Nationalgeographic.co.id—Kita bisa mengetahui cerita budaya dari suatu masyarakat dari benda-benda sejarah yang mereka tinggalkan. Budaya dan sejarah ini perlu diceritakan pula kepada generasi muda agar terus mereka lestarikan.
Sebagai upaya melestarikan budaya Papua, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kawasan Kerja Bersama Jayapura menerima kunjungan siswa-siswi SMP Papua Kasih pada pertengahan Januari ini.
Upaya mempertahankan budaya nenek moyang Papua ini disampaikan langsung oleh Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Erlin Novita Idje Djami secara virtual.
Kegiatan ini dihadiri juga oleh Kepala Biro Komunikasi Umum, Publik, dan Kesekretariatan BRIN, Yudho Baskoro.
Erlin menyampaikan bahwa Papua berada pada wilayah strategis pada peta geografis Indonesia dan wilayah Pasifik.
Posisi strategis ini berada pada posisi sentral yang menghubungkan wilayah budaya Asia Tenggara di bagian barat dan budaya pasifik di bagian timur sehingga potensi besar ini harus dipahami dengan baik oleh para siswa sebagai generasi penerus.
Erlin menjelaskan bahwa budaya-budaya yang ada di Papua merupakan budaya asli yang memang dikaryakan oleh para penduduknya. Maka untuk menentukan usia peninggalan dari bukti-bukti kebudayaan tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut.
Beberapa metode penentuan tersebut digunakan dalam arkeologi, seperti untuk mengetahui usia R1 artefak harus menggunakan metode carbon dating atau CM14.
Kemudian untuk lukisan digunakan uranium series, atau bahkan cerita rakyat di masyarakat yang dilakukan dengan metode human generation time atau waktu generasi manusia secara global.
“Ini salah satu yang menjadi ketertarikan untuk generasi berikutnya. Untuk mengambil jurusan-jurusan ini agar nanti di Indonesia ini, kita sudah punya sendiri. Tidak lagi bergantung pada lab-lab di luar negeri,” kata Erlin seperti dikutip dari lama BRIN.
Erlin juga menjelaskan bahwa benda-benda peninggalan masa lalu yang menjadi data utama arkeologi adalah artefak, ekofak, dan fitur.
Baca Juga: Peninggalan Bersejarah Manusia Purba di Gua Mololo Raja Ampat
Ketiganya kemudian dilakukan identifikasi oleh arkeologi dan akan dianalisis ke dalam bentuk ruang dan waktu, sehingga dapat dilihat informasi detailnya mengenai apa dan bagaimana bahannya.
Tak hanya itu, Erlin juga menjelaskan bahwa kronologi waktu suatu budaya dalam arkeologi terlihat pada beberapa dimensi.
“Dalam dunia arkeologi akan membahas tiga dimensi yaitu dimensi ruang, dimensi bentuk, dan dimensi waktu. Hal itu kita lihat untuk data arkeologi seperti apa,” jelasnya.
Perbedaan wilayah Papua pun mempengaruhi perbedaan fungsi penggunaan suatu barang. Misalnya alat kerang, umumnya digunakan untuk alat pemberat jaring Namun pada wilayah pegunungan, mereka menggunakannya sebagai mata uang juga mas kawin pernikahan.
“Kebudayaan Papua dilatarbelakangi pada tiga faktor utama, di antarnya manusia pendukung, lingkungan alam, dan sejarah,” papar Erlin.
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi kehidupan saat ini dan kehidupan di masa depan.
Hal ini pun terlihat pada perkembangan fesyen sebagai kebutuhan pakaian, budaya turun-temurun Papua yang memiliki keberlanjutan hingga saat ini, di antaranya adalah koteka.
Pada beberapa wilayah papua, koteka masih digunakan dan menjadi salah satu bentuk perkembangan dari teknologi di bidang busana, dan berhasil bertahan hingga sekarang.
Kepala Biro Komunikasi Umum, Publik, dan Kesekretariatan BRIN, Yudho Baskoro, menambahkan bahwa benda-benda sejarah adalah budaya yang bercerita.
“Saat dipelajari, benda itu menjadi bercerita, artefak itu saat dipelajari akan mulai bercerita, dan berceritanya itu adalah dengan ilmu,” ujarnya.
Yudho juga berharap para siswa bisa mulai membayangkan dan mengilustrasikan bagaimana kondisi lingkungan Papua dan sejarah nenek moyang.
“Artinya, para siswa harus rajin belajar dan memiliki minat tinggi untuk membaca, serta tidak berhenti untuk bertanya,” pungkasnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR