Nationalgeographic.co.id—Tiada tempat seindah surga. Demikian pula, tiada tempat seindah Desa Pela.
Pada Juli 2023 saya sempat berkeliling Kalimantan Timur. Salah satu tempat yang paling berkesan bagi saya selama di Bumi Etam adalah Desa Pela dan bentang alam sekitarnya di wilayah Mahakam Tengah.
Di kepala saya, masih tersimpan memori baik bebunyian dan goyangan yang tercipta saat kami menelusuri jembatan ulin di Desa Pela. Jembatan itu berwujud memanjang dan meliuk mengikuti bentuk Sungai Pela.
Dari ujung ke ujung jembatan sepanjang 5 kilometer itu, saya menyisir tepi Desa Pela dan tepi Sungai Pela dengan membonceng sepeda motor yang dikendarai Faisal Erlangga. Faisal adalah mahasiswa etnomusikologi Universitas Mulawarman yang sedang mengikuti program kuliah kerja nyata di desa yang dikelilingi sungai, danau, dan rawa itu.
Papan-papan kayu jembatan ulin itu menari-nari setiap kali digilas roda motor ataupun sepeda, sehingga menimbulkan bunyi kertak yang khas. Selain bentuk dan lokasinya, yang khas dari Desa Pela adalah sikap progresif warganya dalam melindungi dan melestarikan pesut mahakam, lumba-lumba air tawar langka terancam punah yang hidup di Sungai Mahakam dan badan air sekitarnya.
Atas desakan warganya, pemerintah Desa Pela telah menerbitkan Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2018 tentang Larangan Penggunaan Alat Menangkap Ikan, Membuang Sampah ke Sungai, dan Pencemaran Lingkungan Perairan di Desa Pela. “Para generasi muda desa mendesak agar pemerintahan di desa ini membuat suatu peraturan yang mengarah kepada pemeliharaan atau pelestarian pesut tersebut,” tutur Kepala Desa Pela, Supyan Noor.
Berbekal aturan ini, warga Desa Pela punya kewenangan untuk mengawasi kegiatan perikanan di sekitar Sungai Pela dan Danau Semayang. Mereka bersama aparat setempat berhak menciduk orang-orang yang kedapatan menangkap ikan menggunakan perkakas tak ramah lingkungan seperti alat setrum, pukat harimau, bom, dan potas atau racun.
Tak hanya racun, limbah dan sampah juga dilarang dibuang ke Sungai Pela dan Danau Semayang. Aturan ini dibuat guna menjamin praktik perikanan yang lebih berkelanjutan demi masa depan nelayan sekaligus kehidupan pesut mahakam yang sehari-hari memakan ikan di sana.
Warga Desa Pela juga membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pesut Lestari dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bekayuh, Baumbai, dan Bebudaya (B3) yang beranggotakan banyak anak muda. Kini Desa Pela dijuluki sebagai rumah konservasi sekaligus desa wisata pesut mahakam.
Ketua Pokdarwis B3, Alimin Azarbaijan (46), bercerita kepada saya latar belakang hubungan kuat antara warga Desa Pela dengan pesut mahakam. Sejak zaman nenek moyang, pesut mahakam telah menjadi kawan sekaligus penunjuk nelayan Pela dalam mencari ikan. Bahkan, ada cerita legenda dari desa itu yang menyebut bahwa lumba-lumba air tawar tersebut merupakan keturunan manusia.
Baca Juga: Sepotong Senja di Danau Semayang yang Selalu Terkenang dan Terbayang
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR