Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi besar mengenai varian protein manusia yang diterbitkan awal Januari 2025 dalam jurnal Nature mengungkapkan bahwa sebagian besar mutasi yang menyebabkan penyakit dengan mengganti satu asam amino dengan asam amino lain melakukannya dengan membuat protein menjadi kurang stabil.
Protein yang tidak stabil cenderung terlipat secara tidak benar dan terdegradasi, sehingga mereka berhenti berfungsi atau menumpuk dalam jumlah berbahaya di dalam sel.
Temuan ini membantu menjelaskan mengapa perubahan minimal dalam genom manusia, yang juga dikenal sebagai mutasi missense, menyebabkan penyakit pada tingkat molekuler.
Para peneliti menemukan bahwa ketidakstabilan protein merupakan salah satu pendorong utama pembentukan katarak herediter, dan juga berkontribusi pada berbagai jenis penyakit neurologis, perkembangan, dan otot yang mengalami penyusutan.
Ungkap hubungan kuat yang memicu penyakit
Penelitian yang dilakukan secara kolaboratif oleh para ilmuwan dari Centre for Genomic Regulation (CRG) di Barcelona dan BGI di Shenzhen mengungkapkan hubungan yang kuat antara mutasi genetik dan ketidakstabilan protein dalam perkembangan berbagai penyakit.
Studi yang menganalisis 621 mutasi genetik yang diketahui menyebabkan penyakit ini menemukan fakta mengejutkan: mayoritas (61%) dari mutasi tersebut menyebabkan protein yang dihasilkan menjadi tidak stabil.
Protein yang tidak stabil cenderung menggumpal dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Sebagai contoh, pada penyakit katarak, para peneliti menemukan bahwa 72% mutasi pada gen yang bertanggung jawab atas protein beta-gamma kristalin (protein penting untuk menjaga lensa mata tetap jernih) menyebabkan protein tersebut menjadi tidak stabil.
Akibatnya, protein ini menggumpal dan menyebabkan lensa mata menjadi keruh, seperti yang kita lihat pada penderita katarak.
Selain katarak, penelitian ini juga berhasil menghubungkan ketidakstabilan protein dengan dua penyakit lain, yaitu miopati tubuh yang menyusut dan Sindrom Ankyloblepharon-ektodermal-celah (AEC).
Baca Juga: Petaka Deforestasi, Benarkah Bisa Picu Pandemi Mematikan bagi Manusia?
KOMENTAR