Tuduhan pelanggaran dan risiko sosial lingkungan
Tantangan dalam industri kelapa sawit tidak hanya berkutat pada masalah lingkungan tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International pernah menuduh Wilmar International Ltd.—produsen minyak sawit terbesar di dunia sekaligus anggota RSPO sejak 2005—mempekerjakan anak-anak di perkebunan mereka.
Kasus serupa terjadi pada IOI Group, perusahaan asal Malaysia, yang diskors dari RSPO pada April 2016 atas tuduhan pelanggaran serius. Tuduhan itu meliputi aktivitas perkebunan ilegal, perampasan tanah masyarakat, penebangan hutan lindung, dan penggundulan hutan di lahan gambut dalam.
Namun, sertifikasi keberlanjutan mereka dipulihkan hanya dalam empat bulan, menimbulkan keraguan apakah pelanggaran berat tersebut benar-benar diperbaiki dalam waktu singkat.
Memperburuk risiko kekeringan dan banjir
"Penelitian kami menunjukkan bahwa praktik budidaya kelapa sawit saat ini memperparah risiko kekeringan dan banjir, sekaligus merusak sumber daya air lokal. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi keberlanjutan pasokan air di daerah pedesaan," ungkap peneliti.
"Penelitian interdisipliner yang kami lakukan di lanskap kelapa sawit di Provinsi Jambi, Sumatra, pada periode 2012–2016, menggabungkan metode ilmu sosial dan ilmu alam untuk memahami dampak perubahan lingkungan terhadap komunitas lokal dan sistem pertanian," jelasnya.
"Provinsi Jambi, yang menyumbang 60 persen dari produksi minyak sawit Indonesia, menjadi lokasi utama penelitian ini sebagai bagian dari program Collaborative Research Centre 990," paparnya.
Penduduk lokal di Jambi menganggap kelapa sawit sebagai tanaman yang “rakus air dan nutrisi.” Dalam wawancara kualitatif, banyak rumah tangga pedesaan melaporkan bahwa sejak lahan mereka diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, cadangan air tanah dan air permukaan semakin cepat mengering.
Padahal, kelapa sawit biasanya ditanam di wilayah tropis dengan musim kemarau pendek dan curah hujan tahunan lebih dari 1.500 mm, sehingga irigasi seharusnya tidak diperlukan. Namun, kekurangan air kini menjadi masalah serius dan relatif baru di daerah tersebut.
Sumur-sumur air tanah yang selama ini menjadi sumber utama air rumah tangga mulai mengering, memaksa penduduk desa untuk mencari air di sungai yang jauh atau membeli air kemasan. Kondisi ini mengancam tidak hanya kebutuhan rumah tangga, tetapi juga keberlanjutan pertanian lokal.
Dampak pada siklus air dan keberlanjutan pertanian
Sejak perkebunan kelapa sawit berkembang pesat, aliran sungai kecil di daerah pedesaan lebih sering mengering selama musim kemarau. Hal ini mengancam keberlanjutan irigasi sawah padi, yang merupakan tanaman pokok utama di Indonesia.
Penduduk desa juga melaporkan bahwa banjir kini lebih sering terjadi saat musim hujan, dan air cenderung meluap lebih cepat dibandingkan sebelumnya, ketika hutan dan perkebunan karet masih mendominasi lanskap.
Banjir ini membawa dampak negatif bagi petani kecil karena tanaman yang tidak tahan genangan air kerap gagal panen. Kelapa sawit sendiri relatif mampu bertahan dalam periode banjir singkat. Namun, jika banjir mengganggu aktivitas seperti pemupukan dan panen, produktivitasnya pun menurun.
Petani kecil menghadapi kesulitan untuk memanfaatkan lahan secara optimal. Sebaliknya, perusahaan besar mampu mengurangi dampak banjir dengan menerapkan teknologi hidraulik seperti bendungan, saluran drainase, dan pompa air.
Ironisnya, intervensi hidraulik ini dapat memicu banjir di area perkebunan lain yang berdekatan—sebuah yang hingga kini belum banyak diteliti atau menjadi fokus kebijakan.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR