dengan cara tebang dan bakar.
Sejumlah penelitian telah membahas bagaimana monokultur kelapa sawit memengaruhi keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca. Namun, masih sedikit yang menyoroti dampaknya terhadap siklus air lokal.
"Kami menemukan bahwa skema sertifikasi dan regulasi pemerintah saat ini belum cukup menangani isu ini dan masih lemah dalam implementasinya" ungkap peneliti.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidaklah Sama dengan Hutan?
Inisiatif kebijakan dan skema sertifikasi yang belum memadai
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjawab dampak negatif sosial-ekologis dari monokultur kelapa sawit. Pemerintah Indonesia, produsen, perusahaan barang konsumsi, organisasi masyarakat sipil, hingga beberapa anggota Uni Eropa, mulai mengadopsi kebijakan untuk menjadikan industri kelapa sawit lebih berkelanjutan.
Salah satu inisiatifnya adalah Deklarasi Amsterdam untuk Mendukung Rantai Pasok Kelapa Sawit yang Sepenuhnya Berkelanjutan pada 2020. Namun, deklarasi ini bersifat tidak mengikat.
Beragam skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan telah dikembangkan, tetapi semua menghadapi kritik karena dianggap tidak cukup ketat. Audit dan pemantauan yang lemah dalam skema ini seringkali memperkuat ketimpangan kekuasaan dan lebih berpihak pada kepentingan bisnis.
Salah satu skema sertifikasi paling dikenal adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang didirikan pada tahun 2004. RSPO mencakup beberapa kriteria terkait pengelolaan air, seperti perlindungan aliran air dan kewajiban produsen untuk membuat rencana pengelolaan air. Aspek pengelolaan tanah, yang berkaitan erat dengan pengelolaan air, juga diatur.
RSPO mewajibkan produsen memiliki rencana dan strategi untuk menjaga kesuburan tanah, mengelola tanah rentan, serta menerapkan praktik pertanian berkelanjutan. Pedoman nasional diharapkan memberikan langkah konkret dan ambang batas untuk tujuan ini, tetapi kualitasnya sangat bervariasi.
Sebagai contoh, Malaysia melarang pendirian perkebunan di lereng dengan kemiringan lebih dari 25 derajat, sementara Indonesia memperbolehkan hingga 40 derajat meskipun kondisi iklim dan fisiografinya serupa.
Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memang tidak dianjurkan, tetapi tidak ada larangan ketat, meskipun lahan gambut memiliki peran penting sebagai penyerap karbon dan reservoir air tawar.
Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memperkenalkan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Namun, ISPO sering dikritik karena hanya mengacu pada kepatuhan terhadap hukum yang sudah ada tanpa menawarkan standar tambahan. Tahun yang sama, Moratorium Hutan juga diperkenalkan, melarang pendirian perkebunan baru di hutan alam primer dan lahan gambut.
Meski demikian, masalah mendasar tetap ada: lemahnya penegakan hukum. Banyak zona penyangga di sepanjang sungai serta kawasan konservasi hutan hulu yang seharusnya dilindungi tetap dikonversi secara ilegal menjadi perkebunan kelapa sawit.
Celah dalam pemantauan dan audit terhadap hukum lingkungan maupun standar sertifikasi terus menjadi tantangan besar, yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi.
Baca Juga: Perkebunan Kelapa Sawit (Memang) Picu Ancaman Lingkungan Jangka Panjang
Tuduhan pelanggaran dan risiko sosial lingkungan
Tantangan dalam industri kelapa sawit tidak hanya berkutat pada masalah lingkungan tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International pernah menuduh Wilmar International Ltd.—produsen minyak sawit terbesar di dunia sekaligus anggota RSPO sejak 2005—mempekerjakan anak-anak di perkebunan mereka.
Kasus serupa terjadi pada IOI Group, perusahaan asal Malaysia, yang diskors dari RSPO pada April 2016 atas tuduhan pelanggaran serius. Tuduhan itu meliputi aktivitas perkebunan ilegal, perampasan tanah masyarakat, penebangan hutan lindung, dan penggundulan hutan di lahan gambut dalam.
Namun, sertifikasi keberlanjutan mereka dipulihkan hanya dalam empat bulan, menimbulkan keraguan apakah pelanggaran berat tersebut benar-benar diperbaiki dalam waktu singkat.
Memperburuk risiko kekeringan dan banjir
"Penelitian kami menunjukkan bahwa praktik budidaya kelapa sawit saat ini memperparah risiko kekeringan dan banjir, sekaligus merusak sumber daya air lokal. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi keberlanjutan pasokan air di daerah pedesaan," ungkap peneliti.
"Penelitian interdisipliner yang kami lakukan di lanskap kelapa sawit di Provinsi Jambi, Sumatra, pada periode 2012–2016, menggabungkan metode ilmu sosial dan ilmu alam untuk memahami dampak perubahan lingkungan terhadap komunitas lokal dan sistem pertanian," jelasnya.
"Provinsi Jambi, yang menyumbang 60 persen dari produksi minyak sawit Indonesia, menjadi lokasi utama penelitian ini sebagai bagian dari program Collaborative Research Centre 990," paparnya.
Penduduk lokal di Jambi menganggap kelapa sawit sebagai tanaman yang “rakus air dan nutrisi.” Dalam wawancara kualitatif, banyak rumah tangga pedesaan melaporkan bahwa sejak lahan mereka diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, cadangan air tanah dan air permukaan semakin cepat mengering.
Padahal, kelapa sawit biasanya ditanam di wilayah tropis dengan musim kemarau pendek dan curah hujan tahunan lebih dari 1.500 mm, sehingga irigasi seharusnya tidak diperlukan. Namun, kekurangan air kini menjadi masalah serius dan relatif baru di daerah tersebut.
Sumur-sumur air tanah yang selama ini menjadi sumber utama air rumah tangga mulai mengering, memaksa penduduk desa untuk mencari air di sungai yang jauh atau membeli air kemasan. Kondisi ini mengancam tidak hanya kebutuhan rumah tangga, tetapi juga keberlanjutan pertanian lokal.
Dampak pada siklus air dan keberlanjutan pertanian
Sejak perkebunan kelapa sawit berkembang pesat, aliran sungai kecil di daerah pedesaan lebih sering mengering selama musim kemarau. Hal ini mengancam keberlanjutan irigasi sawah padi, yang merupakan tanaman pokok utama di Indonesia.
Penduduk desa juga melaporkan bahwa banjir kini lebih sering terjadi saat musim hujan, dan air cenderung meluap lebih cepat dibandingkan sebelumnya, ketika hutan dan perkebunan karet masih mendominasi lanskap.
Banjir ini membawa dampak negatif bagi petani kecil karena tanaman yang tidak tahan genangan air kerap gagal panen. Kelapa sawit sendiri relatif mampu bertahan dalam periode banjir singkat. Namun, jika banjir mengganggu aktivitas seperti pemupukan dan panen, produktivitasnya pun menurun.
Petani kecil menghadapi kesulitan untuk memanfaatkan lahan secara optimal. Sebaliknya, perusahaan besar mampu mengurangi dampak banjir dengan menerapkan teknologi hidraulik seperti bendungan, saluran drainase, dan pompa air.
Ironisnya, intervensi hidraulik ini dapat memicu banjir di area perkebunan lain yang berdekatan—sebuah yang hingga kini belum banyak diteliti atau menjadi fokus kebijakan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR