Nationalgeographic.co.id—Kapan gerakan sejuta pohon sedunia bermula? Gerakan ini pertama kali bergulir di Nebraska, Amerika Serikat pada 10 Januari 1872. Gagasan Hari Penanaman Pohon ini diusulkan oleh seorang jurnalis bernama Julius Sterling Morton (1832-1902) yang ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya penanaman pohon.
Saat itu julukan untuk gerakan penanaman pohon yang digagas Morton adalah "Arbor Day". Kata "arbor" berasal dari bahasa Latin yang berarti "pohon". Nama ini sangat cocok karena fokus utama dari peringatan ini adalah menanam, merawat, dan menghargai pohon. Morton juga menjabat sebagai Menteri Pertanian Amerika Serikat di bawah Presiden Grover Cleveland dari 1893 hingga 1897. Dia juga dikenal sebagai seorang pendukung kuat dari kebijakan lingkungan dan pertanian yang berkelanjutan
Di Indonesia, peringatan Hari Gerakan Sejuta Pohon Sedunia dilakukan pertama kali di Indonesia pada 10 Januari 1993 ketika kepemimpinan Presiden Soeharto. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menanam dan merawat pohon sebagai salah satu aksi pelestarian alam dan lingkungan hidup.
Sumatra Peatland Restoration merupakan salah satu program program perlindungan dan pemulihan atau restorasi lahan gambut melalui agroforestri di Indonesia. Lokasinya di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Program ini juga menjadi bagian dalam Hari Gerakan Sejuta Pohon Sedunia, setiap tanggal 10 Januari.
Program yang telah bergulir sejak 2022 ini implementasinya meliputi penyiapan dan penguatan kapasitas kelompok masyarakat, penyiapan bibit dan lahan, pembangunan kebun bibit dan pondok kerja, penanaman dan perawatan bibit tanaman multi manfaat seluas 45 hektare, serta melakukan monitoring dan evaluasi program.
Program ini telah menanam di lahan seluas 15 hektare. Jenis bibit yang ditanam mencakup tanaman multi-purpose tree species (MPTS) seperti pinang (Areca catechu), nangka (Artocarpus heterophyllus), jengkol (Archidendron pauciflorum), dan kopi robusta (Coffea canephora).
Desa Jati Mulyo dipilih karena merupakan wilayah perhutanan sosial seluas 93 hektare. Lokasinya berdampingan dengan Hutan Lindung Gambut Londrang yang merupakan bagian dari salah satu kawasan hidrologi gambut penting di Provinsi Jambi. Beberapa kawasan di desa ini juga rentan terhadap kebakaran lahan gambut karena air permukaan yang lebih kering dan dekomposisi tanah gambut. Dengan demikian, mengembangkan program restorasi lahan gambut yang terdegradasi juga akan memperbaiki kondisi air dan mengurangi bahaya kebakaran di kawasan ini.
Selain itu, desa ini dipilih untuk mendukung masyarakat dalam memperoleh manfaat jangka panjang dari lahan gambut. Populasi desa ini lebih dari 630 jiwa dan memiliki 230 kepala keluarga, sehingga program ini diharapkan memberikan dampak sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengatakan bahwa melalui skema perhutanan sosial, masyarakat lokal di Indonesia dapat memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan, yang secara bersamaan dapat berkontribusi dalam memulihkan kawasan hutan.
Skema ini menawarkan kondisi yang memungkinkan untuk restorasi lahan gambut secara jangka panjang, tidak hanya selaras dengan agenda global dalam mitigasi perubahan iklim tetapi juga mampu mendorong peningkatan sosial-ekonomi masyarakat lokal secara berkelanjutan.
“Salah satu cara untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemulihan lahan gambut terdegradasi adalah dengan mengajak mereka menanam jenis tanaman agroforestri atau MPTS (multi-purpose tree species) di lahan gambut terdegradasi," kata Dolly, yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.
Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR